Mohon tunggu...
Matheos Viktor Messakh
Matheos Viktor Messakh Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Wartawan dan penulis, tinggal di Leiden (http://matheosmessakh.blogspot.nl/)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyoal Nama Para Pasangan Calon Gubernur NTT

7 Januari 2013   22:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:24 1474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebenarnya asyik juga memperhatikan para calon gubernur NTT memilih nama untuk pasangan mereka. Kelucuan yang sama bisa ditemukan di daerah lain. Para politisi ini seharusnya hati-hati dalam memilih nama. Plautus (kr.250-184 SM) seorang penulis drama yang hidup di jaman Romawi pernah berkata begini: "Nomen est Omen" (nama adalah sebuah pertanda). Sebuah nama seharusnya membawa pertanda baik bagi seseorang atau sebuah benda. Nama harus mencerminkan sikap atau perilaku. Ketika pertama kali orang mendengar band dengan nama Genesis mungkin orang akan berpikir "oh band ini pasti menyanyikan lagu-lagu agama". Itu yang paling mungkin dikira orang, jika dilihat dari nama bandnya. Tapi ternyata tidak demikian.

Orang memberi nama kepada anaknya Michael Jackson dengan harapan agar anaknya bisa menjadi seperti sang King of Pop tapi nyatanya anak tersebut tak bisa membedakan solmisasi. Atau ada penggembar bola yang menamai anaknya pemain sepakbola terkenal agar anaknya bisa seperti sang bintang. Kadang impian itu menjadi kenyataan, kadang tidak. Sehingga bisa kita dapati Cristiano Ronaldo bekerja di pabrik gula, Lionel Messi menjadi tukang ojek atau Ardiles hanya menjadi menjadi pemain sepakbola antar kampung. Tapi bisa juga sekedar melenceng dari yang diharapkan. Misalnya Kevin Cordon, pemain bulutangkis Guatemala yang dinamai orang tuanya atas bintang sepakbola Inggris Kevin Kegan namun ia lebih memilih bulutangkis dan syukurlah ia bisa lolos ke Olympiade London.

Kembali ke nama para pasangan Cagub NTT. Pasangan Christian Rotok dan Abraham Liyanto menamakan dirinya "Christal". Cristal itu biasanya indah dan keras, tetapi bisa juga licin dan membuat orang tergelincir. Banyak yang jatuh gara-gara christal. Christal juga terlalu halus untuk ditelusuri sehingga terjadi apa-apa sulit untuk diusut. Christal juga adalah nama sejenis narkoba, barang haram modern. Semoga pasangan ini bukan barang haram baru. Semoga klaim dari Christian Rotok bahwa ia lebih baik dari Jokowi benar adanya sebab christal yang asli tidak mudah pecah dan akan tetap bersinar sedangkan Christal yang palsu akan redup dan dibuang ke tempat sampah.

Pasangan yang diusung partai Golkar, Ibrahim Agustinus Medah dan Melikiades Laka Lena menamakan dirinya "Tunas". Tunas bisa membawa kehidupan tetapi tunas juga bisa layu sebelum berkembang. Jadi tunas harus dijaga agar tidak layu atau sebaliknya tidak tumbuh liar dan menakutkan. Dilema saat menentukan pasangan tunas ini menunjukkan bahwa tunas ini tidak menikmati pertumbuhan awal yang enak. Mungkin tanahnya terlalu keras atau terlalu tua dan tererosi sehingga sudah kehilangan unsur hara. Atau mungkin beringinnya terlalu rimbun sehingga menutupi tunas-tunas kecil dan tidak memberikan sinar matahari. Atau mungkin juga karena beringinya terlalu rimbun, banyak urusan di dalam gelapnya rimbun beringin yang tidak ingin diketahui oleh khalayak. Para pemilih harus berhati-hati sebabnya bisa saja banyak hantu di bawah rerimbunan beringin. Atau jika anda tidak percaya pada hantu, waspadalah terhadap kalejengking dan kecoak yang mungkin membawa bahaya untuk diri anda.

Sementara itu incumbent Frans Lebu Raya dan pasangan barunya Benny Litelnony menyebut dirinya "Frenly". Frendly adalah asimilasi dari bahasa Inggris friendly. Friendly bisa saja baik dan bersahabat, tetapi juga bisa berarti mudah digunakan. Sangking friendlynya bisa tidak berbuat apa-apa dan tidak berdaya apa-apa. Kalau sudah berteman biasannya orang tidak enak melakukan sesuatu pada temannya, walaupun seharusnya ia melakukannya. Politik memang urusan teman-teman, tetapi demokrasi bukan urusan teman-teman dekat. Hati-hatilah terhadap politisi yang suka bersahabat sebab tidak ada persahabatan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi. Jika seorang politisi memanggilmu ‘friend" artinya sebentar lagi engkau ditikam dari belakang. Banyak demagog memanggil dirinya sahabat rakyat, nyatanya mereka memperdayai rakyat. Apalagi jika friendly-nya bukan sama rakyat tapi sama pengusaha dan pemilik modal saja, atau friendlynya sama sesama suku atau kroni saja. Friendly yang pilih-pilih bulu begini biasanya mengakibatkan mutasi tanpa alasan rasional dan mutasi kaget-kaget, mutasi dan promosi untuk menguatkan posisi diri dan posisi para kroni saja.

Pasangan lain, Benny Bosu dan Mel Adoe menyebut drinya "BBM". Aduh, ini isu hanya bukan saja untuk NTT dan Indonesia tapi untuk dunia. Saat diskursus energi dunia mengarah ke usaha untuk mencari sumbet energi alternatif, pasangan ini masih sibuk dengan BBM. Lagipula sejak kapan pemerintah tidak lalai menyediakan BBM bagi rakyat Indonesia. Selalu ada kelangkaan BBM. Sangat dibutuhkan tetapi tidak pernah ada kesiapan kalau dibutuhkan. Bikin orang ngantri siang dan malam. Harganya pun selalu menjadi polemik. Semoga BBM ini tidak seperti namanya.

Ada juga pasangan Anthony Henriques dan Semuel Haning menyebut dirinya "Hening". Hening memang dibutuhkan untuk banyak hal. Pengambilan keputusan dengan pikiran tenang dan hening itu penting dan perlu. Tapi dilihat dari track record kedua calon ini, bisakah kita mengharapkan mereka hening? Lagipula hening bisa juga berarti diam saja dan tidak berbuat apa-apa.

Ada dua pasangan yang tidak memakai acronym sebagai sandi politiknya melainkan nama mereka dipasangkan. Pasangan yang didukung Partai Gerindra dan Partai Damai Sejahtera Esthon L Foenay dan Paul L Tallo hanya menyebut dirinya "Esthon - Paul". Sedangkan pasangan yang didukung Partai Demokrat, Benny Kabur Harman dan Wellem Nope menyebut dirinya "BKH-Nope". Tidak banyak yang bisa dikatakan di sini selain dua kemungkinan. Pertama, kedua pasangan ini cukup punya rasa percaya diri untuk menggunakan nama mereka, mungkin karena merasa nama mereka sudah cukup menjual seperti halnya Jokowi-Ahok. Yang kedua, kemungkinan keduanya belum menemukan singkatan yang tepat untuk memadukan nama mereka alias kurang kreatif. Semoga asumsi kedua ini tidak benar.

Dari semua nama di atas bisa kita lihat bagaimana orang mencoba menggambarkan dirinya kepada konstituen. Bagaimana mereka mau merepresentasikan dirinya secara positif tentu saja. Tapi jangan lupa, sebuah nama bisa juga pertanda buruk. Kata "omen" atau "ominous" dalam bahasa Inggris berarti sesuatu "pertanda jahat atau malapetaka akan datang", sesuatu yang ,"menakutkan". Jadi selalu ada potensi jahat dalam setiap kebaikan. Begitulah manusia dan begitulah demokrasi.

Karena itu yang perlu dilakukan oleh para pemilih, adalah tidak sekedar melihat indahnya sebuah nama, namun menilik lebih jauh apa yang sudah dikatakan, sudah diperbuat selama ini. Nama bisa saja menipu. "Apalah arti sebuah nama? Apalah artinya menyebutnta mawar? Dengan nama lainpun ia tetap wangi, " kata penyair Inggris William Shakespeare dalam karya fenomenalnya Rome and Juliet.

Nama tidak menentukan. Yang menentukan adalah apakah program mereka masuk akal dan mempunyai peluang perubahan yang signifikan, janji mereka sungguh dan bisa dipegang dan kelakuan mereka bisa dikontrol. Kekecewaan banyak pemilih biasanya bukan pada awal proses demokrasi tetapi pada pertengahan dan akhirnya dimana janji dan perilaku pelaku politik tidak seiring sejalan. Ada yang menjanjikan anggur merah ternyata yang didapatkan anggur asam atau anggur pahit. Yang dijanjikan anggur merah ternyata ada yang tidak kebagian anggur samasekali sementara orang lain berkelimpahan anggur sampai mabuk.

Nama itu hanya akan menjadi fenomenal dan tak terlupakan jika yang punya nama berlaku seperti arti namanya. Itulah sebabnya Saulus merubah namannya menjadi Paulus dan Yakub kemudian disebut Israel. Itulah yang disebut Noblesse oblige sebuah ungkapan bahasa Latin yang mengandaikan bahwa yang berdarah bangsawan harus menunjukkan sikap kebangsawanannya. Orang Rote biasanya mencemooh para bangsawan jika mereka bertindak tidak sebagaimana seharusnya, dengan ungkapan: " mane ana, te ta leo mane ana fa." (anak raja tapi tidak bersikap sebagaimana seorang anak raja).

Ungkapan "noblesse oblige"ini kemudian diaplikasikan secara umum dimana seseorang mempunyai privilege tertentu seharusnya mempunyai tanggungjawab tertentu pula. Dengan kekayaan, kekuasaan dan prestige, seharusnya punya tanggungjawab juga. Menjadi bangsawan harus bersikap sejalan dengan kebangsawanan, menjadi pemimpin daerah seharusnya bersikap sebagaimana seorang pemimpin daerah. Orang Kupang bilang "jangan pikul nama saja." Nomen est omen, nama adalah sebuah pertanda, jadi janganlah jadikan nama anda pertanda yang buruk. Selamat memaknai nama anda. Setelah ada pasangan yang terpilih, kita tunggu saja lima tahun berikutnya, apakah nama mereka harum atau sebaliknya berbau tak sedap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun