"Bu, jadi tho ke Lempuyangan lagi? Delok sepur sama beli sate ayam yak." Dan ibu mengangguk sembari menaburkan bedak ke ketiak saya. Maklum masih balita walau sudah bisa berbicara lancar.Â
Bapak lalu mendapat tugas berikutnya yaitu menyisir rambut jagung saya, dan membentuknya agar tidak mengembang walau nanti juga akan berantakan karena AC aka Angin Cendela mobil. Saya lebih suka membiarkan angin menabrak wajah saat mobil membawa kami sekeluarga menuju stasiun Lempuyangan. Walhasil saya sering masuk angin.
Bapak tidak memarkirkan mobil di stasiun namun di area bawah lengkungan fly over Lempuyangan. Rel kereta stasiun yang didirikan oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatchappij (NIS)Â memang membentang dari timur ke barat dan pilar-pilar jembatan layang tepat berjajar dari utara ke selatan. Ada tanah lapang di dekat satu pilar yang biasa dipenuhi pedagang makanan maupun penjual mainan. Saya termasuk yang tercepat keluar dari mobil, dan langsung jongkok di depan penjual sate. Tak jauh peringatan dari pos jaga palang kereta sudah terdengar. Dan selalu saja bisa mengalihkan perhatian saya dari aroma bakaran sate.
Tak lama kemudian suara klakson lokomotif dari arah barat terdengar. Jarak kami berdiri memang jauh dari rel kereta api namun cukup untuk bisa merasakan hembusan saat gerbong lalu lalang. Decitan roda dengan lajur besi rel juga membuat anak-anak terkesima dan para orang tua bahagia. Pasalnya dengan mudahnya mulut sang anak terbuka untuk disuapi. Kalian pasti tahu bagaimana susahnya membujuk anak kecil untuk makan. Kecuali saya versi masa kecil tentunya.
Kebiasaan tak tertulis tersebut berhenti saat saya sudah mengenakan seragam Taman Kanak-Kanak. Alasannya sendiri saya lupa. Yang jelas setelah selesai kuliah, saya lebih sering bertandang ke stasiun di sebelah barat stasiun Lempuyangan. Iya benar, namanya stasiun Tugu Jogja atau resminya bernama Stasiun Yogyakarta dengan kode YK. Mulai dari berangkat wawancara kerja di lain provinsi, menjemput teman ataupun sekedar menikmati kopi.
Station Djogja Toegoe pada awalnya dimiliki dua pihak yaitu Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij(NIS) dan Staatspoorwegen (SS) dengan jalur Yogyakarta-Surakarta. Setelah kemerdekaan, kepemilikan berpindah pada negara dengan pengelolan diserahkan kepada PT Kereta Api Indonesia. Coba deh tanya kepada kakek nenek kalian, apa pernah mendengar lagu Sepasang Mata Bola saat bertandang ke stasiun Tugu?
Saya pernah duduk tertidur sendiri di salah satu bangku tunggu stasiun Tugu dengan perut bergemuruh. Bisa sih beli makanan di kantin stasiun atau makan roti bekal dari Jakarta namun tidak saya lakukan. Pasalnya saya hanya ingin menikmati suasana stasiun setelah sampai dari Jakarta memakai kereta Senja Utama Jogja. Jam dinding stasiun menunjukan waktu 03.10 WIB.
Dari stasiun yang pernah menjadi lokasi syuting film Kereta Api Terahkir ini, saya pernah ke Solo bersama teman-teman Kompasiana Jogja. Dengan menggunakan kereta Prameks baik yang harus bergantungan saat berangkat maupun duduk manis saat pulang ke Jogja. Untung saja ada sepuluh kali jadwal setiap hari sehingga kami tidak risau saat baru pulang sore dari Museum Atsiri. Yah memang pakai acara lari-lari menuju loket tiket untuk jadwal terahkir keberangkatan. Waktu itu memang tiket belum bisa dipesan online.