Mohon tunggu...
Vika Octavia
Vika Octavia Mohon Tunggu... -

blogger, writer, founder Kamadigital.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

"Memusnahkan" Motor

27 November 2014   21:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:41 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ditanya benda apa yang harus “dimusnahkan?” Saya pengen jawab: motor! Upss, jangan protes dulu. Ini cuma uneg-uneg saya dengan para pengendara motor yang menurut saya 80% tidak punya aturan. Tulisan ini pake disclaimer: bahwa infrastruktur jalan khusus untuk motor memang belum tersedia dengan cukup di negara ini.

Beberapa bulan yang lalu, ada dua orang anak SMP yang masih berseragam tewas mengenaskan di jalan menuju ke rumah saya. Mereka dengan konyol menabrak truk pasir yang lagi parkir di pinggir jalan. Mungkin karena jalanan relatif sepi, si anak SMP tadi bermanuver layaknya pembalap di Sirkuit Sentul, kemudian salah perhitungan hingga akhirnya nyawa melayang. Jangan tanya SIM. Sudah pasti belum punya, wong masih dibawa umur. Yang perlu ditanya adalah: Kemana orang tuanya, sampe membiarkan anak kecil membawa motor sendiri? Ada temen yang bercerita justru banyak orang tua yang bangga anaknya bisa mengendarai motor dalam usia dini. Kebanggaan yang aneh.

Akhir-akhir ini karena keadaan, saya sering nyupir sendiri terutama di dalam kota Bogor. Jalan menuju rumah saya -sebuah komplek perumahan menengah bawah dengan lokasi yang cukup strategis- memang penuh tantangan. Jalannya sempit, pemukiman di kanan-kiri jalan sangat padat, berliku, naik turun dan penuh angkot serta motor. Motor yang sebagian besar saya yakin dikendarai mereka yang tidak punya SIM. Dengan kondisi jalan seperti yang tadi saya ceritakan, paling menyebalkan adalah pengendara motor yang ngebut, mengambil jalur orang dan suka tiba-tiba nongol dari titik buta seorang supir. Sebagai contoh, pada jalan dengan dua arah, si motor dari arah berlawanan bisa saja mengambil jalur mobil yang datang dari arah berbeda. Lu pikir enak kagok jadi supir? Mobil saya juga pernah ditabrak motor saat macet di satu simpang yang besar. Kaca spion pun pernah jadi korban motor yang nekad nyalip. Untungnya kerusakannya tidak parah. Namun yang menyebalkan adalah semua itu terjadi pada saat macet dan mobil dalam posisi BERHENTI alias SETOP. Lama-lama saya pikir nyetir cuma menaikkan tensi darah. Harap maklum, saya juga supir amatir yang sangat taat aturan lalu lintas. Hehehe..

Saya juga SANGAT sering ketemu mereka yang membawa anak kecil tapi gaya berkendaranya sungguh tidak tahu aturan. Sering ada satu keluarga dengan dua anak, si ibu mengendong bayi, anak satu lagi duduk atau dibiarkan berdiri diantara Bapak Ibunya. Ada juga mereka yang naik motor tapi sambil sms-an. Herannya rata-rata memang tidak menggunakan helm.


Omygot..,berapa nyawa harga orang Indonesia?


Terlalu murah atau memang punya stok nyawa yang banyak?



Baru-baru ini saya naik ojek dari rumah menuju satu tempat di Bogor. Di tengah jalan si abang ojek menerima telpon dengan tetap mengendarai motornya. Kali pertama saya masih diam, tapi kali kedua saya towel punggungnya dan menyuruh berhenti. Saya bilang, silakan menelepon dulu dan saya akan tunggu. Rupanya ia tidak menggubris, hingga akhirnya ia tidak menelepon lagi. Tiba di satu simpang yang cukup padat, saya nyaris mati konyol gara-gara ia menerebos kendaraan dari arah berlawanan dengan kecepatan cukup tinggi. Hilang kesabaran, saya pukul saja helm-nya. Sambil mengumpat saya minta turun, meskipun akhirnya ia memperlambat laju motornya. Gilanya lagi, saat itu saya tidak pakai helm. Alhamdulillah ternyata saya masih berumur panjang.

Katanya harga motor emang gak jauh beda dari martabak. Dengan DP hanya Rp500 ribu saja bisa bawa pulang motor baru, Masalah bulan-bulan depannya kebayar atau gak cicilannya nanti aja dipikirin. Kalo pun gak bisa bayar, lumayan sudah bisa dipake ngojek sebulan. Tetangga saya di rumah yang dulu, sepertinya bekerja di leasing motor. Di halaman rumahnya diparkir banyak motor yang tidak sanggup dibayar oleh pembelinya. Saya pernah baca satu artikel, untuk membatasi populasi motor ini, pemerintah mewajibkan cicilan awal sekitar 30% dari harga motor,  yang artinya tidak Rp500 ribu. Namun kenyataan masih sering saya temui iklan dan brosur dengan tagline: Cukup 500 ribu, bawa pulang motor baru! Yah..no wonder kalau anak SMP pun akhirnya pake motor.

Saya tidak membenci motor, saya juga pengguna ojek yang setia. Apalagi memiliki motor jadi alternatif yang masih relatif lebih murah dibanding naik angkot yang ongkosnya naik karena BBM naik. Tapi saya sungguh-sungguh benci dengan pengendara motor yang tidak tahu aturan. Ngebut, nyalip, buat apa? Buat gaya, buru-buru atau memang sudah adatnya begitu? Atau bisa jadi mereka punya slogan: ngebut berarti ibadah, makin ngebut makin dekat dengan Tuhan.


Katanya peradaban satu bangsa salah satunya dilihat dari bagaimana penduduknya berlalu lintas. Nah, jadi tahu kan bagaimana peradaban bangsa ini sebenarnya?


http://www.vikaoctavia.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun