Apa hubungannya antara food blogger dengan naskah kuno sejarah? Tentu ada benang merah antara keduanya, jika menyimak Serat Cethini yang merupakan salah satu karya kesustraan Jawa Baru. Naskah yang pada zaman sekarang tergolong kuno, berisi himpunan ilmu yang dialurkan dengan kisah pelarian putra-putri Sunan Giri. Manuskrip yang mulai ditulis pada Januari 1814 menyebutkan salah satu lauk pauk sekaligus kudapan yang tetap hadir di dunia kuliner dunia.
Iya, kudapan tersebut adalah tempe, seperti yang tertulis pada bagian Cebolang  melakukan perjalanan dari Candi Prambanan menuju Pajang. Saat dijamu oleh Pangeran Bayat di dusun Tembayat maka terlontarlah kalimat, "Brambang jae santen tempe...asem sambel lethokan." Dari kalimat tersebut, maka kita tahu bahwa pada masa tersebut tempe sudah dikomsumsi secara umum.Â
Pencatatan data kuliner dalam Serat Centini  sendiri berlokasi mulai ujung barat hingga bagian timur pulau jawa. Kuliner sendiri merupakan satu bagian dari beberapa bagian yang dibahas. Sebagai food blogger, terselip rasa bangga bahwa penulisan data kuliner menjadi bagian dari manuskrip kuno.
Nusantara memang kaya akan bukti peradaban berupa manuskrip, candi, kuliner, seni baik tarian maupun lukisan dan sebagainya. Keraton Yogyakarta sendiri telah melakukan perawatan serta pelestarian koleksi yang tersimpan rapi secara fisik, menjadi koleksi bentuk digital. Koleksi fisik juga dipamerkan  ke khalayak umum sebagai bagian dari sarana pembelajaran budaya.Â
Salah satunya adalah pameran Merangkai Jejak Peradaban Nagari Ngayogyakarta Hadingrat pada 7 Maret- 7 April 2019 Â mulai pukul 09.00- 21.00 WIB di Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta. Pameran yang diadakan selama sebulan tersebut bertepatan dengan perayaan 30 tahun Sri Sultan Hamengku Buwono X bertahta.
Sayang sekali selama pameran, tidak diperkenankan hadirnya gawai serta kamera untuk mengabadikan. Alhasil kembali ke sarana awal pencatatan informasi yaitu menulis di kertas. Sungguh selaras dengan manuskrip yang dipamerkan, pengunjung menjadi tahu bagaimana rasanya para "blogger" menulis manuskrip kuno pada zamannya. Ruang pameran sendiri berada di tengah Bangsal Pagelaran di mana dibagi menjadi sayap barat dan timur.
14 naskah kuno koleksi dari Museum Sonobudaya, perpustakaan keraton, Widya Puro Pakualaman serta wayang pusaka dengan tokoh Arjunaemua berada di sayap timur. Sedangkan 27 naskah dari 75 naskah kuno yang dijarah Inggris pada peristiwa Geger Spehi dipamerkan dalam bentuk digital, berada di sayap timur.Â
Demikian juga terdapat 13 naskah kuno yang ditempatkan di kotak kaca khusus. Oya di setiap pintu masuk ruangan pameran dijaga seorang Bergada Dhaeng dengan tombak panjang 3 meter. Panjang pendeknya tombak serta warna hiasan pada topi yang dikenakan juga menandakan pangkat dan tanggung jawab para Dhaeng.Â
Syukurlah sudah diperbolehkan menggunakan gawai untuk mengabadikan momen berharga tersebut. Bagaimana tidak berharga bila prajurit tersebut hadir hanya saat acara tertentu. Saya sendiri tidak sabar untuk mendapat kesempatan meneliti Serat Centini yang juga berisi sisi kuliner.Â
Dan saya saat ini sudah bahagia diperbolehkan memegang tombak yang sudah digunakan sejak Bergada Dhaeng diperbantukan di kesultanan Yogyakarta. Mudah sekali bukan menciptakan kebahagiaan saya.
Ada yang belum mengetahui peristiwa Geger Spoy (sering dibaca spehi  yang merupakan bentuk pengucapan dari Spoy yang dilafalkan oleh orang jawa)? Peristiwa tersebut yang berlangsung 19-20 Juni 1812, di mana 1000 serdadu Inggris bersama serdadu yang berasal dari Sepoy India serta serdadu Eropa masuk ke keraton.Â
Kapitan Tionghoa Tan Jin Sing telah menyiapkan tangga bambu untuk masuk melewati Plengkung Tarunasura dan Pintu Pancasura. Demikian juga ada penambahan 500 prajurit Legiun Pangeran Prangwedono dari Mangkunegaran Solo. Setelah pertempuran terdahsyatnya telah selesai maka dimulailah peristiwa penjarahan harta serta koleksi keraton.
Kiai Paningset, Kiai Urub serta koleksi senjata pusaka yang lain turut dijarah bersama gamelan, akta tanah, arsip, manuskrip sejarah, pakaian kebesaran, keris, mahkota Sultan bahkan kancing pakaian terbuat dari berlian dilucuti tentara Inggris. Penjarahan berlangsung selama empat hari menggunakan pedati melawati Alun-Alun Kidul.Â
Dua minggu setelah pengangkatan Pangeran Notokusumo sebagai Pakualam, kemudian Sultan Sepuh dibuang ke Malaka oleh Inggris. Pada 1817, Gubernur Raffles menerbitkan The History of Java, yang menjadi sumber awal bagi literasi dunia tentang kehidupan masyarakat jawa.
Saat saya melihat bentuk digital dari 27 naskah kuno dari peristiwa Geger Spoy, keadaannya memang masih baik dengan goresan tinta yang masih jelas terbaca.  Beberapa ornament dengan warna merah serta emas juga menghiasi, sayangnya watermark manuskrip tidak bisa dilihat. Sejauh yang saya tahu saat mendapat kesempatan memeriksa sebuah manuskrip kuno  di Museum Sonobudoyo, jika diterawang dengan bantuan senter maka kertas manuskrip akan tampak watermark (logo) dari pabrik kertas yang digunakan. Dari logo tersebut akan membantu pengidentifikasian latar belakang penulisan manuskrip. Semoga suatu saat naskah fisiknya bisa kembali ke tempatnya berasal sehingga anak cucu bisa mempelajari secara langsung.
Dari peristiwa Geger Spoy, penerbitan The History of Java, diserahkannya bentuk digital naskah kuno dari British Library menandakan bahwa penulisan literasi merupakan bagian dari peradaban suatu negara. Â
Jika "blogger" zaman dahulu menggunakan daun lontar, relief, kertas serta menggunakan bahasa pengantar aksara kuno maka di era sekarang lebih banyak menggunakan media digital. Apa yang kita unggah ke dunia maya merupakan jejak digital kehadiran hidup kita masing-masing serta dibaca oleh anak cucu.
Jadi jejak digital apa yang sudah kita torehkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H