Perubahan iklim yang telah terjadi banyak membawa dampak berupa bencana hidrometeorologi di Indonesia. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi peningkatan angka kemiskinan serta mengancam target pembangunan.Â
Bergesernya musim mampu merubah ketersediaan air baik untuk air baku, air bersih, maupun irigasi. Kemarau yang panjang atau terjadinya banjir sangat berpengaruh terhadap hasil pendapatan masyarakat terutama di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, maupun industri. Hal ini berdampak nyata salah satunya pada produksi tanaman pangan.Â
Sub sektor hortikultura dan peternakan memiliki resiko terdampak yang tinggi akan perubahan iklim. Seperti yang disampaikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2011), sektor pertanian diharapkan mampu berperan aktif dalam pengembangan bioenergi seperti bioetanol, biodiesel, maupun biogas.Â
Kemiri, kelapa sawit, jarak pagar, serta kelapa merupakan sumber utama bahan biodiesel. Sagu/ubi-ubian, gula tebu maupun aren, limbah kayu serta limbah tebu adalah bahan utama bioetanol.Â
Sedangkan untuk biogas, bahan utamanya adalah kotoran ternak maupun manusia. Bioenergi ini merupakan salah satu upaya mitigasi perubahan iklim, namun tetap memerlukan usaha adaptasi saat proses produksinya.Â
Perdebatan mengenai pemicu terjadinya perubahan iklim global ini seringnya ditudingkan pada kegiatan pertanian dan peternakan, perkebunan sawit, pertambangan, kebakaran hutan, penurunan kualitas lahan utamanya pada daerah lahan gambut, serta naiknya emisi gas rumah kaca.Â
Pada umumnya, perubahan iklim (Climate Change) diperkirakan mampu menurunkan produksi tanaman, terutama pada wilayah pertanian yang memiliki letak geografis pada garis lintang rendah akan mengalami dampak negatif (Clime, 2007).Â
Hal ini dipertegas oleh Rao (2008), bahwa dampak negatif tersebut disebabkan karena area dengan letak letak geografis lintang rendah cenderung memiliki suhu udara yang berada pada batas toleransi tanaman (di bawah 10 derajat celcius dan di atas 29 derajat celcius).Â
Dimasa mendatang, pembangunan sektor pertanian akan lebih banyak mengalami kendala serta permasalahan biofisik yang diakibatkan pemanasan global akibat dari meningkatnya efek Gas Rumah Kaca (GRK).Â
Perubahan pola hujan, pola angin, intensitas badai tropis, tingkat salinitas air laut, masa reproduksi tanaman dan juga hewan, jumlah serangan hama penyakit tanaman (HPT), serta ukuran populasi dan distribusi spesies.Â
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), perubahan iklim sendiri sangat rentan menyerang Indonesia yang merupakan negara kepulauan dimana beberapa daerahnya dilalui garis khatulistiwa.Â
Pertanian merupakan sektor utama yang mengalami dampak perubahan iklim. Adapun unsur iklim yang rawan mengalami perubahan secara signifikan diantaranya adalah peningkatan kejadian perubahan iklim secara ekstrim yang menyebabkan kekeringan maupun banjir, perubahan pola hujan, suhu udara, serta tinggi muka air laut.
Perubahan-perubahan tersebut akan membawa pengaruh pada masa mendatang. Adaptasi akan banyak mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Diperlukan sinergi antara integrasi kebijakan serta rencana pembangunan supaya dapat berjalan dengan harmoni (Lubis & Delinom, 2010).
Ada beberapa faktor yang menjadi indikator adanya perubahan iklim. Menurut IPCC (2007) dalam Harisuseno (2021) mengatakan bahwa kenaikan sistem iklim ini dapat dilihat dari pengamatan peningkatan suhu rerata global udara dan laut, meluasnya area es dan salju yang mencair, serta naiknya tinggi permukaan air laut rerata global. Peningkatan suhu rerata global sebagian besar telah dilakukan melalui pengamatan konsentrasi gas rumah kaca antropogenik.
Â
Penyebab terbesar terjadinya perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di lapisan atmosfer seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen (N) yang semakin meningkat.Â
Gas rumah kaca yang ada menyerap radiasi gelombang panjang yang panas dan seiring dengan peningkatan gas rumah kaca, suhu permukaan bumi naik (Wibowo, 2009).Â
Menurut Wolff, et.al (2014) dalam Haryanto & Prahara (2019) dalam sebuah studi yang dilakukan oleh The Royal Society dan US National Academy of Science memberikan gambaran bahwa permasalahan perubahan iklim ini sudah terjadi sejak era tahun 1900-an.Â
Beberapa indikator yang menjadi perhatian akibat adanya permasalahan perubahan iklim ini terdeteksi dengan adanya peningkatan temperatur hingga 0,8 C atau 14 F. Peningkatan tersebut disertai dengan peningkatan suhu yang lebih hangat di lautan, pencairan es di kutub dalam jumlah yang cukup besar, terjadinya cuaca yang ekstrim juga menjadi beberapa indikator sedang terjadinya perubahan iklim.
Perubahan iklim global dapat menyebabkan pengaruh pola iklim dunia, distribusi hujan, arah dan kecepatan angin. Hal tersebut secara langsung akan berdampak pada kehidupan di permukaan bumi, seperti berkembangnya berbagai penyakit baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan, kekeringan, banjir, pengaruh produktivitas tumbuhan, dan lain sebagainya (Wibowo, 2009).
Hasil dari observasi perubahan iklim yang dilakukan oleh Hulme & Sheard (1999), Boer & Faqih (2004), dalam Harisuseno (2021) menyatakan bahwa temperatur rerata tahunan di Indonesia mengalami peningkatan 0,3 C. Jumlah hujan tahunan di Indonesia mengalami penurunan 2 hingga 3%. Pola curah hujan telah berubah, telah terjadi penurunan curah hujan tahunan di wilayah selatan Indonesia dan peningkatan curah hujan di wilayah utara.Â
Musim hujan (musim hujan dan kemarau) telah berubah, curah hujan musim hujan di wilayah selatan Indonesia meningkat sedangkan curah hujan musim kemarau di wilayah utara mengalami penurunan. Disadari atau tidak, dampak perubahan iklim di Indonesia juga telah dirasakan, baik secara langsung (fisik) maupun tak langsung (nonfisik).
Secara geografis, posisi Indonesia yang terletak di antara dua samudra (Pasifik dan Hindia) sangat rawan terhadap bencana hidrometeorologi, seperti kejadian iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan.Â
Apalagi dengan adanya perubahan iklim, El Nino akan menyebabkan kekeringan di Indonesia, terutama wilayah yang mempunyai pola curah hujan bertipe monsoon.
BMKG mencatat, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera akibat kemarau panjang terjadi pada tahun-tahun El-Nino, yakni 1997, 2002, 2004, dan 2006. Hutan gambut di Kalimantan misalnya, secara alami mudah terbakar ketika kemarau panjang melanda kawasan tersebut.Â
Di saat El-Nino kekeringan juga mengancam daerah pertanian di berbagai wilayah di Indonesia. Banyak petani gagal panen lantaran kemarau berkepanjangan sehingga persediaan air untuk tanaman terbatas.Â
Sementara itu, ketika terjadi La Nina, curah hujan di Indonesia meningkat pada saat musim kemarau. Fenomena tersebut juga menyebabkan awal musim hujan bergeser maju (Bell et al., 1999).Â
Pada tahun 2010 misalnya, terjadi suatu fenomena kemarau basah sehingga sepanjang tahun terjadi musim hujan. Hal ini merupakan salah satu contoh iklim ekstrem yang terjadi di Indonesia sebagai akibat dari terjadinya perubahan iklim. La Nina juga sering mengakibatkan banjir.
Pergeseran musim hujan dan kemarau dapat mempengaruhi pola masa (kalender) tanam dan perubahan pola tanam. Perubahan suhu dapat menyebabkan peningkatan serangan hama penyakit atau organisme pengganggu tanaman (OPT), dan gosong daun pada sayuran.Â
Perubahan pola angin dapat menyebabkan penyebaran hama, terganggunya penyerbukan dan pembuahan. Perubahan pola hujan, khususnya kekeringan dan banjir, dapat menyebabkan kegagalan pembuahan dan penyerbukan.Â
Perubahan kelembaban dapat menyebabkan peningkatan OPT. Peningkatan tinggi muka laut dapat menyebabkan masuknya air asin ke areal persawahan di wilayah pesisir. (Vk)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H