Mohon tunggu...
Vika Kurniawati
Vika Kurniawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

| Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Papua dan Uni Papua, Dua Surga Kecil Gabriel Edoway di Indonesia

30 Desember 2019   15:55 Diperbarui: 23 Januari 2020   07:43 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Coaching Clinic BPIP. Dok: Pribadi

Hitam kulit keriting rambut aku Papua

Hitam kulit keriting rambut aku Papua

Biar nanti langit terbelah aku Papua

 "Om, emang enak pisang goreng dimakan bersama teh manis?" Saya mendekap pergelangan tangan di atas meja. "Enak, mari nona kecil coba makan sama-sama sini!"  Dan sebelum ajakan itu saya turuti, bapak sudah muncul di pintu ruang makan, terbanglah ajakan tersebut. Percakapan entah berapa puluh tahun lalu, masih saja saya ingat.  Suatu hari saya akan menyambangi Papua, dan melunasi ajakan yang belum selesai walau hanya bisa dengan putra beliau.

Bapak yang tahu saya kecewa, kemudian esok harinya menurunkan busur dari dinding rumah, untuk saya bersihkan. Bukan benda keramat, namun sebagai rasa hormat pada paman yang sudah jauh-jauh membawakannya. Kata ibu, "Ukiran Asmat" saat mata saya membulat seraya membelai ujung anak panah, batang tombak yang penuh ukiran atau Rencong Aceh. Saya memang dilahirkan dan dibesarkan di Jawa, namun terbiasa melihat beberapa asesoris bela diri beberapa suku di nusantara. Bukan hanya berasal dari Papua yang menempel di rumah (entah kemana sekarang keberadaanya).

Aku Papua, Yambe Rumbino dan Gabriel Edoway


Saya selalu heran kenapa selalu bergetar hati saat mendengar lagu-lagu daerah nusantara. Jika dulu Yamko Rambe Yamko maka dua tahun ini, lagu yang liriknya tertulis di awal tulisan, berhasil menyelusup. Jika saya saja merasakannya apalagi warga asli Papua. Yah memang ada saja oknum warga yang sedang merantau di Jawa yang berbuat tidak semestinya, namun itu tak mengurangi bergetarnya hati saat lagu ciptaan Yambe Rumbino mengalun. Apakah kalian juga merasakan yang sama?

 "Gabriel Fabianus Silvianus Edoway!" Saat tangan kami berjabat, saya merasa bertemu dengan saudara sepupu yang bermukim di Jayapura. Dan ingatan tentang memori pisang teh manis menyusut. Setiap kali saya bersua dengan saudara Papua walau dari jauh, memang memori tersebut menyembul seketika. Iya kakak dari bapak, menikah dan bermukim di Papua. Bukan hanya satu anggota keluarga besar kami, namun adik dari pihak bapak juga memilih pria Papua menjadi pasangan hidup. Yah begitulah, Papua bukan nama yang asing bagi saya.

Saat mendengar tutur kata, pemilihan nada serta isi pembicaraan, saya tak yakin dengan usia murid SMP di Salatiga yang selalu ditulis di media massa dengan usia 14 tahun ini. Saya menanyakan ulang. "Iya, umur 14 tahun. Di Uni Papua kami bukan hanya diperbolehkan bermain bola dalam arti sebenarnya, namun juga belajar Public Speaking, berbagai bahasa asing dan budi pekerti." Saya mendadak berharap semua anak Indonesia berkesempatan sama mengenyam pengalaman seperti anak lelaki dengan rambut keriting berbalut kemeja batik Papua. Kapan ya? Semoga Mas Nadiem bisa membuka jalan. Eh kok pembahasannya jadi meluas ya? Haha

Berikut saya sertakan video saat Gaby menuturkan pendapatnya ya, siapa tahu ada yang belum mengenal Gaby baik secara prestasi maupun pemikirannya. Oya Gaby disamping menjadi Duta Uni Papua Football Community juga merupakan salah satu dari 74 Ikon Pancasila 2019 loh.

Coaching Clinic BPIP


"Pokoknya, senam seperti ini akan saya adopsi di sekolah!" ujar kak Tery menirukan pendapat salah satu guru. Dengan celana pendek coklat tua dan kaos, saya berdiri di tengah lapangan untuk mengambil gambar bergerak dari acara senam persamuhan guru. Kak Tery beserta teman blogger yang lain juga melakukan hal yang sama. Pukul 06.00 WIB 1 Desember 2019, di lapangan tenis hotel Shangri-La Surabaya, kami beserta 500 guru perwakilan 34 provinsi menyatu dalam gelak tawa dan gerakan senam yang mungkin kami jarang lakukan bersama.

Dan seperti biasanya saya mendekati nara sumber untuk acuan valid konten yang akan tersebar melalui akun media sosial atau blog saya. " Lingkaran Persahabatan atau Bhineka Tunggal Ika namanya, Uni Papua memang menyusun semua game sesi ini sesuai materi di sekolah bola kami yang sudah diakui oleh FIFA!" Jawaban dari Suharti Sadja, satu-satunya wanita yang saya lihat berada di tengah lapangan memimpin tim Uni Papua, membuat saya berdecak. Ternyata wanita yang ramah serta membumi ini adalah salah satu daripengurus pusat Uni Papua. Ah beginilah nasib blogger, bisa saja dapat kesempatan bercakap-cakap dengan banyak nara sumber yang kompeten di bidangnya. Yuk jadi blogger, curhatmu bisa jadi income loh!

