Mohon tunggu...
Vika Kurniawati
Vika Kurniawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

| Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Yogyakarta, Kota yang Selalu Mengizinkan Disebut Rumah Bersama

21 Agustus 2017   10:00 Diperbarui: 23 Agustus 2017   08:57 4222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gado-gado khas Jogja. Doc:Pribadi

"Mba, aku ketinggalan kereta." Memang hanya terdiri dari  empat kata namun sudah menohok kembali  keresahan diri. Ada sedikit rasa bersalah karena urung mengingatkan gadis berlensa serta berlogat Jawa Timur tersebut. Tanggapannya saat tiket yang lumayan nominalnya menjadi hangus di malam ketiga di Jogja, "Tak mengapa."

Saya tidak mendapati adanya kekecewaan yang berarti saat membaca percakapan kami di gawai selanjutnya, bahkan keinginannya untuk kembali lagi sudah dijanjikannya. Sedikit mengelikan karena dia masih dinaungi langit Jogja saat  dia, dan saya mentertawakan diri sendiri. Dia adalah ekstrovet flegmatis berbalik dengan saya yang introvert melankolis.

Hari pertama bersama Adis. Doc:Adis
Hari pertama bersama Adis. Doc:Adis
Titipan langit berupa tetesan yang disebut gerimis sebenarnya sudah menemani dirinya sejak malam pertama menjejakan kaki. Saya menyempatkan diri menjemput dan menemaninya mulai dari pelataran Stasiun Lempuyangan. Malam kali kedua di mana dia menyusuri kota yang mendengar tangisan pertamaku saat bersua dengan dunia, saya urung bisa menemani petualangannya. Namun menjaga melalui doa dan sekumpulan percakapan melalui gawai tentu saja.

"Aku akan pulang sembari membeli Gudeg." Pesan terahkir yang saya terima karena dia pamit untuk memesan taksi. Petir sudah riuh menyapa sepertinya dan membuat kaca-kaca cafe kekinian mengurung dirinya dengan segenggam Gelato. Satu jam yang berlalu membuat gawai rajin saya sentuh ataupun sekedar memasang telinga lebih tajam, berharap ada satu dua kabar dari gadis yang sebenarnya sangat mandiri. Dia pernah menjadi relawan di garis pedalaman Indonesia, jadi kekhawatiran saya sebenarnya tak cukup kuat dalam logika. Biarlah.

Gado-gado khas Jogja. Doc:Pribadi
Gado-gado khas Jogja. Doc:Pribadi
Adis, hanyalah segelitir turis dalam negeri yang menyambangi kota sepeda (motor) dalam hitungan hari namun sudah  menanam memori seumur hidup. Segelas Kopi Joss, tarikan segar Jamu Kunir, hirupan bakaran Sate Usus dengan suapan Sego Kucing sudah menawan perut dan hatinya. Sayangnya dia belum sempat mencicipi gado-gado khas Jogja. Sederet kombinasi kuliner khas yang selalu  bersanding romantisme Jogja.

Kisah diutarakannya janji untuk kembali ke Yogyakarta, bukan hanya terluncur dari Adis seorang. Sahabat, rekan bisnis, saudara lain pulau, bahkan teman di seberang Negara juga ingin bersua. Bukan dengan saya saja tentunya, beberapa memang tertawan hatinya pada warga maupun  mempunyai mantan kekasih yang bermukim di Yogyakarta. Sebuah alasan yang penting bagi pribadi melankolis seperti saya. Seperti Yogyakarta yang terbentuk dari rindu dan kenangan, begitu juga pribadi melankolis yang terpahat dari hati. Bagaimana dengan anda?

Saat mendapati untaian mahkota bulu burung cendrawasih yang dikenakan peserta karnaval 17 Agustus di lingkungan, saya teringat saudara sepupu saya dari Papua. Mereka berduyun-duyun meraih ilmu di Sekolah Dasar sampai menjadi sarjana, dan hasil dari proses panjang tersebut tumbuhlah kecintaan akan Yogyakarta. Salah buktinya dalah perubahan logat saat berbicara dan menyatunya perilaku dengan lingkungan sekitarnya. Kebiasaan keharusan makan nasi bagi orang Jawa cukup menular pada saudara saya. "Makan belumlah disebut makan jika belum ada nasi."

Butir padi yang dijemur. Doc:Pribadi
Butir padi yang dijemur. Doc:Pribadi
Hampir sebagian teman saya adalah perantau, yang menjadi logat jawa urung terdengar saat berbicara. Demikian juga mereka, terkadang hanya terdengar sedikit sengau ataupun terbata-bata melafalkan kalimat dalam bahasa jawa. Sebuah kerja keras yang patut diacungi ibu jari mengingat tak mudah mempelajari sebuah bahasa baru.

Saya teringat semasa duduk di bangku Sekolah Dasar di mana pelajaran bahasa Jawa menjadi salah satu disiplin ilmu. Setiap siswa luar daerah tetap mendapat tugas untuk menghapal, dan menulis aksara jawa lengkap dengan artinya. Saya hanya termangu pada seorang teman pria yang dengan santainya mengerakan ujung pena membentuk rangkaian kalimat dengan aksara jawa. Saya menjadi termangu-mangu (di samping memang menaruh hati pada pria tersebut) karena sebagai warga asli jawa saja mendapati kesulitan menarikan bentuk serupa seni tersebut. 

Aksara Jawa di trotoar Malioboro. Doc:Pribadi
Aksara Jawa di trotoar Malioboro. Doc:Pribadi
Saya menjadi merasa hanya setengah warga Jogja saat mendapati dia lebih mahir daripada siswa yang lain di pelajaran  bahasa jawa. Memang benar, aksara Jawa memang bukan semata milik orang Jawa, tapi milik semua pribadi yang mau mempelajarinya. Terbuktilah sudah kalimat , "Menjadi Jogja menjadi Indonesia." Demikian juga saat menemani teman saya, yang saat datang ke Yogya, selalu saja melakukan ritual duduk di bangku maliboro. Sebuah ritual yang terkadang hanya diselingi melihat langit semburat orange di atas titik nol kilometer. Pada saat demikian, saya merasa para perantau lebih mendalami romantisme Yogyakarta daripada para penghuninya.

Mainan Bambu. Doc:Pribadi
Mainan Bambu. Doc:Pribadi
Tentu kota di mana saya menghabiskan masa balita, remaja hingga dewasa, tidak selalu tanpa warna lain. Seperti kuliner Yogyakarta tidak hanya berupa Gudeg atau rekan sejawatnya, maka sisi lain perkembangan inovasi juga hadir. Apa pertambahan, inovasi baik kuliner maupun perkembangan jumlah hunian dan tempat wisata akan mengubah Yogyakarta?

Saya tak mendapati hal tersebut secara masif. Sejumlah sudut komunitas pengiat, setumpuk kegiatan kesenian, dialog-dialog kedaerahan, lomba blog ataupun video, dan gerakan untuk tetap membumi masih tetap berkelanjutan. Tentu semua digerakan karena mencintai Yogyakarta dengan segala sisi budaya  dan pergumulan sebuah kota berkembang pada umumnya.

Bangsal Kepatihan. Doc:Pribadi
Bangsal Kepatihan. Doc:Pribadi
Benar Yogyakarta bukan hanya terdiri dari kota Jogja, melainkan juga empat kabupaten lain. Namun seperti kepalan tangan yang membutuhan semua jemarinya, maka Kota Jogja adalah cerminan perkembangan dan kehidupan bagian Yogyakarta yang lain. Sehingga saat perantau datang dan bertempat tinggal di salah satu sudut kota Jogja, dia sudah melihat Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya. Karena semua citarasa, bahasa, seni, budaya, nilai sosial, sudut pandang, perilaku dari tiap daerah di Indonesia sudah terhampar di Kota Jogja. Seperti Adis saat di Jogja, bisa tetap menikmati menu kudapan dengan tema internasional ataupun sajian kopi yang mengalami perpaduan dengan cita rasa lokal.

Kudapan tradisional Yogyakarta. Doc:Pribadi
Kudapan tradisional Yogyakarta. Doc:Pribadi
Seperti saya yang selalu saja ingin cepat kembali ke Yogyakarta saat bersama ular besi menapaki kota lain, maka demikian juga para perantau tanpa mengikis rasa cinta pada kota kelahirannya. Rumah Bersama adalah nama lain dari Yogyakarta di mana setiap orang diijinkan untuk selalu pulang.  Menjadi Jogja Menjadi Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun