Baik, kembali ke Sego Lumbung tadi ya. Saya bergerak mengambil sebungkus di atas piring lawasan tadi. Tidak lupa lauk pauk yang sudah bikin kenyang mata saat mengantri. Kami ditemani bu Ida yang menjelaskan nama masakan serta bahan-bahan yang digunakan. Ternyata banyak bahan yang diambil langsung dari hasil kebun yang diusahakan sendiri.Â
Kebun sayuran tersebut tepat menyambut kita saat motor maupun mobil masuk ke area kafe. For your information, kafe yang  area parkirnya bisa mengakomodasi 100 mobil tersebut, menempati area seluas 1 hektar.
Saya memutuskan duduk di selasar bersama dua teman. Memang serasa di rumah nenek sendiri karena memandang kebun buah Kelengkeng dan menikmati desau angin sore. Beberapa teman berbincang disela menikmati sajian bahkan ada yang menambah. Cocok memang.
Setelah berdoa sejenak, perlahan saya membuka lembaran Sego Lumbung dan mendapati bahwa tersaji rapi nasi putih dengan taburan Tumis Tempe. Lengkap dengan Bihun Manis Pedas serta suwiran Ayam Goreng. Saya sematkan Sate Baceman Usus di sela-sela Cabe Rawit. Nasinya pulen dan hangatnya menguar sampai di permukaan bungkusnya.Â
Eit, foto di atas hanya penampakan dari sekian lauk yang saya nikmati. Di piring lain(piring ala lawasan) sudah berjejer sepotong sayap ayam goreng yang ternyata matangnya pas. Bumbunya meresap dan gurih, sepertinya sudah diolah dulu sebelum digoreng. Di samping kirinya, sudah menanti Sate Telur Puyuh dan Sate Bakso Bakar Pedas. Saya sarankan anda perlu menambah Sego Lumbung agar benar-benar puas menikmati.
Sebenarnya ada Lodeh Daun Singkong  yang tersaji hangat namun apa daya perut saya sudah mengatakan cukup. Setiap sendok nasi, masakan dan gurihnya lauk pauk terasa nikmat karena  kesegarannya terasa. Duh jadi teringat masakan nenek dan ibu sewaktu saya masih kecil.
Dahaga dan rasa pedas  di lidah saya dipadamkan dengan Teh Manis panas dan disusul Kopi Lumbung Mataram. Tenang sudah perut yang awalnya bergemuruh, maklum perjalanan dari rumah saya di sebelah utara Jogja cukup mengkosongkan perut.Â
Lampu-lampu di sekitar pendopo Joglo sudah berpendar dan perbincangan kembali diriuhkan dengan nostalgia berbagai masakan yang disantap tadi. Hingga tak terasa jam tangan menunjukan pukul 19.00 WIB, dan kami pamit beranjak pulang.Â