Bibir pria berkumis tebal tanpa sungkan mencumbu sesuatu di ujung pertemuan telunjuk dengan ibu jarinya. Jika saja biji kopi bisa diwujudkan dalam raga putri Adam, niscaya Ben, yang tentu saja diperankan dengan baik oleh Chicco Jerikho, akan menikahinya secara hukum. Dalam review singkat berikut saya akan mencoba memberikan beberapa point yang penting bagi anda yang penasaran dengan sekuel film Filosofi Kopi:
1. Romantisme antar tokoh bertaburan.
Jika anda mengharapkan adegan percintaan antar tokoh yang vulgar maka lupakanlah. Semua adegan di film Filosofi Kopi 2 menggambarkan cinta yang dewasa. Kita diberi kebebasan berimajinasi dengan arti dialog, Â dan penggambaran yang terpampang.
Dengan bahasa tubuh yang tidak perlu menggunakan gambaran hubungan fisik yang berlebihan, penonton digiring mengenal bagaimana tiap tokoh menampilkan sisi romantisme masing-masing. Pertemuan antara dua tokoh pria utama dengan dua tokoh wanita baru, menjadi daya tarik sekaligus penjalin konflik antar adegan. Romansa tercipta.
Sebenarnya akan lebih menarik lagi jika jalan cerita lebih sulit ditebak, seperti halnya kalimat-kalimat filsafat yang bertebaran. Ben tetap saja terlihat, dan memang diperlihatkan sebagai magnet serta pangeran di masa kini. Memang sebuah formula yang hampir selalu berhasil di setiap film.
Sebuah pertanyaan terlintas, "Apa juga semua barista memiliki keahlian yang sama menarik lawan jenis seperti Ben?" Yah, seperti yang kita tahu, barista memang termasuk pekerja seni yang biasanya cerdas dalam mendawai perasaan. Baiklah, romansa antar tokoh sudah diutarakan, dan memang cinta adalah topik menarik dibahas manusia disamping sex, uang dan hantu. Mari beralih ke kadar cinta yang lebih dalam, dan universal.
2. Romansa manusia dengan alam.
Romansa manusia dengan alam adalah level cinta selanjutnya yang saya dapati di film Filosofi Kopi 2. Terutama biji kopi, dan habitatnya nampak jelas digambarkan di hampir setiap adegan di film Filosofi Kopi 2. Sejak awal hingga sebelum layar teater menderetkan nama pemeran film Filosofi Kopi 2, lensa saya dimanjakan dengan pemandangan alam. Bukan sekedar tanpa arti namun pemilihan lokasi juga sesuai dengan judul film, yaitu Filosofi Kopi.
Dialog awal film juga langsung menggambarkan bagaimana ikatan romansa yang sama antara Ben dengan Ayahnya yaitu dunia kopi. Apa mungkin para Barista yang lain juga mengalokasikan sebanyak waktu yang sama dengan Ben untuk kopi?
Di samping pengenalan budaya antar daerah dan suku mendapatkan porsi tersendiri dengan ditampilkannya adegan rumah, cara ibadah, dan pola pikir saudara sebangsa kita keturunan Tionghoa. Destinasi kuliner yang menjadi melegenda, serta bangunan bersejarah juga mendapat bagian khusus walau sekilas atau pemanis.
3. Idealisme vs Realitas
Pada film besutan sutradara Angga Dwimas Sasangko, para penonton diajak lebih memahami bagaimana proses perjuangan seorang idealis dengan sahabat realitisnya untuk keluar dari zona nyaman. Dialog yang bercirikan bahasa antar sahabat pria atau bromance jika boleh diperjelas, mewarnai sepanjang film yang lumayan untuk mengisi sisi humor. Adegan kilas balik juga dihadirkan dengan rapi.
Idealisme, beserta mimpi-mimpi yang harus berbenturan dengan realita, Â masa lalu dan masa depan juga tergambar melalui dialog maupun adegan yang terkadang sederhana. Iya sesederhana penampilan Ben dengan topi jeraminya. Saya kadang bertanya, "Apakah Ben pernah mandi?"
Saya belum sempat menonton film Filosofi Kopi, sehingga hadirnya mobil Combi dengan warna menyala menjadi perhatian saya. Dengan modifikasi sesuai konsep kedai kopi nomaden, maka mungkin tersebut bisa jadi inspirasi untuk sistem marketing baru. Lebih dari itu, mobil Combi merupakan simbol idealisme, dan zona nyaman yang sama antara Ben dan Jodi.
4.Taburan kalimat filsafat yang renyah.
Jangan kuatir, walau kalimat filsafat membutuhkan jeda untuk memahaminya, anda tidak harus mengerutkan dahi dalam film Filosofi Kopi 2. Kita akan cenderung santai dalam menikmati akting para pemain watak yang memang sudah punya nama. Semua kalimat-kalimat filsafat  tentang hidup  bertaburan dengan renyah, ringan, sederhana, dan mudah dipahami seperti obrolan para penikmat kopi dengan gelas ataupun cangkir kopi kental di jemari.
Salah satu hal yang menarik dalam film ini adalah pengakuan mengenai peran bloger. Sebuah kesejukan bagi saya dan para blogger yang terkadang tersudut oleh segelintir oknum. Hanya saja, saya sedikit bingung apa hubungannya antara respon bloger dengan keharusan membuka cabang Filosofi Kopi yang baru. Untuk detailnya tentu saja harus ditonton langsung di bioskop kesayangan anda.
Setelah semua selesai diutaran, ternyata saya menunggu hadirnya film Filosofi 3, dan tentu dengan ide baru ataupun pengembangan perbaikanya. Saya berharap adegan sedikit membingungkan seperti kembalinya beberapa karyawan yang sebenarnya sudah menjadi pengusaha, atau terlihatnya para penonton saat pengambilan syuting akan diperhatikan lebih. Benang merah yang pasti tetap adalah romansa manusia dengan alam, terutama biji kopi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H