Mohon tunggu...
Vieramadhani Poetry
Vieramadhani Poetry Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sulung dari 5 bersaudara yang gemar menulis dan membaca. Tulisan-tulisan hanya ditumpuk dibuku dan laptop, tidak berani untuk mempublikasikan. :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Mata Mbak Alia

21 April 2013   13:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:51 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kadang kurindu teriakannya di pagi hari atau kritikannya atas model jilbabku yang tidak menutupi dadaku sepenuhnya."

“Ismyyyy,” teriakan mbak Alia mengguncang seluruh syaraf-syaraf otakku. Serabut-serabut dendrit otakku rasanya bergetar saking hafalnya teriakan ini. Ah, selalu. Setiap dia pulang, rumah jadi kayak pasar. Kukatupkan selimut merahku, merapat menyelimuti seluruh tubuhku. Subuh adalah waktu terbaik untuk tidur.

Brakkk!! Suara pintu kamar dibuka lantang.

“Bangun nduk,” katanya sambil menyibakkan selimutku.

“Apa sih mbak, aku kan lagi nggak sholat,” gerutuku sambil menarik selimutku semakin rapat. Orang ini, selalu deh sok alim. Makanya aku nggak mau masuk pesantren biar nggak kolot kayak dia.

Mbak Alia adalah satu-satunya kakakku. Kami tiga bersaudara, mbak Alia, aku, dan adikku Ragil. Mbak Alia masuk pesantren sejak  kelas 1 SMP sampai lulus SMA. Yah, bisa dilihatlah efeknya. Enam tahun membuatnya begitu terlihat suci, alim, dan tanpa cacat. Beda sekali denganku yang berjilbab tapi masih bolong-bolong sholatnya.

Saat masih dipesantren, mbak Alia hanya pulang sekali setahun saat lebaran. Keadaan ini menjadikan aku tidak begitu dekat dengannya walau usia kami hanya terpaut empat tahun.

“Ups, iya mbak lupa. Tapi tetep aja kalo anak perawan itu harus bangun pagi, biar lancar jodoh dan rejeki,” sahutnya sambil berlalu keluar kamarku.

Memiliki kakak perempuan sepertinya tidak membuatku terlalu bahagia, karena aku bakal dibanding-bandingkan dengannya dalam segala hal. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mulai dalam hal akademis maupun non akademis. Harusnya ibu dan bapak tahu kalau aku ya aku, dia ya dia. Sebenarnya aku nggak benci dengannya. Hanya saja kalau harus dibandingkan dengan hal-hal yang bukan diri kita, siapa sih yang suka?

Akhirnya daripada setelah ini ibu yang kekamarku dan marah-marah, aku bangkit juga dari tempat tidur. Kubereskan tempat tidurku dan mulai menyapu.

***

“My, kamu udah punya pacar dek?” tanya mbak Alia disuatu sore saat aku dan dia sedang menonton.

“Tumben mbak nanyain itu? Bukannya dalam Islam nggak boleh pacaran ya?” tanyaku balik sambil tetap menonton tv. Kebetulan hari ini ibu dan bapak sedang ke acara pernikahannya anak temen ibu dan bapak, sedangkan Ragil seperti biasa sedang mengaji di langgar kampungku.

“Kalau menurut kamu sendiri gimana?” tanyanya lagi. Aneh juga mbak Alia, sudah dua tahun sejak dia tinggal diwisuda dan tinggal dirumah, tak pernah sekalipun obrolan tentang pria yang bukan muhrim ini keluar dari bibir indahnya.

“Mbak lagi deket sama seseorang ya?” tanyaku. Kali ini kualihkan pandanganku dari tv dan kutatap lekat-lekat matanya. Mbak Alia mengangguk. Banyak sekali perjodohan yang ditawarkan orangtua kami padanya, tapi dia selalu berkata belum saatnya. Entah kenapa kehadiran seorang pria ini begitu mengusiknya sehingga dia menceritakan padaku.

Sejak mbak Alia tinggal dirumah, aku mulai dekat dengannya. Dia nggak seburuk yang kupikirkan, hanya saja ideologi dan prinsip hidup kami sedikit berbeda. Tapi wajarlah, kalau yang kembar saja bisa berbeda, apalagi yang bersaudara biasa. Dia masih suka ngomel-ngomel padaku, dan aku bakalan ngomel balik padanya. Kurasa, aku sudah bisa sedikit menyayanginya.

“Siapa mbak?” tanyaku lagi.

“Mas Setyo,” ujarnya lirih. Nama itu tak asing bagiku.

“Mas Setyo? Mas Setyo guru ngaji Ragil?” tanyaku. Mbak Alia kembali menganggukkan kepala. Entahlah aku harus bahagia atau bersedih. Aku memang nggak punya pacar atau kekasih. Tapi aku punya orang yang kusuka, ya mas Setyo itu. Guru Sekolah Dasar yang juga merangkap guru ngaji itu telah menarik perhatianku sejak pertama kali kuantarkan Ragil mengaji. Usia kami terpaut tujuh tahun, sedangkan kalau dengan mbak Alia hanya lima tahun, jarak yang pas bagi suami istri.

“Mbak mau dilamar,” ucapnya kembali lirih. Memecah kekagetanku. Kutatap wajahnya, ada semburat rona merah dipipinya yang baru kali ini kulihat. Kupeluk dia dan aku berkata sambil berurai air mata, “Selamat ya mbak.”

***

Pernikahan mbak Alia dan mas Setyo hanya berselang enam bulan dari saat mbak Alia bercerita kepadaku. Pernikahan yang bahagia meski dilangsungkan dengan sederhana. Kini mereka tinggal dikontrakan kecil diujung desa tak jauh dari rumah orang tuaku ataupun orangtua mas Setyo.

Kadang kurindu teriakannya di pagi hari atau kritikannya atas model jilbabku yang tidak menutupi dadaku sepenuhnya. Kepergiannya dari rumah membuatku berubah. Sedikit demi sedikit aku meniru gaya berpakaiannya. Orang tuaku tidak komplain tentu saja. Mereka malah bahagia sekali melihatnya.

Seringkali aku berkunjung kerumah mbak Alia untuk sekedar melihat senyumnya dan mengobati kerinduanku akan suaranya. Dia tampak bahagia walau belum dikaruniai putra. Yah, siapa yang nggak bahagia kalau punya suami seperti mas Setyo? Agamanya bagus, sabar, setia, serta bertanggung jawab dengan keluarga kecilnya.

Seminggu lagi aku wisuda, berarti terhitung hampir dua tahun mbak Alia menikah, tapi dia belum juga dikaruniai putra. Sedangkan aku sama sekali belum terpikirkan untuk menikah. Aku ingin bekerja dulu membahagiakan ibu dan bapak, juga membantu menyekolahkan Ragil, seperti Mbak Alia dulu yang bekerja demi membantu ibu dan bapak menguliahkanku.

Kalau ada yang bilang cinta pertama itu sulit dilupakan, itu memang benar. Mas Setyo bisa dibilang cinta monyetku yang juga cinta pertamaku. Tapi aku akan berdosa besar jika berani memandangnya atau hanya sekedar meliriknya, karena sekarang dia sudah menjadi kakak iparku.

Ketidakhamilan mbak Alia membuatnya dan mas Setyo memeriksakan diri ke dokter untuk melihat apakah ada kemungkinan mandul dalam diri mereka. Kenyataan inibegitu menyakitkan saat diketahui hasilnya bahwa mbak Alia mempunyai kista yang terlambat dideteksi. Jalan satu-satunya adalah dengan operasi.

Operasi ini dilaksanakan dua hari setelah acara wisudaku, meski begitu mbak Alia nggak bisa datang untuk melihat karena harus bersiap-siap di rumah sakit. Tapi aku nggak kecewa, justru aku bahagia karena masih bisa menemaninya di rumah sakit saat operasinya selesai dilakukan.

Aku, ibu, bapak, Ragil mas Setyo serta kedua orang tuanya menunggu dengan harap-harap cemas diluar ruangan operasi. Memang ini bukan operasi besar, tapi tetap saja rasa cemas itu ada. Detik demi detik berlalu dengan lambat, seolah enggan bergerak maju. Kami berdoa dalam hati semoga tidak terjadi apa-apa dan mbak Alia bisa pulih dan sehat.

Setelah dua jam yang terasa berabad-abad lamanya, dokter keluar untuk memberitahu bahwa operasi telah selesai. Namun dokter menatap kami dengan wajah sendu, seolah-olah ada hal buruk yang hendak disampaikan.

“Kami sudah berhasil mengangkat kistanya,” ujarnya yang kami sambut dengan helaan nafas lega.

“...tapi kami juga terpaksa mengangkat rahimnya, karena kista sudah banyak menyebar,” kata-kata dokter sekan menusuk telinga, hati, dan seluruh bagian tubuhku. Kurasa semua orang yang mendengarnya juga merasakan hal yang sama. Kutatap mas Setyo, sedikit kekagetan diwajahnya yang langsung berganti dengan ulasan senyum tipis.

“Alhamdulillah, berarti Alia istri saya tidak apa-apa kan dok?” kusadari bahwa dia begitu mencintai mbak Alia.

***

Mbak Alia pulih dengan cepat pasca operasi. Dia sudah tidak lagi bekerja berat seperti dulu, dia hanya membantu mas Setyo mengajar ngaji anak-anak desaku. Kesembuhan mbak Alia ternyata tidak seperti yang aku dan keluargaku ataupun mas Setyo bayangkan. Mbak Alia seringkali terlihat dengan mata sembab. Dia juga lebih sering menghabiskan waktu dengan tanaman-tanamannya daripada mengobrol dengan tetangga. Tubuhnya semakin kurus. Hal ini tak hanya membuat mas Setyo sedih melihatnya, tapi juga ibu dan ayahku.

Seringkali aku mengunjungi rumahnya hanya untuk mengajaknya makan bakso di warung bu An tetangga kami. Sama seperti siang ini, kubawakan gado-gado kesukaannya karena kuyakin belum sesuap nasi pun masuk keperutnya.

Kuketuk-ketuk pintunya dan kuucap salam, tapi tak ada jawaban. Karena khawatir, kucoba membuka pintu rumahnya yang ternyata tak dikunci. Aku masuk kedalam, takut sesuatu terjadi dengan mbak Alia.

Sepi.

Aku menuju kamarnya yang pintunya sedikit terbuka, ingin kubuka lebar dan kusapa dengan suara merduku tapi kuurungkan begitu kudengar isak tangis dari balik pintu.

“Ya Rabb, kalau ini memang takdir yang engkau gariskan untuk hamba, hamba ikhlas menerimanya,”ucapnya lirih sambil penuh isakan. Sekhusyu’ apakah kakakku ini jika sedang berdo’a sampai-sampai ketokanku tak terdengar olehnya? Kusandarkan diriku di tembok kamarnya, mendengarkan.

Bila memang ini takdir hamba, hamba akan menjalaninya dengan ikhlas Ya Allah, hamba hanya memohon padamu berikanlah petunjuk pada hamba agar bisa membahagiakan suami hamba. Hamba tak mampu memberinya keturunan walau hanya seorang, hamba sudah mendzoliminya dengan menerima pinangan hamba padahal hamba tak mampu memberinya keturunan. Pada ibu dan bapak hamba, pada mertua hamba, hamba telah mengecewakan karena tak bisa memberi mereka cucu walau hanya seorang. Hamba juga tak bisa menghadirkan keponakan untuk adik-adik hamba walau hanya seorang. Hamba tak akan mengeluh Ya Khalik, karena hamba bersyukur bisa menjadi diri hamba yang sekarang, hamba yakin engkau pasti punya rencana yang indah untuk hamba. Berilah ketabahan, kesabaran, serta kebesaran hati untuk hamba agar hamba bisa kuat menjalaninya Ya Rabb. Rabbana Aatina fiddunya khasanah...” aku berjalan cepat menuju pintu keluar. Tak sampai hati aku membuatnya mengetahui bahwa aku telah mendengarkan doanya. Kuusap air mataku yang tak terasa jatuh ke pipi. Sesampainya diluar pintu, kuketuk pintu dengan keras dan mengucap salam, berpura-pura baru datang, berkunjung seperti biasa dan ceria.

Sekitar lima menit kemudian pintu dibuka dan terlihat mbak Alia dengan jilbab lebarnya. Tak ada air mata, hanya wajah sendu yang dipaksakan tersenyum. Wajah yang seringkali terlihat semejak operasi pengangkatan rahim.

“Duh lama amat sih, keburu gosong nih mbak,” ujarku sambil nyelonong masuk rumahnya. “Udah makan belum mbak?” tambahku sambil menuju ruang tengah.

“Kamu ini, kali ini bawa apa lagi My?” tanyanya sambil mengikuti dibelakangnku.

“Gado-gado nih, makan bareng kayak biasa yuk mbak, Ismy bawa dua bungkus nih. Mas Setyo belum pulang kan?” tanyaku mencoba menahan air mata. Kuambil dua piring dan dua sendok lalu duduk.

“Sini,” ujar mbak Alia sambil mengambil piring dan sebungkus gado-gado dari tanganku. Tuhan, lihatlah tangannya yang semakin keriput. Tak ada daging di dalamnya, hanya tulang terbalut kulit. Kami makan dalam diam sebelum akhirnya aku memecah keheningan dan kutarik piringnya.

“Mbak, kusuapin ya? Aaaa.....” ujarku

“Kamu ini, kok tumben? Mbak makan sendiri aja,” jawabnya.

“Nggak papa mbak, kan udah lama kita nggak makan sepiring berdua,”

“Eeeh, malu tuh sama cicak. Ingat umur nduk. Lagian nanti mubadzir kalau yang dimakan cuma sebungkus,”

“Yeee.. siapa bilang yang dimakan sebungkus? Ini dua bungkus kita join suap-suapan mbak,” aku masih keukeuh. “Lagian, ngapain malu sama cicak? Yang ada malah cicaknya yang iri liat keromantisan kita,” tambahku sambil menjulurkan lidah.

“Hahahaaaa... dasar kamu,” Ya Allah, akhirnya dia tertawa juga. Tawa manis dan renyah.

“Ayo aa?” kusuapkan sesendok penuh ke mulutnya. Suapan untuk cinta tulus yang kau beri pada semua orang mbak, ucapku dalam hati.

***

Banyak wanita-wanita tangguh di dunia ini, seperti Margaret Teacher, Oprah Winfrey, JK Rowling, dan banyak lagi. Tapi dalam hidupku, wanita tangguh hanya ada dua yang menjadi nomor satu, yaitu ibu dan kakakku, mbak Alia. Aku pernah membaca beberapa kutipan yang entah aku lupa darimana dapatnya, bunyinya seperti ini, “Women is amazing person. She could be the best friend in the world, the best sist in the world, the best girlfriends, the best wife, the best people for the others.” Kutipan ini kusimpan untuk diriku sendiri pada awalnya. Namun kini kudedikasikan untuk ibu dan kakakku, mbak Alia.

Kudekap bayi mungil berusia tiga bulan yang ada dalam gendonganku. Kucium pipinya, hidungnya, matanya, lalu kutatap foto itu. Foto seseorang yang menjadikanku bahagia dengan menggantikan posisinya. Jilbab lebar dan senyum merekah menghiasi wajah dalam frame kayu berukir.

***

Dua tahun yang lalu. Kondisi fisiknya yang tak memungkinkan membuat mbak Alia jatuh sakit. Sejak saat itu dia menjadi sakit-sakitan, sampai pada akhirnya dia menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan mas Setyo. Ibu tak hentinya menangis hingga berminggu-minggu. Sedangkan aku sendiri tak bisa bilang bahwa mataku tak basah karena air mata.

Sebelum kepergiannya, aku menerima sepucuk surat darinya.

Assalamualaikum.

Ismy sayang. Kalau kamu membaca surat ini, mbak pasti sudah tak mampu melakukan apa-apa, atau bahkan mungkin telah memenuhi panggilanNya. Dek, terima kasih karena telah menjadi adek dari seorang Alia yang tidak sempurna. Terima kasih telah mendengarkan omelan dan ocehanku yang tidak berharga. Mbak menyayangimu, menyayangi ibu, bapak, Ragil, dan mas Setyo. Tapi mbak terlalu egois untuk menerima kenyataan bahwa mbak memiliki kekurangan yang membuat banyak orang bersedih. Semoga Allah memaafkan keegoisan mbak karena dengan sengaja menyiksa diri hingga seperti sekarang.

Dek, mbak tahu kalau kamu suka sama mas Setyo. Ekspresi kamu sejak pertama kali mbak cerita sungguh mudah ditebak. Sejak saat itu mbak menyesali kenapa mbak menerima langsung lamaran mas Setyo. Selama ini mbak telah menyakiti hati kamu dengan menikahi orang yang kamu sayang, tapi mbak tidak bisa memungkiri bahwa mbak juga menyayanginya. Mungkin inilah hukuman Allah pada diri mbak yang telah mengambil orang yang kamu kasihi.

Ismy sayang, maafkan mbak ya dek. Kalau saja bisa, mbak ingin kembali ke masa lalu saat lamaran diajukan. Kalau mas Setyo menikahimu, mas Setyo akan bahagia karena dicintai orang sepertimu, dan kamu juga bisa memberikannya keturunan, tidak seperti mbak.

Mbak menyayangimu. Mbak masih ingin mendengar bantahanmu, wajah cemberutmu, senyum ceriamu, dan segala hal yang mbak bisa ingat tentangmu.

Tentang mas Setyo, hamba ikhlaskan dia menjadi milikmu. Mbak juga sudah menyiapkan sepucuk surat untuknya. Bila dia mencintai mbak, dia pasti meminangmu, karena kamu juga bagian dalam diri mbak.

Titip ibu, bapak dan Ragil ya sayang. Mbak akan segera menemui kekasih sejati mbak, Allah Azza Wa Jalla. Nggak usah nangis, mbak jauh lebih bahagia daripada kamu. Mbak sayang kamu sayang.

Mbak Alia

Surat terakhir yang kuterima darinya. Surat yang menjadikanku orang paling bahagia dan beruntung karena dilahirkan sebagai adiknya. Mbak, Ismy menyayangimu.

Tuhan, jika engkau mengizinkan hamba untuk memilih keluarga tempat hamba dilahirkan, hamba akan memilih keluarga ini sebagai keluarga hamba. Karena Engkau sesungguhnya Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hambamu Ya Allah.

Kucium anakku, bayi perempuan mungil bernama Alia sambil duduk di ruang tamu menunggu kepulangan mas Setyo. Cerpen ini termasuk dalam buku Kumpulan Cerpen "Untuk Sumarni dari Suparnam" yang diterbitkan oleh FAM Publishing. KumCer ini berisi banyak kisah Cinta yang didalamnya memuat rasa cinta yang tidak hanya seputar pasangan, tapi juga tentang cinta dalam banyak hal. :D http://www.famindonesia.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun