Mohon tunggu...
Vikri Putra Andana
Vikri Putra Andana Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Hanya ingin berbagi apa yang ada di pikiran untuk dituang menjadi tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Setiap Diri Punya Cerita

28 Maret 2020   06:00 Diperbarui: 31 Mei 2020   19:37 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir terasa begitu menarik hati.
Setiap waktu berlalu, setiap itu juga ada celah yang diisi oleh kisah-kisah yang masih belum jelas kemana pengakhirannya.

Pada setiap kisah yang berjalan, tentunya ada kandungan hikmah yang hanya bisa dipetik oleh orang-orang pilihan. Itu bukan kata saya, itu FirmanNya yang menjelaskan.
(Al Baqarah : 269)

Di sini. Melalui tulisan, izinkan saya menyampaikan tentang hari-hari yang telah berlalu dengan pelajaran yang masih terpaku.
Ah, terasa berlebihan sekali kalimat-kalimat dalam tulisan ini. Tapi biarkanlah. Sebab, di dunia yang lucu ini, tidak semua orang tertawa dengannya. Bahkan tidak semua orang yang peduli.

Setiap diri punya cerita. Setiap cerita punya masalah. Maka silogisme dari kedua premis ini : setiap diri punya masalah.

Hari itu adalah hari dimana rasanya dunia mulai terasa sesak dengan semua huru hara masalah yang menghimpit pundak. Hari itu seperti semua masalah mulai tertumpuk secara berjamaah. Sebagian orang akan mengira ini terlalu berlebihan, namun bagi sebagian yang lain mungkin juga pernah merasakan. Hal yang wajar, respon kelemahan ini terlontar. Bahkan sekelas Rasulullah pernah merasa lemah dengan masalah yang terus beliau hadapi. Namun, mengadu kepada Sang Pemilik Kebahagian adalah manuver paling ampuh ketika beliau di posisi seperti ini. Maka tak ubahnya dengan manusia seperti kita, yang tentu lebih rentan digoyang badai masalah dan ombak kesedihan. Bedanya, mungkin kita sering lupa untuk mengeluh kepadaNya, malah kita lebih tidak malu untuk mengeluh di sosial media.

Suatu ketika pada saat masalah mulai tertumpuk, seorang kawan berkunjung ke rumah. Jika anda adalah seseorang yang suka menilai perasaan dari ekpresi, maka tidak akan anda dapati perasaan duka jika melihat wajahnya. Benar saja, rahangnya tetap tegas dengan mata yang bulat bersih dari air mata. Tidak sedikitpun saya kenali tanda-tanda masalah di hidupnya kalau sekedar melihat ekpresinya. Namanya Surya (tentu saja ini nama samaran).

Kami mulai bercerita apa saja ditemani sebungkus gorengan plus minuman dingin malam itu, mulai membahas hal-hal masa lalu ketika menjadi terbelakang sewaktu putih abu-abu hingga masalah konspirasi elite politik.

Lampu jalanan menyentuh aspal yang basah setelah hujan seharian berjatuhan. Pembicaraan sempat lengang beberapa detik, hanya terdengar hembusan nafas berat antara kami berdua. Disini, suasana mulai tampak berat, mulai terlihat bahwa kami berdua sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

"Setiap diri punya cerita dan setiap cerita punya masalah" seorang kawan memulai percakapan yang sempat jeda.

"Iyap?" aku menjawab naif.

"Kau tahu apa silogisme dari kedua premis itu ? Silogismenya adalah setiap diri punya masalah. Ah, itu pelajaran dasar filsafat bukan ? Tidak mungkin seorang seperti kau tidak tahu itu"

Aku mengusap rambut dengan jariku lalu bernafas panjang dan menghembuskannya seketika.

"Semakin tinggi pohon, semakin hebat angin menyambutnya. Semakin dewasa seseorang, semakin besar masalah yang ia hadapi. Tentu, di usiaku sekarang ini, tidak mungkin tidak ada masalah, bukan ? Terutama setelah kepergian Ibuku." Surya berhenti sejenak menatap lamat aspal basah.

Malam menjadi dingin dengan percakapan kami. Di malam itu, Surya mencurahkan semua bebannya setelah kepergian ibunya. Ibu Surya pergi meninggalkan Surya dan keluarganya untuk selama-lamanya.

Ah, memposisikan diriku menjadi orang yang paling punya masalah terbesar di hadapan dunia, nyatanya mulai menciut kala mendengar Surya bercerita.

Kita memang sering seperti itu. Ketika setumpuk masalah dihadapan kita mulai memberatkan pundak, kita malah merasa menjadi orang yang paling sial saat itu, seakan-akan tidak ada ruang lagi bagi kita hidup di dunia. Padahal, dikala itu semua, kita hanya berhenti melihat sekeliling kita. Kita sempat dibutakan oleh masalah kita sendiri hingga sulit melihat masalah orang lain. Kita terlalu tinggi menanggapi masalah kita sendiri sehingga lupa untuk melihat ke tempat yang lebih rendah tentang masalah orang lain.

Semua sudah ada porsinya, kawan

Untuk semua kawan yang merasa berat dengan segumpal masalahnya.
Maka izinkan saya tuliskan.

"Sampaikan kabar gembira kepada malam hari bahwa sang fajar pasti datang mengusirnya dari puncak-puncak gunung  dan dasar-dasar lembah. Kabarkan juga kepada orang yang dilanda kesusahan bahwa, pertolongan akan datang secepat kelebatan cahaya - dan kedipan mata.

Kabarkan juga kepada orang yang ditindas bahwa kelembutan dan dekapan hangat akan segera tiba. Saat Anda melihat hamparan padang sahara yang seolah memanjang tanpa batas, ketahuilah bahwa di balik kejauhan itu terdapat kebun yang rimbun penuh hijau dedaunan.

Ketika Anda melihat seutas tali meregang kencang, ketahuilah bahwa, tali itu akan segera putus.

Setiap tangisan akan berujung dengan senyuman, ketakutan akan berakhir dengan rasa aman, dan kegelisahan akan sirna oleh kedamaian." -Dr. Aidh Al Qorni-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun