Tahun 1999,semester tiga, perjalanan kuliahku terus berlanjut dengan segala tantangan maupun keberhasilan kecil yang  aku gapai. Saat mataku melintas di papan informasi, terpantul pengumuman beasiswa dari Dikti. Sebuah peluang baru terbentang di hadapanku, dan rasa ingin tahu pun menggelora dalam dada.Â
Saat mataku melintasi deretan informasi, beberapa opsi beasiswa menarik perhatianku. Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) hadir sebagai dua pilihan yang mampu menggugah emosi dan semangatku. Meski perjalanan mencapai cita-cita selalu dihiasi dengan keterbatasan, peluang ini seakan menjadi sinar harapan yang menerangi jalanku.
BSM, sebagai peluang emas, menjanjikan bantuan finansial yang mampu meringankan beban ekonomi yang terus menekan. Sementara itu, PPA memberikan motivasi lebih lanjut untuk terus berprestasi di jagat akademis yang tengah kulalui. Dengan hati yang penuh harap, aku mulai mengumpulkan segala informasi, persyaratan, dan segala sesuatu  yang diperlukan untuk mengajukan beasiswa ini..
Namun, pilihan beasiswa ini bukan sekadar tentang mendapatkan dukungan finansial semata, melainkan sebuah peluang yang jauh lebih luas. Ini bukan hanya sekadar kesempatan untuk memenuhi kebutuhan keuangan, tetapi juga kesempatan untuk terus tumbuh dan berkembang sebagai individu. Dengan tekad, kemampuan, usaha, dan doa, aku percaya bahwa peluang ini akan membuka pintu menuju masa depan yang lebih cerah dan penuh harapan.
Dengan tekad kuat dan keputusan bulat, aku memilih untuk mengajukan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Alasannya sederhana: ini merupakan tantangan tersendiri untuk terus berprestasi dan mempertahankan nilai Indeks Prestasi Akademik (IPK).
Setelah melalui serangkaian tahap seleksi dan mengajukan permohonan sesuai kualifikasi yang kumiliki, beberapa bulan berlalu hingga akhirnya tiba saat yang sangat dinanti-nanti. Aliran adrenalin dalam tubuhku meningkat saat membaca di papan informasi bahwa aku terpilih sebagai salah satu mahasiswa penerima beasiswa PPA. Besarannya mencapai tujuh puluh lima ribu rupiah setiap bulan atau dua ratus dua puluh lima ribu rupiah setiap tiga bulan. Rasa syukurku tak terkira, karena beasiswa ini tidak hanya mampu menutupi biaya kuliah seratus delapan puluh ribu rupiah tiap semester, tetapi juga mampu meringankan beban hidup yang semakin terhimpit. Lebih dari itu, beasiswa ini menjadi pendorong semangat untuk terus berkontribusi dan meraih hasil terbaik dalam studi.
Tak lama setelah berita baik itu, perasaan campur aduk memenuhi hati. Saat kumulai menapaki perjalanan kuliah dengan beasiswa PPA, segala sesuatunya menjadi semakin menarik. PPA bukan sekadar angka-angka. Ini adalah peluang baru untuk meresapi pengetahuan lebih dalam, menjelajahi dunia akademis dengan semangat yang lebih bergelora.
Beasiswa ini bukan hanya tentang melepaskan diri dari jerat keterbatasan ekonomi. Ini adalah pendorong untuk melampaui batasan-batasan itu dan membuktikan bahwa setiap kendala dapat diatasi dengan tekad dan dedikasi. Dalam setiap mata kuliah, aku melihatnya sebagai tantangan untuk menjadi lebih baik, untuk tidak hanya meraih nilai tinggi tetapi juga untuk memahami esensi dari ilmu yang didalami.
Seiring berjalannya waktu, perjalanan kuliahku menjadi lebih dari sekadar meraih gelar. Ini adalah tentang menjelajahi potensiku yang terpendam, tentang merangkul setiap kesempatan untuk berkembang. Saat aku melangkah ke semester demi semester, aku tidak hanya melihat mata kuliah sebagai kewajiban, tetapi sebagai pintu menuju dunia yang lebih luas.
Dengan setiap bulan yang menyelinap, beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) menjadi lebih dari sekadar bantuan finansial. Ia adalah pelita yang menerangi lorong-lorong gelap perjalanan akademis, membawa kehidupan pada semangat dan dedikasi yang menyala-nyala. PPA adalah kunci untuk membuka pintu proyek-proyek penelitian dan eksperimen, memahat keterampilan praktis yang tak ternilai harganya. Setiap pertemuan dengan dosen pembimbing tak hanya menjadi kewajiban, tetapi juga momen berharga di mana cakrawala pengetahuan diperluas dan pandangan mendalam dalam bidang studi terbentangkan luas. Beasiswa ini telah menjadi lebih dari sekadar penolong finansial; ia adalah pintu gerbang pertumbuhan pribadi dan akademis yang tak terbatas.
Sementara mengikuti perjalanan akademis ini, bayangan cinta pertamaku, Maria Yosephine, menjadi semacam perekat gaib yang memberikan daya dorong tak terbatas dalam mengejar mimpi. Seperti sinar terang dari beasiswa yang memecah kegelapan keuangan, cinta pertamaku juga menghadirkan kehangatan pada setiap langkah. Meski terpisah oleh jarak dan waktu, bayangannya tetap menyertai, memberikan semangat dan kekuatan di saat tantangan mendera.
Dan tak pernah lepas dari hatiku, bayangan mama di Flores, yang setia berdoa untuk keselamatan dan kesuksesanku, membekas begitu dalam. Doa-doa dari tanah kelahiran mama adalah sumber kekuatan ekstra dan rasa syukur yang tak terukur. Di setiap hembusan angin akademis, kemanapun perjalanan membawaku, aku selalu merasakan sentuhan hangat dari mereka yang mencintai dan mendukungku.
Dengan beasiswa dan cinta pertama sebagai pendamping setia, perjalanan ini tak sekadar tentang mencapai gelar akademis, melainkan sebuah epik tentang mewujudkan impian sambil membawa kenangan indah yang tak akan pudar. Dan di setiap puncak keberhasilan yang kucapai, aku yakin bahwa di tanah Flores yang jauh, mama senantiasa tersenyum bahagia, dan cinta pertamaku, Maria, turut merasakan kebanggaan dan kebahagiaan yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H