Sentak sendi-sendi tak berserabutku terasa kaku, dan hawa segar bagai mint menelusup relung rongga hidung mayaku. Layaknya lelaki negara empat musim, dada lebarnya selalu nihil kain saat terlelap. Namun kerindungan yang menyesakkan membuatku ingin mendekati Trevor.
Kupikir cumbuan kekasih sekaligus pelatihku pada Camila di ruang ganti teater balet malam itu, akan memusnahkan hasratku pada keturunan putra Hawa. Asumsi yang tak terbukti detik ini.
Dari kerlingan mata, bulan berdarah ikut tersenyum kala raga mayaku mulai terhiasi lingerie merah. Energi dahsyat alam memang terbuka lebih bagi roh yang menyadarinya. Kelopak mata lelaki pujaanku perlahan terbuka, saat raga tertempel hasrat mendesah bersama seperti leluhur pertama. Sebuah kalimat keramat menuntut lidahku melafalkannya, "I love you Trevor."
Ruangan gelap tak berpelita, mendadak bergejolak rambatan pijaran ungu menyilaukan Tak hanya raga maya, tapi rohku terjungkal ke sudut apartement tanpa bisa kutahan. Namun ternyata Madonna lewat sentuhan ujung kaki patung beliau yang kupeluk, masih melindungi hingga hawa panas tidak membekukan sendi.
Trevor tanpa penutup secuilpun langsung telungkup, "Gabriel, ampuni kami. Lepaskan dia dari murka penghulu surga."
"Berani setelah kalah dari Sucubus? Rohmu seharusnya berjuang kelak di Har Megido !" Gema minim penampakan selain aura kewibawaan utusan suci menimpali permintaan Trevor.
Frekuensi rendah tapi getir itu membuat lingerieku meranggas menjadi gaun balet merah muda. Sepatu balet senada, lilitan sapu tangan usang Trevor penunda laju darahku turut melengkapi. Pemandangan 12 bulan lalu mematik getaran suara Trevor, "Tadi bukan sex semata, dan sebagai pnév̱mata apostoléa aku berhak memohon pengampunan rohnya. Lihat Nuestra Señora masih mengasihinya."
"Permintaanmu sudah sepadan dengan lenyapnya leukimia adikmu tiga fajar lalu. Tapi kau boleh menukar Tifany dengan umurmu."
"Jangan Trevor! Aku tak butuh ampunan."
Tak ada balasan, hanya aroma belerang kerajaan Diabolos tercium tanda menyambutku. Dan Gabriel terus berdagang, "Dia lahir baru dan dua menitmu tersisa.”
Dagu Trevor menunduk, sontak Gabriel melesat dan manusia menyebutnya meteor. Tepat saat Trevor menyala biru menyelubungi ruangan, daging manusiaku memadat dan oksigen terhirup. Saat guratan nadi pergelangan tanganku mulai terukir, serta merta aku berderap.