Untuk yang pernah jadi anak kos, makanan padang pasti pernah masuk dalam daftar makanan yang paling sering dimakan. Buka 24 jam, nasinya boleh tambah, dan ada di hampir setiap belokan membuat restoran yang satu ini sulit untuk dihindari, bahkan saat makanan ini dianggap tidak baik untuk kesehatan karena kadar kolesterolnya yang tinggi. Konon, 80% pasien penyakit jantung di salah satu rumah sakit di jakarta adalah penyuka makanan padang!
Kalau McDonald punya BigMac dan Burger King punya Whooper, bukan restoran Padang namanya kalau tidak punya Rendang. Begitu kuatnya asosiasi keduanya ditambah luasnya jaringan restoran padang di seluruh indonesia bahkan dunia (saya pernah menemukan restoran padang di jalanan kota melbourne) membuat saya kelak, jika ada pemilihan makanan nasional Indonesia, akan dengan bangga memasukan rendang dalam daftar nominasi.
Sekedar informasi, saya bukan orang Padang, saya berasal dari keluarga dengan latar belakang gado-gado yang walau sipit, putih dan berbintik tapi tetap cinta Indonesia. Saya juga juga tidak memiliki darah, pacar atau kaitan dengan Padang sama sekali apalagi dibayar oleh Restoran Sederhana ataupun Sederhana Bintaro (yang setelah sekian lama saya baru tahu kalau keduanya berbeda), bahkan saya bukan penyuka makanan padang tapi bukan juga anti makanan padang. Love – hate relationship adalah kata-kata yang paling tepat untuk menjelaskan kondisinya persis seperti indonesia dan amerika yang dibenci tetapi dipuja.
Rendang itu, seperti Bambang Pamungkas dan timnya yang bisa mempersatukan Indonesia. Kalau suatu saat Pak Beye membentuk komite nasional pemersatu bangsa, rendang mungkin bisa menjadi salah satu tagline promosi yang kurang lebih berbunyi seperti ini: “Indonesia, karena kita semua pernah makan rendang” Seperti amerika dengan grilled steaknya, Jepang dengan sushi dan sashiminya, belanda dengan apapun kombinasi antara kentang, kubis, keju dan susu karena mungkin hanya itu yang bisa tumbuh disana dan Korea dengan Bibimbapnya yang ternyata, setelah saya hidup di Seoul selama kurang lebih 8 bulan, sepertinya kalah populer dengan ayam goreng (saya berani bertaruh kalau di Seoul lebih banyak penjual ayam goreng ketimbang bibimbap) tapi toh tetap saja bibimbap menjadi icon makanan Korea.
Ngomong-ngomong tentang Korea, tempat saya tinggal sekarang, rendang juga menjadi menu yang selalu ada di setiap jamuan yang diselenggarakan oleh KBRI di Seoul, di pertemuan-pertemuan mahasiswa dan festival-festival kebudayaan Indonesia, walaupun pada saat Indonesian Day tahun 2010 silam di pulau Nami, saya perhatikan, pisang goreng jauh lebih populer ketimbang rendang, fenomena langka yang membuat presiden Perpika tiba-tiba ingin memulai usaha berjualan pisang goreng di Korea.
Alasan kenapa rendang mungkin menjadi sangat populer mungkin karena kemudahan dalam membuat, membawa dan jelas mengkonsumsinya! Walaupun jenis bumbu yang digunakan cukup banyak namun bumbu siap pakai banyak tersedia, lagipula tidak seperti jenis makanan lainnya dimana urutan memasukan bahan, lama memasak, besar api dan potongan bahan mentah yang sangat mempengaruhi hasil akhir, rendang bisa dikatakan resep yang fail-safe. Tinggal campurkan bumbu, santan dan daging jadi satu kemudian masak dengan api kecil hingga matang. Semua yang bisa memasak ramen pasti bisa membuat rendang, bandingkan dengan masakan Cina yang saat urutan memasukan bahannya salah, rasanya bisa jadi berantakan.
Jadi sekarang, saat ada orang asing yang bertanya apa yang membuat kita menjadi orang Indonesia, kita bisa jawab “because we fed on rendang” selain Pancasila dan jutaan alasan lain tentunya. Apa saja alasannya? Nantikan edisi “kenapa kita orang Indonesia” berikutnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H