Mohon tunggu...
Vika Kurniawati
Vika Kurniawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

| Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjahit Nasionalisme di Antara Ironi Tujuh Puncak Daratan

21 September 2017   08:25 Diperbarui: 22 September 2017   09:35 1708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guliran bendera raksasa. Doc:Pribadi

"Berat, aku salah.."

Namun gumamanku terhenti saat ujung mata di balik lensa terbentur gundukan besar berlapis plastik oranye. Ketiakku yang basah oleh keringat seketika tersenyum malu karena karena tak satupun tetesan air di dahi mereka. Iya, gundukan itu adalah tas ransel besar yang menempel ketat di punggung lima lelaki. Tak perlu bertanya, saya sudah paham kalau mereka adalah pendaki gunung.

Sore tersebut sandal gunung saya berjalan kecil menapaki jalur trotoar untuk berpindah ke koridor kereta api kelas ekonomi menuju Batavia modern. Lima lelaki bercelana panjang, tepatnya jeans dan khaki, serta sepatu ukuran dua kali lipat sandal saya. Saya sempat tertawa geli karena mereka menyapa saat tahu kami akan satu gerbong. Saya memang menempel tak ketat di sisi mereka. Kepo dengan isi ransel mereka yang segede gaban kalau istilah para generasi kini. Keluhan akan isi ranselku menjadi tak terucap lagi.

Sayangnya kami terpisah oleh sederet bangku dengan kerumunan penghuni seperti ikan pepes. Untung fasilitas kereta api sekarang sudah lebih baik, walau saya terkadang merindukan teriakan para abang dengan kepulan mie instan rebus. Saya juga paham bahwa para pendaki tersebut juga merasakan hal yang sama.

Adegan beberapa tahun lalu tersebut kembali menguar saat terpaku melihat salah satu adegan "Negeri Dongeng". Beberapa anggota tim salah turun stasiun dan berkerumun bercanda. Saya tersenyum seketika. Saya tahu kalau mereka akan menjahit nasionalisme mereka di antara Gunung Kerinci, Semeru, Bukit Raya, Rinjani, Latimojong, Binaiya, dan Gunung Cartens Pyramid Papua.

Saya bukan pencinta alam dalam konteks  anggota komunitas tertentu yang mengalokasikan waktunya untuk berpetualang. Saya juga bukan seseorang yang tidak peduli dengan alam, walaupun belum berkontribusi dengan banyak. Yang saya tahu bahwa rasa turut bangga hadir saat melihat dokumentasi para tim pendaki Aksa 7 berhasil mencapai tujuh puncak. Bukan karena bendera sudah tertancap, namun karena proses yang mereka jalani sudah selesai dengan baik. Bukankah kalimat "proses adalah bagian terpenting"  terdengung seperti yang saya sempat rekam selama film.

Konferensi pers. Doc:Pribadi
Konferensi pers. Doc:Pribadi
Saya tidak melihat film ini sebagai propaganda atau proposal bagi para orangtua untuk persetujuan buah hatinya untuk naik gunung. Saya melihat film ini cukup adil dengan memberikan suguhan yang imbang antara hasil, proses, langkah yang ditempuh, dan efek samping bila melakukan pendakian gunung.  Hidup ini adalah pilihan, dan setiap pilihan disertai konsekuensi.

Sebagai propanda kesadaran lingkungan sudah pasti kala ada adegan para anggota menuangkan bahan makanan ke satu kantong plastik untuk tiap jenisnya. Langkah hemat plastik yang tepat, di kala sampah dari pendaki yang menjadi momok tersendiri. Sebuah ironi pertama yang terekam di film Negeri Dongeng.

Para ekspeditor gunung dalam tim tersebut (maaf saya tidak mengenali wajah mereka sebelum melihat film) juga mengalami pergulatan baik secara pribadi maupun hubungan dengan rekan. Demikian juga hubungan sisi romantik hidup, keluarga, juga dengan kesehatan raga mereka. Jika film ini dibuat dengan tujuan membujuk para orangtua, maka  adegan tersebut tidak akan ada.

Wajah yang saya kenali tentu saja beberapa bintang tamu (Nadine Chandrawinata, Daniel Sinartya, dan Mediana Kamil) yang turut mendaki gunung di beberapa misi.  Lumayan menyegarkan mata di saat melihat penampilan luar para ekspeditor lain yang kusut. Lanskap pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku hingga Papua menjadi saksi gurauan mereka yang silih berganti dengan hamparan puncak yang telah dijejaki.

Budaya, adat istiadat penyambutan dari tiap daerah yang dituju juga menjadi penarik perhatian saya. Misalnya saja saat bertandang ke Kalimantan, dan Sulawesi maka tampak adegan di mana tetua adat melakukan ritual khusus. Tentu hal itu dilakukan untuk menjaga para anggota tim dari gangguan yang tidak diinginkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun