“Ibu, ternyata surga itu terletak dalam tangan seorang imam, dan bukannya di telapak kaki Ibu, ya?
Salah satu rangkaian huruf yang menohok dari beberapa deretan diksi yang berkesan buat saya. Saya memang memilih cerpen ke empat yaitu, “Jalan Mulus Menuju Surga”, dari kumpulan cerpen Hans Hayon. Seorang Frater yang pilihan hidupnya menjadi fakta pertama yang saya pertanyakan, karena dia kerap membicarakan cinta terhadap sosok wanita, terutama Sisilia di status media online. Semacam pencitraan yang salah menurut kebiasaan umum.
Baik, mari kembali ke cerpen yang menurut saya, lebih menampar iman tiap orang mengenai otoritas “Hamba Tuhan” di kehidupan nyata. Hebatnya, anak kecil yang notabene mempunyai kadar kejujuran tingkat tinggi, dengan berani mengucapkannya walau lugu dalam cerpen. Pandangan umum sekaligus hak istimewa ibu dalam konteks pemahaman umum perolehan “surga”, serta ikatan tradisi juga dipertanyakan.
Demikian juga dengan otoritas imam dalam cerpen tersebut di gambarkan sangat besar sehingga dapat menjungkirbalikan tradisi. Cerpen tersebut juga mengungkapkan sisi manusiawi seorang imam, yang sangat wajar dilakukan. Parahnya sisi tersebut sangat jarang dimaklumi oleh beberapa umat, yang menganggap semua perkataan imam adalah firman tuhan.
Demikian rangkaian komentar yang saya sisipkan dalam kumpulan cerpen karya Hans Hayon. Pemuda Flores yang dengan ringannya menjalin pemikiran filsafat dalam puisi, atau sekedar dialog singkat di setiap status media sosialnya. Yang menyebalkan adalah rangkaian kata memaksa orang berpikir diantara diksi yang indah. Lalu bagaimana dengan 13 cerpen yang lain? Saya hanya akan mengurai , dua karya yang lain, tentu yang mampu menggerakan jemari untuk terus menyibak lembaran.
Seperti yang diduga maka cerpen yang ditayangkan pertama kali di Majalah Loti Basastra, berisi curahan hati dari sejenis wafer bundar tipis senada warna salju. Gundah gulana, sindiran, nuansa kemarahan terhadap kasus perdagangan manusia juga terangkum, di samping bagaimana ahkir nasib Hosti. Sebuah perenungan yang menceritakan dengan detail bagi yang tidak pernah mencecap adonan roti tipis, serta kesedihan akan kisah pengorbanan penanda tubuh pemilik gereja dalam perayaan komuni suci.
Karya pilihan saya yang ketiga terdapat pada bagian ahkir kumcer, yaitu 8 cerita pendek tentang lamaholot. Saya menemukan gaya menulis Hans yang biasa terbaca di media sosialnya. Jamaknya seseorang yang akan mengucapkan kaul selibat atau yang menikah pun, cenderung memberondong media sosial dengan ayat. Syukurlah aku tak mendapati status yang terlihat pencitraan menurutku. Mungkin kebiasaan tersebut mendasari rangkaian cerita pendek yang terangkum di “Tuhan Mati di Biara”.
1. Tiap cerpen dalam buku tersebut mempunyai benang merah terlihat samar walau terjalin kuat yaitu “iman”.
2. Kekayaan diksi penulis sebenarnya bisa merata di setiap cerpen. Saya mendapati sedikit ketimpangan antara cerpen.