Sebagai penikmat kuliner, saya lebih suka mencicipi tiap menu masakan dengan porsi satu atau dua sendok makan saja, karena memang akan mempermudah mengetahui cita rasa asli yang ada di tiap sajian. Saya juga melakukannya saat mendapat kesempatan emas, untuk mencicipi masakan khas dari lima negara ASEAN. Rabu Malam tepatnya 8 Maret 2017, saya dan empat Kompasianer bertandang ke Swiss Café yang terletak di lantai pertama Swiss Belhotel Yogyakarta, untuk memenuhi undangan Dinner ASEAN Food Festival.
Saya berusaha menahan diri saat di sudut restoran tersaji menu kesukaan yaitu mie. Apa daya, aroma dari mie yang sudah pasti homemade dari koki Swiss Café sendiri, sangat menggoda saya untuk menjamahnya. Apalagi saat koki mempersilahkan untuk menikmati hasil racikan yang pertama, sebuah kehormatan menurut saya. Alhasil malam itu saya nikmati dengan langsung mencicipi Mie Wonton sebagai pembuka makan malam, bukan cemilan yang ringan memang. Harap maklum karena saya termasuk penggemar mie kelas berat. Hotel yang terletak di kawasan jalan Jenderal Sudirman Yogyakarta ini memang memanjakan saya.
Mie dalam mangkuk putih berpenampilan sederhana yaitu dihiasi dengan beberapa sawi hijau, serta satu pangsit, bisa menjadi istimewa. Bukan saja karena isi pangsit basahnya yang terasa gurih daging udang saja. Proses pengolahan yang ditampilkan secara langsung atau sering disebut Live Cooking Swiss Café menjadi nilai tambah. Setelah misi tambahan sudah selesai, dan tarian pembukaan dari salah satu negara ASEAN juga sudah mendapat riuh tepukan tangan, maka perhatian saya beralih ke meja Buffet tengah. Saya tak sabar memulai petualangan kuliner ASEAN dalam satu waktu.
Negara tropis terutama negara yang tergabung dalam ASEAN mempunyai banyak benang merah antara satu dengan yang lain. Salah satu yang nampak nyata di bidang kuliner, yaitu penggunaan bumbu dapur, bahan dasar, penyajian maupun cita rasa. Yang membuat berbeda hanyalah nama, waktu khusus penyajian sesuai budaya masing-masing negara.Dari meja buffet berbahan marmer hitam tersebut, saya mengambil Hainan Chicken, Beef Masaman, Thai Duck Green Curry, Singaporean Chili Crab, Thai Beef Salad, Singapore Noodle, dan Gulai Ayam. Benar semua lauk, dan untuk menu terahkir merupakan sajian dari meja buffet Malaysia.
Saya bukan pencinta kepiting walaupun menyukai hasil olahan laut, namun rasa penasaran akan cita rasa menu seafoodyang terkenal di seluruh ASEAN, berhasil mempengaruhi saya. Untunglah, tidak terlihat irisan cabe merah ataupun yang membuat saya mengurungkan niat mengambil Singaporean Chili Crab. Sekedar informasi, perut saya terhitung sensitif terhadap bumbu dan pedas. Oleh karena itu langkah mengambil Singaporean Chili Crab itu termasuk keberanian.
Indera pencecap saya hanya membutuhkan satu detik untuk memberi tahu bahwa Singaporean Chili Crab “nendang bingit.” Semua perkiraan akan penampilan dan rasa di awal tadi memang terbukti. Saya juga tidak perlu repot membuka cangkang dengan alat khusus ataupun mengeluarkan tenaga ektra. Daging kepiting empuk, dan dalam keadaan matang, sebuah kenikmatan tersendiri bagi saya yang termasuk pemilih. Bumbu yang menyelimuti cangkang ternyata juga terdapat di bagian dalam, bahkan berlipat.
Sayang nya saat saya ingin mengambil untuk kedua kali nya, yang ada hanya bumbu. Singapore Chili Crab benar-benar pilihan yang susah dielakan untuk dinikmati ternyata. Oleh karena semua fakta yang ada, maka saya nobatkan Singaporean Chili Crab sebagai menu juara saat Dinner ASEAN Food Festival.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H