"Membuat lingkaran lagi berdasarkan mata pelajaran yang diampu!" Seruan dengan nada ramah dari salah satu coach membuat belasan lingkaran berdasarkan provinsi, menyeruak kembali. Dan saya yang berada di tengah lapangan beberapa saat mencium parfum alami saat dilewati para guru sejarah, PKN, Seni dan budaya. Mereka memang kebinggungan, namun gelak tawa terdengar berderap. Saya melihat mereka begitu lepas, ah setiap pribadi selalu ada sosok anak kecil di jiwa mereka.

Uni Papua dan Sepak Bola


"Uni Papua-Social Football; the Challenges and Choices for Sustainability. Itu judul tesis saya saat mengambil program Magister Manajemen di Universitas Trisakti, jurusan Community Enterprise (MM-CE). Dan terkait tesis itu, saya tentang Uni Papua tersebut, proposal saya dan team CECT juga diterima oleh the International Society for Third-Sector Research (ISTR) dan mendapatkan kesempatan untuk memresentasikan tentang Uni Papua di Bangkok. ISTR adalah sebuah asosiasi internasional yang mempromosikan penelitian dan pendidikan dibidang masyarakat sipil, filantropi, dan sektor nirlaba. Dunia sepakbola itu menarik mba, terutama saat tahu tujuan dasar Uni Papua  pada awalnya ingin suku-suku yang ada di Papua lebih berdamai dan sepak bola menjadi tools untuk mengurangi konflik antar suku yang kerap terjadi, di Papua itu sukunya banyak sekali lho, ada sekitar 255 suku."

Saya yang tak menyangka ada sebanyak itu suku di Papua kembali terkagum saat diberitahu bahwa bola yang digunakan oleh Uni Papua yang dikirimkan oleh FIFA tersebut tidak bisa kempes. Kita bisa mencobanya saat di kantor Uni Papua dan komunitas-komunitas yang disokong oleh Uni Papua. Don't worry be happy, walau bersemat kata Papua namun perkumpulan  sepak bola sosial  Uni Papua menerima semua anak dari semua provinsi. Cek laman resminya ya untuk detail informasi.

"Saya suka juga sepak bola namun sekarang lebih banyak bermain voli. Sekeluarga sih memang suka olah raga terutama karena papanya Gaby memang yang mengajak." Dan jawaban mama Mery, ibunda Gaby membuat saya teringat akan ibu yang juga mempunyai hobi main voli. Ah kenapa wawancara kali itu membuat saya baper dari awal ya? Haha

Sepak bola yang saya kenal semata hanya sekedar tontonan yang menghebohkan dunia, entah karena nilai fantastik para pemain klub luar negeri. Juga tentang wajah rupawan para pemainnya ataupun kehidupan pribadi seperti David Bachkam ataupun Christiano Ronaldo. "Sepak bola itu dunia yang menyenangkan sebenarnya, dan di Uni Papua kami mengenal bahwa prestasi adalah bonus, namun yang terpenting bagaimana kerja sama tim. Saya selalu mengajak teman sebaya di Papua untuk bermain sepak bola yang benar, dimana menikmati permainan adalah penting."  Andai saja semua pelaku di dunia sepak bola mempunyai pemikiran yang sama dengan Gaby, maka tawuran dan kasus korupsi oleh oknum menjadi barang basi.

"Awalnya memang acara olahraga dimainkan untuk menjalin persahabatan antara dua kubu yang bertikai, seperti Olympian Truce atau Gencatan Olimpiade yang menghentikan perang antara negara kota Peloponnesia  pada abad ke-9 SM di Yunani. Demikian juga Christmas Truce atau Gencatan Natal pada tahun 1914 antara pasukan Jerman dengan Inggris yang sepakat bermain sepak bola dan bertukar hadiah natal." Uraian lengkap dari Suharti Sadja yang juga salah satu pengelola perusahaan Mister Kirim Logistics ini membuat saya berpikir, bahwa benar langkah pemda Jakarta saat kepemimpinan Pak Ahok yang bekerja sama dengan Uni Papua mengadakan Rusun Cup.

Kesimpulan


Demikian juga rencana BPIP dengan Uni Papua melaksanakan turnamen sepak bola Pancasila dengan peserta siswa U-13. Rencananya akan  dilaksanakan babak penyisihan di Medan, Menado, Surabaya, Pontianak, Bali, Manokwari serta Jakarta sebagai puncak final 28 Oktober 2020. Oya sudah tahu tentang pembangunan stadion Papua Bangkit yang berkapasitas 40 ribu penonton  di Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua?

Tentunya menjadi salah satu ikon Papua yang bukan hanya ditujukan sebagai tempat pertandingan sepak bola saja yang unik berornamen ukiran Papua, namun juga dilengkapi lintasan atletik. Apakah kalian sama seperti saya yang penasaran bagaimana jalannya pertandingan sepak bola pada Pon 2020 kelak? Yang jelas bibit unggul sepak bola Indonesia asal daerah Papua seperti Boaz Solossa, Oktavianus Maniani, Titus Bonai, dan Patrick Wanggai akan semakin bermunculan.

Apakah kalian masih percaya bahwa sepak bola Indonesia akan tetap berprestasi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun