Mohon tunggu...
Vieramadhani Poetry
Vieramadhani Poetry Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sulung dari 5 bersaudara yang gemar menulis dan membaca. Tulisan-tulisan hanya ditumpuk dibuku dan laptop, tidak berani untuk mempublikasikan. :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

It Was, Not Never

21 April 2013   14:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:51 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bilaa, laptopku kenapa ini?” Wiwin menyodorkan laptopnya kearahku. Laptop berwarna merah marun 14 inch itu berada dihadapanku dengan layar hitam, blank dan tanpa wallpaper, bertuliskan “This copy of windows is not genuie” dipojok kanan bawah. Lagi-lagi seperti ini. Setiap kali laptop atau PC tersambung dengan internet, terkadang windows mendeteksi bahwa windows yang digunakan fake atau not genuie.

Bagi mahasiswa-mahasiswa seperti kami, windows genuie terlalu menguras kantong untuk digunakan, sehingga seperti kata pepatah, tak ada windows genuie, not genuie pun jadi. Akibatnya, problem-problem seperti ini kadang muncul.

“Kan udah kuajarin Win,” kataku sambil menolah kearahnya.

“Hehehe.. Lupa. Nggak tahu aku. Benerin yaah, pliiis...” katanya dengan senyum merayu. Dasar temanku satu ini, hobinya hanya berdandan dan membeli sesuatu yang up to date, tapi tidak pernah memperhatikan perawatan barang-barangnya atau bagaimana cara kerja benda-benda itu.

Hobinya selain berdandan dan membeli barang-barang modern yang up to date adalah menggangguku dengan urusan “ketidakberesan” barang-barangnya, terutama masalah laptop. Mulai dari menginstall dan uninstall software baru, crack, path dan serial number antivirus, downloader, serta program-program sejenisnya.

Kubuka file dalam bentuk winrar berjudul MakeYourWindowsGenuie yang telah kucopykan dilaptopnya berbulan-bulan yang lalu. Selanjutnya tinggal klik, klik, klik, dan refresh maka kembalilah layar laptop kewujud awal dengan wallpaper foto Lee Min Ho, artis korea kesukaannya.

“Sudah nih,” kataku sambil menyerahkan laptop padanya.

“Makasih ya Bila sayaang,” diciumnya pipiku sebelum kembali asyik dengan Facebook dan Twitternya.

Sambil mengusap pipiku, kupandangi layar laptop yang ada didepanku. Program yang sedang kubuka adalah Microsoft Word dengan BAB IV tertulis bold tepat ditengah. Laptop ini mengingatkanku tentang kejadian dua tahun yang lalu.

***

“Shht, ini kenapa kok layar laptopku jadi hitam?” tanyaku pada seorang teman laki-laki. Sejujurnya dia bukan temanku, dia kakak tingkatku yang sekarang menjadi teman dekatku. Aku memang bukan tipe perempuan romantis yang bisa mengatakan bahwa dia kekasihku, meski faktanya begitu. Jadi dalam kasus ini dia adalah teman dekatku, teman yang sangaaat dekat.

“Apa sih Hei, kenapa?” tanyanya saat berkunjung kerumahku. Itu panggilan romantis kami. Kupanggil dia “Shht” dan dia memanggilku “Hei”, how romantic isn’t it?

“Sebentar kuambil laptopku,” ujarku sambil berjalan menuju kamar, meninggalkannya sendirian diruang tamu. Kulihat ayah dan ibu diruang tengah, menonton televisi. Meski tidak menunjukkan tanda-tanda ingin tahu, tapi aku tahu bahwa mereka mengawasiku, atau setidaknya mendengarkan pembicaranku dengan teman dekatku tadi.

Kutaruh laptop dimeja ruang tamu dan kunyalakan.

“Nah, ini nih, seperti ini,” ujarku sambil menunjukkan layar laptop yang hitam denga tulisan “This copy of windows is not genuie” dipojok kanan bawah.

“Ooh, ini kebetulan aku bawa,” katanya sambil mengulurkan flashdisk dari kantong celana jinsnya. Sepertinya menjadi mahasiswa Teknik Informatika membuat dia selalu membawa-bawa flashdisk dalam kantong, sekedar untuk berjaga-jaga.

Dicolokkannya flashdisk hijau karet dengan gantungan Super Mario berwarna merah biru itu ke usb laptopku. Dia mengcopy sebuah file berbentuk winrar dari flashdisk lalu dipaste dalam folder Master yang ada di local disk D laptopku, sebelum dia mengeject flashdisk dan memasukkannya kembali dalam kantong.

“Sudah?” tanyaku heran. Masa iya hanya begitu saja cara mengembalikan background laptopku seperti semula.

“Belum lah Hei,” jawabnya sambil menyunggingkan senyum padaku.

“Lha terus?” tanyaku bingung.

“Kau yang betulkan,” katanya. Aku semakin bingung dan tidak mengerti. “Tadi kan sudah kucopykan, sekarang giliranmu yang mengerjakan,” tambahnya melihat raut wajah bingung yang tergambar jelas diwajahku.

“Aku tidak bisa, kalo bisa ya tidak minta bantuanmu,” kataku setengah jengkel.

“Makanya kau yang nge-klik, aku yang ngasih arahan, biar kau bisa, biar tidak manja, biar tidak tergantung sama orang,” tuturnya panjang lebar.

“Nanti kalau salah?”

Wes tala, ayo mulai,” katanya tetap keukeuh.

Aku duduk bersila dilantai dengan laptop diatas meja ruang tamu, sedangkan dia tetap duduk diatas kursi dibelakangku, mengawasiku, memberikan arahan.

Kejadian seperti ini tidak berlangsung selama sekali atau duakali, tetapi berkali-kali. Selain windows yang tidak genuie, aku pernah bermasalah dengan update antivirus dan serial number downloader yang ada di laptopku.

‘Shht, nanti k rmh y, antivirusku g bs diupdate...’ bunyi pesan singkat yang kukirimkan padanya sore itu. Entahlah, rasanya untuk urusan laptop dan PC aku mempercayakan sepenuhnya pada teman dekatku itu.

‘oke’ hanya itu balasan darinya. Bagi sebagian perempuan mungkin menganggapnya cuek, namun aku sudah terbiasa, sehingga jawaban singkat bukanlah sebuah masalah. Kalau dia tidak menelpon atau mengirimiku pesan singkat barang sehari saja, saat itu aku akan mulai khawatir.

Malam itu dia tiba dirumah pukul delapan malam, padahal biasanya sebelum pukul tujuh dia sudah berada dirumah. Sejak pukul tujuh tadi aku marah-marah dan sampai dia datangpun aku hanya menunjukkan tampang cemberut padanya.

“Laptopnya mana?” tanyanya begitu kupersilahkan duduk diruang tamu, seperti biasa. Tanpa berkata-kata aku masuk kekamar mengambil laptop yang masih menyala sejak sore tadi. Dikeluarkan flashdisk saktinya yang bagiku seperti kantong doraemon khusus TI. Seperti sebelumnya, dia mengcopy sebuah file kemudian mengeject dan memasukkan kembali flashdisk dalam kantong celana. Seolah takut flashdisk itu akan hilang atau keselip entah dimana.

“Ayo diupdate,” katanya.

“Tidak bisa,” jawabku ketus.

“Ayolah Hei, ini sudah malam,”

“Kau yang kesininya malam, kalau memang tidak mau membantu tidak kesini juga tidak apa-apa. Aku bisa sendiri,” nadaku sedikit tinggi. Ah, semoga ayah dan ibu tidak mendengarku, sesalku dalam hati.

“Sudah marahnya?”

“Belum,”

“Iya aku minta maaf. Sekarang ayo diupdate, keburu malam. Tidak enak sama ayah ibu,” katanya. Sebenarnya aku masih ingin marah, tapi kali ini aku membenarkan kata-katanya dan mulai mengatur posisiku seperti biasa, sedangkan dia memberi arahan tentang langkah-langkah untuk melakukan update manual atau offline dari tempat favoritnya.

Sembari menunggu update yang lumayan memakan waktu, dia bercerita bahwa sebelum kerumah dia pergi kewarnet untuk mendownload updatetan antivirus agar bisa mengupdate antivirusku dirumah meski tidak ada sambungan internet. Ukuran file updatetan yang lumayan besar membuatnya harus menunggu sedikit lebih lama, itulah alasan yang menyebabkan dia terlambat  sampai rumah. Mendengarkan penjelasannya aku merasa bersalah telah marah-marah. Aku bahkan tidak berfikir mungkin saja dia sedang sakit atau terjadi sesuatu dengannya dijalan sampai terlambat dari biasanya.

Setelah update selesai dia pamit pulang, kurasakan perasaanku mulai mencair. Meski begitu aku terlalu malu untuk mengakui bahwa aku merasa bersalah telah marah-marah.

“Sudah bisa update manual kan?” tanyanya padaku dari balik helmnya saat kuantar dia kedepan pagar rumah. Aku hanya diam, menunduk memandangi dua jempol kakiku, seolah tiba-tiba kedua jempol itu menjadi menarik tanpa sebab.

“Sudah marahnya?” pertanyaan itu berhasil membentuk sebuah senyum dibibirku. Kudongakkan kepala dan tersenyum memandangnya. Walau tadi aku marah-marah, setidaknya aku bisa mengantarkannya pulang dengan sebuah senyuman sebagai permintaan maaf yang tidak bisa kuucapkan secara langsung padanya. Ah, aku memang bukan teman dekat yang baik.

Banyak hal-hal lain yang membuatku tersadar bahwa selama ini aku telah banyak merepotkan dia. Pernah suatu ketika aku kebingungan gara-gara salah mengklik “Update Now” seminggu sebelumnya, sehingga saat itu program downloaderku membutuhkan serial number baru agar bisa digunakan.

Seperti biasa aku mengirimkan sebuah pesan singkat meminta bantuannya untuk membetulkan downloaderku. Balasan yang kudapat adalah pemberitahuan darinya bahwa dia sedang ada kuliah dan berjanji akan membetulkannya setelah selesai kuliah.

Sekali lagi dengan tidak sabar aku mulai marah dalam hati. Meski aku tahu bahwa dia tidak bermaksud mengabaikanku karena sedang ada kuliah, tetap saja rasanya ingin marah. Seluruh kebaikannya hilang, yang ada hanyalah pemikiran bahwa dia tidak benar-benar sayang padaku. Dia tidak pernah langsung memperbaiki saat aku sedang ada masalah dengan laptop, padahal teman-temanku selalu meminta tolong kekasihnya yang dengan sigap dan senang hati membetulkan laptopnya.

“Sayang itu tidak harus selalu memanjakan, mengajarkan kemandirian juga salah satu bentuk dari rasa sayang,” selalu itu yang dia katakana saat aku menuntut perhatian lebih. Alasan aja menurutku.

Ditengah kemarahanku yang hanya bisa kuungkapkan dengan hati, karena sebenarnya dari hari kecilku aku tahu itu bukan salahnya, tiba-tiba ada sebuah pesan masuk kehandphoneku.

‘Hei, klo tdk sbr menungguku slse kuliah, coba km buka forum diskusi di web ini: www.xxx.com, cari d bag. TI & downloader, klik  dsitu trus cari ad serial number downloader spt pny km. Tp pstikan dlu klo versinya sama. Sblmnya login dl pake IDku, IDnya emailku, km tw kn? Paswrdnya nabila (hrf kcil smw y). Lain kali jgn d update, biar g kyk gni lgi. Smoga brhasil y syg.

Aku menangis membaca pesan itu. Dia masih sempat mengirimkan pesan ini disela-sela jam kuliahnya. Cepat-cepat kulaksanakan instruksinya agar downloaderku bisa segera digunakan.

***

Kenangan itu terbayang kembali.

Dia harus kembali ke kampung halamannya, sedangkan aku yang asli kota ini tetap tinggal. Saat kami akhirnya memutuskan untuk berpisah, banyak hal yang diperhitungkan sebelum keputusan itu diambil. Dua orang yang saling menyayangi pada akhirnya tetap harus terpisah.

Selama dua tahun bersamanya, banyak kasih sayang yang dia berikan padaku, ilmu yang dia bagi dengan cuma-cuma serta keahlian yang bahkan mungkin tidak bisa kudapatkan dari kursus. Kurasakan bahwa dia benar-benar menyayangiku, mencintaiku. Aku bisa tanpanya. Aku mengerti tanpanya. Aku mandiri tanpanya. Bahkan setelah dia pergi, aku bisa membantu teman-temanku seperti ketika dia membantuku.

Mantan.

Bukan berarti dia tidak mencintaimu, hanya saja mungkin dia tak bisa lagi. Bukan berarti dia tidak pernah mencintaimu, tapi mungkin memang sekarang tidak. Bukan berarti dia akan melupakanmu, karena kau tetap menjadi bagian dalam sejarah hidupnya.

Kata-katanya yang dulu ia ucapkan padaku masih terngiang sampai sekarang, “Sayang itu tidak harus selalu memanjakan, mengajarkan kemandirian juga salah satu bentuk dari rasa sayang”. Rasa sayangnya kini masih kurasakan bahkan ketika sudah tidak bersamaku. Ilmu dan pengetahuan yang dia berikan masih tetap ada meski dia sudah tak lagi bersamaku.

Jangan pernah berfikir mantan adalah seseorang yang tidak pernah mencintaimu karena dia tidak lagi bersamamu. Dia pernah, tapi dulu.

Never dan was adalah dua kata yang berbeda artinya.

So, how’s your ex? :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun