Beberapa negara di seluruh belahan dunia telah mengalami kepanikan ekonomi akibat Covid-19, termasuk Indonesia. Meski banyak pakar ekonomi menyebut kondisi kali ini tidak separah tahun 1998 dan 2008. Namun kita tetap harus mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk akibat situasi ini.
Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan valuta asing lainnnya, paling menjadi sorotan belakangan ini. Akhir Februari 2020, kurs Rupiah terhadap Dolar AS masih di angka Rp. 13.900 namun di akhir Maret 2020 ini sudah berada di kisaran angka Rp 16 ribu.
Dampak lainnya yakni kenaikan harga-harga barang dan jasa atau yang lazim disebut inflasi. Berdasarkan data yang disajikan beberapa media nasional, dapat diketahui harga bahan-bahan pokok melonjak cukup signifikan. Satu contoh, bulan lalu harga gula masih berada di kisaran Rp. 13.000 per kg namun pada 28 Maret 2020, sudah menembus angka Rp 17-19 ribu per kg.
Jika masalah-masalah perekonomian tersebut terus terakumulasi, dapat diprediksi neraca perdagangan dan pembayaran negara akan defisit, inilah krisis yang kita khawatirkan.
Sejarah mencatat, Indonesia telah mengalami beberapa kali masa kelam menghadapi krisis besar moneter, tahun 1998 dan 2008. Krisis 1998 merupakan yang terparah sejak berdirinya Republik Indonesia. Terjadinya krisis moneter di Asia berdampak pada Indonesia. Dimulai ketika Thailand menyatakan tidak mampu membayar utang luar negeri. Lantas kurs Rupiah ikut anjlok besar-besaran dan harga-harga barang melonjak tinggi membuat keadaan ekonomi ambruk.
Sedangkan krisis tahun 2008 yang menghantam Indonesia merupakan imbas dari krisis di Amerika Serikat. Di negeri paman Sam, kredit perumahan diberikan kepada para debitur yang memiliki portofolio kredit yang buruk, sehingga terjadilah guncangan sektor keuangan.
Dalam menanggulangi krisis, kita harus mengetahui dulu penyebab terjadinya. Kondisi sekarang berbeda dengan tahun 1998 dan 2008. Sebab utama lemahnya sektor keuangan kali ini merupakan dampak dari wabah Covid-19. Maka penanggulangan Covid-19 harus lebih diutamakan dibanding hal lain.
Pemerintah pusat maupun daerah telah melakukan upaya-upaya strategis dalam mengatasi covid-19 ini. Membentuk kesadaran setiap diri akan bahaya wabah ini juga sudah disosialisasikan. Beberapa kalangan masyarakat juga telah menawarkan solusi lebih kepada Pemerintah dalam mengatasi Covid-19 ini.
Meski telah dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi ini, namun ternyata masih belum efektif dalam mengurangi penyebarannya, malah kian bertambah angkanya. Sepertinya pemerintah harus mencoba langkah lain, yakni karantina wilayah (lockdown). Kondisi lockdown mengharuskan kita tidak boleh meninggalkan tempat tinggal sama sekali demi mengantisipasi penularan wabah.
Lockdown bisa dilakukan secara total maupun secara parsial. Lockdown total meliputi Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Sedangkan lockdown parsial meliputi Kecamatan dan Kelurahan. Jika belum bisa menerapkan lockdown total, maka bisa dengan lockdown parsial setiap wilayah yang terjadi penularan Covid-19. Tapi alangkah baiknya bila diterapkan secara total agar penularannya terminimalisir.
Lockdown menjadi solusi yang dianggap paling ampuh untuk menghentikan laju penularan wabah. Tapi, nampaknya ada masalah baru jika lockdown diberlakukan di negeri kita. Orang-orang yang mengandalkan pemasukan ekonomi harian akan terjepit kondisi. Bila ia tidak masuk kerja atau berdagang pada hari itu maka tidak akan mendapat pemasukan.
Sebenarnya rakyat tak perlu khawatir bagaimana mencukupi kebutuhan hidup selama masa lockdown, karena pemerintah pusat akan menjamin itu semua.
Dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 Pasal 55 Ayat (1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Ayat (2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait.
Lantas saat ini muncul pertanyaan, apakah pemerintah pusat dengan dibantu daerah mampu untuk menunaikan amanat konstitusi ini jika ternyata lockdown benar-benar harus diterapkan. Sementara keadaan ekonomi memburuk.
Ini menjadi dilema, tapi itulah langkah yang tepat. Ekonomi bisa membaik, bila keadaan hidup masyarakat membaik. Ekonomi akan lumpuh, bila masyarakatnya lumpuh. Setiap solusi bagi masalah pasti ada saja yang harus dikorbankan. Menuntaskan masalah besar membutuhkan pengorbanan yang besar pula.
Alhasil, kausalitas selalu terjadi. Apa yang kita lakukan sekarang akan berdampak di masa depan. Jika sekarang kita melakukan langkah yang tepat maka hasilnya akan tepat. Begitu pula sebaliknya.
Penghujung, penulis ingin mengingatkan pada semua satu peribahasa 'badai pasti berlalu'. Sesulit apapun cobaan yang menimpa bangsa ini, kita pasti bisa melewatinya. Ekonomi bisa pulih, tapi mereka yang 'pergi' tidak akan pernah kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H