"SNSD akan diundang ke HUT Kemerdekaan ke 72", dan saya menelan ludah saat membaca kalimat tersebut di linimasa salah satu sosial media. Sebagai salah satu penggemar K-Pop, Drama Korea, dan  makanan Korea maka informasi tersebut membuat saya senang sekaligus keheranan.
Senang karena kemungkinan besar saya akan ke Jakarta untuk menyaksikan grup band idola. Keheranan karena sebuah terobosan yang bisa diprediksi akan menimbulkan kontra bila informasi tersebut benar adanya. Saya memperkirakan informasi tersebuit adalah hoax semata. Adapun bentuk hoax yang sering diterima dan disebarkan terdiri dari  62,10 % tulisan atau artikel, dan 37,50 % gambar.
Tak membutuhkan waktu lama setelah informasi tersebut ditayangkan, muncul puluhan komentar yang cenderung perundungan pada  pemerintah yang dianggap memutuskan terobosan tersebut. Kenapa begitu cepat informasi tersebut tersebar? Maklum saja  karena Indonesia duduk  di peringkat kelima  penggunaan Internet sedunia.
Saya enggan menuliskan pendapat karena tidak akan berujung pada apapun. Berikut dua pertanyaan yang harus saya jawab sendiri saat  menyebarkan berita: Apakah isi berita sudah dikonfrimasi pihak terkait? Apakah berita tersebut berguna bila disebarkan?
Informasi palsu tentang SNSD tersebut sebenarnya hanya sebagian dari sekian ratusan ribu ketidak jelasan komunikasi, dan hoax yang berputar di dunia maya. Tercatat hoax menyebar dari sosial media sebanyak 92,4 %. Terdiri dari penggunaan aplikasi chat 62,8 %, dan  34,9% dari situs web. Sayangnya tak semua mendapat konfirmasi ulang dari pihak terkait, sehingga menjadi berita yang diklaim kebenarannya karena  tersebar luas. Sebenarnya ada beberapa cara untuk mengenali hoax, sehingga jari kita tidak dengan semangat memijat tetikus untuk menyebarkannya.
Ciri- ciri hoaks:
1. Pesannya membela atau membela sepihak, Â dan sering mencatut nama tokoh.
2. Memanfaatkan fanatisme dengan nilai ideology atau agama.
3. Judul, tampilan provokatif dan link tidak sesuai dengan isi.
4. Minta disebarluaskan
Jika kasus SNSD termasuk pada kategori hoax sosial politik yang merupakan bagian dari 91,8 % dari seluruh hoax, maka kasus perundungan bisanya termasuk dalam jenis hoax sara. Kasus perundungan sendiri yang terbaru adalah pelecehan terhadap mahasiswa difabel. Perundungan juga banyak terjadi karena ada pemicu dari penggunaan gawai yang terkoneksi dengan akses Internet. Parahnya anak usia sekolah sekarang sudah memiliki gawai masing-masing. Keengganan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, pekerjaan rumah serta pola tidur terganggu, dan ketagihan pada internet adalah efek negatif dari penggunaan gawai.
Jika efek negatif dari penggunaan gawai tidak ditanggulangi maka kasus perundungan bisa bermunculan lebih banyak. Hal ini di sebabkan kurangnya interaksi antar anak dengan keluarga. Ada banyak langkah yang bisa dilakukan orang tua untuk menanggulangi dampak negative. Misalnya saja memberi batasan waktu, Â dan mendampingi anak saat mengakses internet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H