Satu persatu, setelah mengenakan Udeng, para peserta mendapat penjabaran mengenai sejarah dan latar belakang Jemparingan maupun paseduluran Langenasto.Â
Demikian juga piranti yang akan digunakan juga disingkap baik bahan, filosofi maupun tata cara menggunakannya. Misalnya  peserta diharuskan duduk bersila, menoleh ke sasaran, nginceng /mengunci target, lalu anak panah baru dilepaskan.
Bagi peserta pria wajib memakai Surjan lengkap dengan jarik yang melilit pinggang ke bawah. Untuk wanita bisa memakai kebaya, dan berlaku juga bagi para remaja serta anak-anak. Kosa kata Jemparingan sendiri berasal dari kata Jemparing atau anak panah.Â
Di sesi pengenalan peralatan, saya belajar mengenali cengkolak/pegangan busur, Â kendheng/tali busur dan deder/batang anak panah. Â Oya Gendewo atau busur yang disediakan paseduluran Langenastro merupakan karya seni yang dibuat sendiri oleh salah satu anggota. Bambu Petung diolah sesuai pesanan dan tinggi badan tiap peserta.
Masyarakat umum dipersilakan untuk menghubungi bila menghendaki sebagai koleksi ataupun sarana berlatih. Bisa melalui instagram @lengenastroyk dan @langenastro.jogja ataupun langsung ke Sasana Wisangeni.
Peserta awalnya melepaskan anak panah dengan jarak dekat yaitu 15 meter, dan setelah lebih terbiasa mulai berjarak 30 meter. Hal ini juga menyiratkan bahwa segala sesuatu dilakukan secara bertahap, tidak terburu-buru.
Kesimpulan
Panahan sendiri dalam bahasa Jawa dilafalkan sebagai Manah atau hati. Demikian juga yang dilakukan saat olah raga jemparingan seyogyanya digunakan sebagai latihan melepaskan anak panah(ego/hasrat) dan fokus mengembalikan pada tujuan awal (pencipta) dengan hati.