Mohon tunggu...
Vilya Lakstian
Vilya Lakstian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis adalah Dosen Linguistik di Jurusan Sastra Inggris dan Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta, Akademi Bahasa Asing Harapan Bangsa, dan International Hospitality Center. Selain mengajar mahasiswa, dia juga mengajar untuk staff hotel, pelayaran, dan pramugari. Penulis adalah lulusan Pascasarjana Prodi Linguistik Deskriptif di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Sarjana Sastra Inggris konsentrasi Linguistik di IAIN Surakarta. Penulis aktif dalam penelitian dan kajian sosial. Penulis juga sering menulis untuk media massa, dan penelitian untuk jurnal. Dalam berbagai kajian bahasa yang telah dilakukannya, linguistik sistemik fungsional menjadi topik yang sering dibahas dan dikembangkan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjadi Seorang Pendengar atau Pemberi Solusi?

28 April 2014   05:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:07 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apa yang kita harapkan dari berkomunikasi? Tentu agar pesan yang kita utarakan dapat diterima oleh mitra tutur yang kemudian memberikan respon. Setelah respon, keberlangsungan komunikasi begitu diharapkan agar tercipta konversasi. Hal ini lah yang sering menjadi perhatian dalam kemampuan berbicara, baik dalam ranah komunikasi atau bahasa sebagai medianya. Tapi kenyataannya, tidak semudah itu.

Perhatian komunikasi sepertinya lebih kepada bagaimana menciptakan teknik dan cara berbicara yang tepat kepada pendengar, bagaimana menciptakan tuturan yang wibawa, bahkan trik untuk mempengaruhi orang lain. Topik-topik tersebut memang perlu karena kita membutuhkan ketrampilan berbahasa, khususnya wicara. Namun, pernahkah terlintas dipikiran kita tentang perlunya berperan “ganda”?

Berperan Ganda”

“Ganda” disini sebetulnya sudah menjadi perhatian oleh ahli bahasa atau linguis sejak lama. Apalagi, keberadaannya telah diakui sebagai bagian dari sifat bahasa. Apakah itu? Duality.  Dualitas dalam bahasa memiliki pengertian bahwa pengguna bahasa dapat melakukan 2 peran, yaitu sebagai pembicara dan pendengar ketika berdialog, berdiskusi, dan berbicara pada mitra tuturnya. Mari kita perdalam lagi!

Istilah ini tidak sekedar teori, tetapi juga dapat dikembangkan menjadi ihwal yang luas dan kompleks. Pasti kita pernah mengalami ketika duduk terdiam, kemudian seorang teman datang. Pernyataan pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima telah direspon. Tetapi yang keenam? “Cukuplah”, mungkin itu yang ada dibenak kita. Dari sinilah dualitas itu terjadi hingga kita menemukan kebosanan. Perlu diperhatikan bahwa selain berbicara, sebaiknya kita juga memperhatikan mitra tutur kita. Bagaimana kesehatannya, apa yang sedang dibawanya, jam berapa dia akan bergegas, adalah berbagai hal yang patut dipertimbangkan untuk melanjutkan tuturan kita.

Selain berbicara sebagai pembicara, jadilah sebagai seorang pendengar juga. Ketika berperan sebagai pendengar, apakah perhatian seorang seperti anda masih mampu untuk merespon pembicara yang sedang anda perankan pada saat itu juga? Perlu untuk dipertimbangkan. Ketika teman kita sudah mulai melihat jam dan mata sudah mulai tidak fokus, kurangi intensitas dan berusaha untuk menyudahinya. Hidup bersosial mungkin sering dibalut dengan rasa tidak enak, pekewuh (bahasa jawanya).  Apakah anda mau membuatnya ketinggalan bis yang lewat dibelakang anda? Maukah anda bertanggung jawab atas kebosanannya?

Curhatan

Usia remaja hingga kuliahan memang saatnya saling curhat. Bagaimana pengalaman anda ketika merespon curhatan sahabat? “Dia yang curhat, sudah dijawab, masih komentar??!”, pernah terlintas dalam pikiran saya saat itu. Ketika dia curhat, kita bisa sebagai pendengar dengan ide-ide solusi. Ya, orang seperti ini memang sejati! Sayang… cukup banyak energi yang terbuang.

Selain menemukan solusi, ada baiknya memberikan saran atas keputusan orang curhat ini. Simpan dulu, bagaimana sikap dia dalam menyelesaikan masalah, lalu ungkapkan (seperti itulah kiranya). Daripada mengatakan,

(1)  “Kamu salah. Seharusnya kamu . . . “, atau

(2) “Begini saja, kamu sebaiknya. . .

lebih baik untuk mengatakan,

(3) “Lalu bagaimana perkembangannya, apa yang akan kamu lakukan?”

Selain menghemat tenaga, anda akan mengerti kemampuan yang dapat dia lakukan, lalu anda bisa memberinya ide brilian. Solusi yang akan disisipkan pada tuturan (1) dan (2) mungkin baik bagi kita, tapi bisa saja tidak mungkin dilakukan olehnya. Tuturan (3) memberikan ruang baginya untuk mengutarakan apa yang dia mampu, lalu kita memberi solusi yang sesuai dengan kemampuannya.

Jadi, begitulah peran ganda dalam berkomunikasi dengan bahasa. Ternyata begitu luas, bukan? Kita adalah pribadi yang mampu untuk menerima masukan, ekspresif dalam mengungkapkan, dan pemberi solusi yang handal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun