Mohon tunggu...
Viko Zakhary
Viko Zakhary Mohon Tunggu... -

Sipit, putih dan berbintik tapi tetap cinta Indonesia...\r\n\r\n\r\n(Viko, 2010)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pintarkanlah Rakyat dan Isilah Perutnya

14 Agustus 2011   07:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:48 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak banyak orang mengerti apa itu korupsi tidak juga pengemplangan pajak, reformasi birokrasi atau konsistensi kebijakan. Tidak juga bahkan tahu definisinya. Tapi yang jelas semua orang tahu, bagaimana tidak, berbagai stasiun TV tanpa henti berkoar-koar setiap hari memberitakan semuanya.

Tanpa  tahu definisi tidak akan ada pengertian, dan tanpa itu tidak ada kepedulian. Korupsi yang sudah dianggap sistemik, lalu dimaklumi. Leletnya birokrasi seakan menjadi ciri. Seorang pejabat Kejaksaan Tinggi  dalam seminar tentang korupsi bukannya mencari solusi untuk praktek korupsi malah  berkata korupsi sedikit tidak apa-apa dengan alasan biaya untuk mengusutnya malah lebih besar dan tidak sebanding dengan nilai kasus korupsinya. Setelah muncul di media, tidak ada protes, tidak ada kehebohan hanya pembiaran yang seolah membenarkan.

Sudah begitu tidak pedulinya kah rakyat Indonesia? Mungkin benar apa yang dikatakan Marzuki Alie Kalau tidak ada urusannya dengan perut untuk apa diurusi. Kalau masih pikirkan makan, apalah arti konsistensi kebijakan.

Lain dengan korupsi, pengemplangan pajak dan berbagai masalah negeri ini yang diberitakan di TV, semua orang tahu apa itu beras, kedelai, gula, sapi, jahe dan garam dan bagaimana bahan bahan tersebut diproduksi di Indonesia. Bahan pangan tersebut adalah yang paling sering digunakan dalam keseharian rakyat Indonesia di berbagai penjuru dari sabang sampai merauke. Yang tidak banyak tahu adalah kalau bahan-bahan itu seringkali tidak bisa kita cukupi pasokannya dari dalam negeri sehingga harus mengimpor dari negara tetangga. Tidak hanya itu negara yang terletak di zamrud katulistiwa ini, yangdiberkati dengan lahan yang subur dan segala sumberdaya alamnya kemudian masuk dalam negara-negara  pengimpor bahan pangan terbesar di dunia.

Mungkin bukan tidak bisa tapi tidak mau. Bukan rakyat yang tidak mau, tapi para pengurus negara inilah yang perlu berbenah. Intelektual Indonesia Anies Baswedan, beberapa waktu lalu menulis “ rakyat di sana-sini, bangun sebelum pagi, penuhi pasar rakyat, padati jalan dan kelas, menyongsong kehidupan. Dengan sinar lampu apa adanya mereka coba sinari masa depan sebisanya. Petani, guru, nelayan, pedagang, atau tentara di tepian republik jalani hidup berat penuh tanggung jawab. Di tengah kepulan polusi pekat, rakyat kota menyelempit mencari masa depan. Mereka rebut peluang, jalani segala kesulitan tanpa pidato keprihatinan. Rakyat yang tegar dan tangguh. Denyut geraknya membanggakan”.

Sayangnya, usaha rakyat tersebut disambut dengan langkah pengurus negara yang malah menyulitkan. Di saat Australia menghentikan impor sapinya, bukan lantas kita menggenjot produksi sapi dalam negeri tapi DPR malah minta larangan segera dicabut. Negara yang punya lebih dari 17.000 pulau, tapi jadi pengimpor garam tanpa ada usaha terlihat dari para penguasa. Jangan heran kalau kita tidak punya pesawat, kendaraan bermotor, atau barang elektronik produksi produksi lokal kalau bahan pangan pun masih impor.

Jangan pula berharap kalau rakyat akan peduli akan segala urusan negeri sebelum mereka mengerti apa itu korupsi atau reformasi birokrasi, karena Marzuki alie benar, kalau rakyat itu tahunya soal perut, dan urusan pemerintahan biarlah ditangani para “elite”. Untuk itu, pintarkanlah rakyat dan isilah perutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun