Bagian keempat
Melamar kuliah dan kerja di Pabrik
(Sambil menunggu kegiatan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) dan perkuliahan bulan September, aku bekerja menjadi buruh pabrik )
Dua minggu aku berada di Ujung Pandang, aku mulai mencari tahu tentang nama nama perguruan tinggi serta biaya kuliahnya.
Dari pelbagai brosur yang diberikan oleh sesama saudaraku yang sudah lebih tahu tentang keberadaan kampus yang ada di Kota Ujung Pandang, aku tertarik pada salah satu perguruan tinggi yaitu Sekolah Tinggi Teknologi (STITEK) Darmayadi Ujung Pandang. Dan salah satu program studi yang menyentuh hati adalah Jurusan Teknik Industri. Kebetulan jaraknya dengan rumah tempat kami kost tidak kurang dari 500 meter. Biaya kuliahnya cukup terjangkau yaitu Rp.200.000/semester.
Berbekal imformasi yang didapat, aku memberanikan diri mendaftar di kampus itu.Setelah menyelesaikan semua persyaratan dan administrasi pendaftaran, akhirnya aku diterima menjadi calon mahasiswa baru fakultas Teknik jurusan Teknik industri jenjang S1.
Sambil menunggu kegiatan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) dan perkuliahan bulan September, aku mendaftar menjadi buruh di salah pabrik sirop DHT Pisang Ambon yang berlokasi di Perum Citra Sudiang Estate,Blok D2/49 Suite 119 Sudiang,Sudiang Raya,Biringkanaya, Ujung Pandang. Aku diterima menjadi buruh pabrik dengan upah Rp.5000/ hari. Tiga bulan ( Juni s/d Agustus 1997) aku bekerja sebagai buruh pabrik dan awal September aku mengundurkan diri karena harus mengikuti kegiatan OSPEK mahasiswa baru selama satu minggu yang dilanjutkan dengan kegiatan bina akrab antara panitia OSPEK dengan mahasiswa baru di Malino selama tiga hari.
Setelah kegiatan OSPEK dan Bina Akrab, aku bersama mahasiswa baru lainnya memulai perkuliahan seperti biasanya.
Kiriman uang Rp. 100.000 s/d Rp. 120.000 dari Flores dua bulan sekali,mendorong aku untuk mencari kerja paruh waktu sebelum jam kuliah di kampus. Jam kuliah dikampus setiap pukul 13.30 s/d pukul 17.00 dari hari senin s/d jumad.
Bagian Kelima
Surat dari Bapakku
(Nak, kamu harus berjuang dan berusaha bagaimana caranya, agar kamu tetap kuliah)
Senja itu, aku baru pulang dari kuliah. Setiba di Kostku yang tak jauh dari kampusku, aku di mendapati Surat Pos dari bapakku. Dengan perasaan Bahagia, aku sudah membayangkan kiriman uang dari orang tua seperti biasanya dua bulan sekali. Hati-hati aku membuka amplop, supaya surat yang didalamnya tidak tersobek. Setelah kubuka, pandanganku merasa asing, bukan pemberitahuan dari Kantor Pos tentang pengambilan kiriman, melainkan secarik kertas dengan tulisan tangan bertinta biru, tulisan itu sudah tidak asing lagi bagiku. Itulah tulisan tangan ayahku. Kata demi kata kubuca,
" untuk yang tercinta Anakku Viktor yang jauh di sana,...."
" Nak, bapak dan ibu minta maaf. " surat ini bapak dan ibumu menulis dalam keadaan menangis". "Nak,Kali ini, bapak dan ibu tidak bisa mengirim uang untuk kamu, nak"."Untuk beberapa bulan kedepan ini, bapak dan ibu mungkin tidak bisa mengirim uang untuk kamu". " uang yang ada sekarang, bapak harus gunakan untuk biaya pengobatan dan pembelian obat pengganti suntik sebesar Rp.30.000 setiap kali berobat,". " Jangan marah, nak".
Aku tak sanggup melanjutkan membaca. Aku hanya menangis dan menangis membayangkan kesedihan kedua orang tuaku, ketika menulis surat ini. Dengan berlinang air mata, aku berusaha melanjutkan membaca surat bapakku kata demi kata, kalimat demi kalimat.
" Nak, kamu jangan putus asa". " Kamu harus tetap kuliah, Nak". " Kuliah itu untuk masa depan kamu, Nak". " Nak, kamu harus berjuang dan berusaha bagaimana caranya, agar kamu tetap kuliah,nak".
" terima kasih nak," " Hormat bapak dan ibu yang sangat mencintaimu, tertanda bapak dan ibumu, Hendrikus Gare & Monika Mau".
Kulipat surat bapak dan kusimpan dalam koper pakyanku. Dibenakku, aku sudah bisa membayangkan betapa sedihnya bapak dan ibu yang jauh di sana tatkala menulis surat itu.
Terbayang permohonan bapak, "Nak, kamu jangan putus asa, kamu harus berjuang bagaimana caranya, agar kamu tetap kuliah"
Deraian air mata seakan tak berhenti membasahi kedua pipiku. Keteguhan dan ketegaran hati orang tua memberikan penguatan kepada anaknya untuk tidak mudah berputus asa, tidak larut dalam kesedihan tergambar di setiap kata -kata penguatan dalam surat bapak.
Aku gamang. Bayangan kegagalan mulai menggoyahkan langkahku untuk terus maju atau berhenti.
Berhenti, artinya aku harus membuyarkan harapan besar mereka. Maju, berarti aku harus melawan arus. Arus yang sewaktu waktu dapat mengahanyutkan semua impianku. Kata-kata itu selalu terngiang dipikiranku.
" Tuhan, kuatkanlah aku, mampukan aku melewati ini. Jalan ini terlalu terjal untuk aku lalui",bisikku dalam hati.
Aku membulatkan tekad. Aku harus terus maju, apapun situasi yang dialami. Aku harus bisa memenuhi harapan bapak dan ibu.
Besok aku harus cari kerja paruh waktu. kerja apa saja.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H