Mohon tunggu...
Vigo Joshua
Vigo Joshua Mohon Tunggu... Lainnya - Suatu ketika kita berpikir, namun bingung bagaimana cara menuangkan isi pikiran.

Menulis menjadi piring, menjadi mangkuk, menjadi gelas, menjadi sendok, menjadi garpu, bagi santapan sedap ilmu pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjawab Pertanyaan Imke

13 Juli 2021   22:49 Diperbarui: 13 Juli 2021   22:57 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadi malam ini, 13 Juli 2021. Teman saya menanyakan sebuah pertanyaan terkait podcast yang saya buat, ia bertanya terkait aspek-aspek penting dalam kebahagiaan. Di tulisan kali ini, kutipan filsuf dihilangkan, jadi semua adalah opini pribadi dan tentunya tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, karena ini soal sudut pandang–boleh berbeda tiap individu. Kira-kira ini jawaban saya bagi teman saya Imke.

Silakan tonton dulu video ini : 

Pertanyaan yang pertama :

  1. Gue setuju ttg pendapat aristoteles bahwa kebahagiaan itu dinamis banget. Yang gue pengen tau, ada ga si momen "klimaks" dari kebahagiaan itu? If there's one, how could we realize that?

Hal yang menjadi pertanyaan tiap orang mungkin–bisakah bahagia menuju puncak–jika iya lalu apa yang terjadi? Tentunya bisa, mudah saja menjelaskannya. Kematian adalah puncak kehidupan. Selama manusia masih menjadi manusia yang berbentuk jiwa dan tubuh, ia hanya merasakan gemercik kebahagiaan dan mencoba sekuat tenaga berbuat baik demi bisa masuk surga atau setidaknya bisa hidup bahagia di dunia. Mati adalah jawabannya, selama kita hidup, yang kita siapkan hanyalah kematian itu sendiri, kita berusaha mati dikenang, mati di kuburan yang sesuai keinginan kita, kita berusaha mati ditangisi, kita berusaha mati meninggalkan legacy tersendiri. Jadi jawabannya adalah kematian. Sensasi yang dirasakan di setiap klimaks adalah kehampaan, mati artinya kita sudah kehilangan tubuh dan jiwa kita, pemahaman terkait tubuh dan jiwa bisa diperdalam di buku-buku atau artikel filsafat manusia. Jadi mati secara sepenuhnya hilang dari kehidupan adalah jawaban dari semua perjalanan ‘mencari bahagia’.

Ada hal unik yang orang tidak sadari, oksigen yang merupakan sumber kehidupan, nyatanya adalah sumber kematian pula. Sel-sel di dalam tubuh perlahan akan mati dan rusak bila terpapar oksigen begitu lama, maka dari itu muncul keriput dan juga kejompoan bagi mereka yang mati di usia tua. Bagi yang beruntung untuk bisa mati di usia muda, tentunya kehampaan tampak lebih jelas dan kebahagiaan sudah ada di depan mata.

 Marilah asusmsikan setiap manusia mati dengan hutang dan meninggalkan beban bagi yang ditinggal–apa bisa disebut klimaks kebahagiaan? Sejauh ini belum ada orang mati yang menangis karena keluarga atau orang yang ditinggalkannya mesti kesulitan dengan beban yang ditinggalkan. Jadi tetap sama, mati adalah variabel tetap bagi kebahagiaan dan mutlak bagi kehidupan.

Pertanyaan kedua :

2. Kan katanya bahagia itu tentang kontribusi ya? Brarti is it safe for me to assume kalo kebahagiaan itu ga lepas juga dari stigma dan pandangan sosial ke diri kita sendiri? As weve known together, kontribusi kan trjd di lingk sosial. Kalo gitu, apa berarti kebahagiaan kita harus didetermine sama keadaan dan penerimaann society ke kita?

