"Mba, aku ketinggalan kereta." Memang hanya terdiri dari  empat kata namun sudah menohok kembali  keresahan diri. Ada sedikit rasa bersalah karena urung mengingatkan gadis berlensa serta berlogat Jawa Timur tersebut. Tanggapannya saat tiket yang lumayan nominalnya menjadi hangus di malam ketiga di Jogja, "Tak mengapa."
Saya tidak mendapati adanya kekecewaan yang berarti saat membaca percakapan kami di gawai selanjutnya, bahkan keinginannya untuk kembali lagi sudah dijanjikannya. Sedikit mengelikan karena dia masih dinaungi langit Jogja saat  dia, dan saya mentertawakan diri sendiri. Dia adalah ekstrovet flegmatis berbalik dengan saya yang introvert melankolis.
"Aku akan pulang sembari membeli Gudeg." Pesan terahkir yang saya terima karena dia pamit untuk memesan taksi. Petir sudah riuh menyapa sepertinya dan membuat kaca-kaca cafe kekinian mengurung dirinya dengan segenggam Gelato. Satu jam yang berlalu membuat gawai rajin saya sentuh ataupun sekedar memasang telinga lebih tajam, berharap ada satu dua kabar dari gadis yang sebenarnya sangat mandiri. Dia pernah menjadi relawan di garis pedalaman Indonesia, jadi kekhawatiran saya sebenarnya tak cukup kuat dalam logika. Biarlah.
Kisah diutarakannya janji untuk kembali ke Yogyakarta, bukan hanya terluncur dari Adis seorang. Sahabat, rekan bisnis, saudara lain pulau, bahkan teman di seberang Negara juga ingin bersua. Bukan dengan saya saja tentunya, beberapa memang tertawan hatinya pada warga maupun  mempunyai mantan kekasih yang bermukim di Yogyakarta. Sebuah alasan yang penting bagi pribadi melankolis seperti saya. Seperti Yogyakarta yang terbentuk dari rindu dan kenangan, begitu juga pribadi melankolis yang terpahat dari hati. Bagaimana dengan anda?
Saat mendapati untaian mahkota bulu burung cendrawasih yang dikenakan peserta karnaval 17 Agustus di lingkungan, saya teringat saudara sepupu saya dari Papua. Mereka berduyun-duyun meraih ilmu di Sekolah Dasar sampai menjadi sarjana, dan hasil dari proses panjang tersebut tumbuhlah kecintaan akan Yogyakarta. Salah buktinya dalah perubahan logat saat berbicara dan menyatunya perilaku dengan lingkungan sekitarnya. Kebiasaan keharusan makan nasi bagi orang Jawa cukup menular pada saudara saya. "Makan belumlah disebut makan jika belum ada nasi."
Saya teringat semasa duduk di bangku Sekolah Dasar di mana pelajaran bahasa Jawa menjadi salah satu disiplin ilmu. Setiap siswa luar daerah tetap mendapat tugas untuk menghapal, dan menulis aksara jawa lengkap dengan artinya. Saya hanya termangu pada seorang teman pria yang dengan santainya mengerakan ujung pena membentuk rangkaian kalimat dengan aksara jawa. Saya menjadi termangu-mangu (di samping memang menaruh hati pada pria tersebut) karena sebagai warga asli jawa saja mendapati kesulitan menarikan bentuk serupa seni tersebut.Â