Hal ini memang menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Apakah masyarakat perlu menerima tindakan kita dahulu, baru bisa didefinisikan sebagai kebahagiaan? Mari kita ubah pandangan itu terlebih dahulu dalam melihat bentuk kontribusi. Mudahnya berkontribusi itu bisa sangat bergantung akan diri sendiri. Kenyamanan tiap orang bisa saja berbeda, jadi bisa saja kita berkontribusi bagi masyarakat dengan tidak melakukan tindakan sama sekali, karena kembali lagi, tiap orang memili pandangannya sendiri tentang kebahagiaan ini, belum tentu seorang pengemis akan gembira bila kita mengajak anakanya untuk bersekolah dibanding ikut mengemis–tidak bermaksud merendahkan pihak manapun. Sudut pandang ini yang bisa kita pakai dalam penerapan diri kita sendiri. Saran saya bagi hal ini ialah baiknya kita menemukan keikhlasan kehidupan, di mana tidak ada lagi penyesalan mendalam bila kita berkontribusi dalam bentuk apapun, jangan lagi menyimpan beban di dalam diri sendiri.

Pertanyaan ketiga :

3.  Di momen mana lu tau itu bahagia atau candu? Why sometimes its hard utk determine whether ur happy atau sorrowful?

Biarkan saja candu ini menjadi bahan pelajaran diri kita, tidak masalah jika kita merasakan duka di akhir tahap candu–karena menjadi bahagia juga merupakan proses pembelajaran. Bila kita berpandangan terkait hakikat kehidupan dan eksistensi, banyak yang meragukan bahwa kita itu bisa menjadi manusia bebas, padahal sejauh ini saya merasa bahwa saya bisa terus mengevaluasi tindakan saya, jadi kebebasan mengevaluasi itu adalah sumber kebahagiaan saya. Menjadi peka akan tiap kondisi tidaklah mudah, tidak mudah untuk segera tau aljabar bagi bayi berusia 6 bulan, tidak mungkin hal itu bisa terjadi. Sama saja menjadi manusia masih jauh dari kata bisa memahami kesempurnaan kebahagiaan, jadi tidak apa hancur terlebih dahulu demi belajar daripada tidak pernah ditempa apapun.

Bagi orang-orang yang krisis eksistensi dan mempertanyakan keadaan mereka sekarang, apakah itu baik atau buruk, apakah sudah menderita atau sudah sangat bahagia. Saya ingat filosofi 5 jari. Posisikan diri kita sebagai jari tengah, jari yang paling tinggi dan bisa diartikan makhluk yang paling bermartabat walaupun tidak secara mutlak jika dimasukkan konsep radikal di dalamnya. Saat ini kondisi kita bisa jadi lebih baik atau lebih buruk dari pada kedua jari di sebelah kita. Akan ada selalu manusia yang lebih menderita dan akan ada juga yang lebih bahagia, jadi pengelihatan untuk memposisikan diri sangat mempengaruhi kecakapan kita dalam menilai situasi kita saat ini. Di saat kita hanya memiliki uang 500 ribu, akan ada orang yang punya miliaran rupiah dan ada juga yang tidak memiliki uang sama sekali, jika saat ini Jeff Bezos disebut sebagai manusia terkaya, coba pikirkan siapa orang di balik pemeringkatan itu, bisa saja ia yang lebih kaya dan tidak mau terdeteksi.

Kesimpulan

            Sederhana belum tentu sederhana, jangan pernah mendefinisikan kebahagiaan itu sederhana, karena itu yang membuat kita hancur dalam arogansi dan juga kedangkalan. Mari lebih cerdik lagi memposisikan diri, lebih cermat lagi dalam memandang segala sesuatu yang terjadi, lebih peka lagi akan diri sendiri, karena seseorang yang merasa dirinya pintar sesungguhnya ialah yang terbodoh. Selamat mencari kebahagiaan.

Bahagia tidak hilang, tidak semu, tidak rancu, ia ada di belukar terdalam nurani manusia, namun sayangnya pencampuran ego ke dalam kerangka berpikir mempolarisasikan hakikat awal kebahagiaan.”

-Vigo Joshua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun