Mohon tunggu...
Fiani M. Fathoni
Fiani M. Fathoni Mohon Tunggu... -

pengin hidup mulia dunia akhirat...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis, Makin Tua Masih Gadis

5 Januari 2014   15:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Gadis. Dari dulu sampai sekarang masih saja aku bernama Gadis. Ayahku sangat bangga dengan namaku. Ya, Gadis. Gadis adalah seorang perempuan muda. Bisa juga punya maksud masih sendiri, atau belum bersuami. Tapi ada juga yang bilang seorang gadis adalah perempuan yang masih perawan. Makanya, kalau hilang keperawanannya sama saja telah hilang kegadisannya. Yah...apalah arti Gadis bagi mereka, yang jelas aku sekarang masih juga bernama Gadis dan memang masih gadis.

Namaku Gadis. Tapi hanya sedikit bahkan hanya beberapa gelintir orang yang tahu kalau aku masih gadis. Aku bernama Gadis walau sudah menikah tetapi masih tetap gadis. Bisa dibilang Gadis yang masih perawan. Tahu kan maksudku?

Biasanya seorang gadis yang sudah menikah pasti akan hilang kegadisannya. Direnggut atau dipersembahkan bagi lelaki yang dicintainya, atau pada seorang suami. Ya, seorang suami tentu mengharapkan kegadisan dari istrinya.

Aku masih bernama Gadis. Usiaku sudah lebih dari kepala empat. Tapi aku masih gadis. Maksudnya masih perawan, walaupun aku pernah menikah.

Pernikahan itu seharusnya membuatku sangat bahagia, karena aku pastikan sebentar lagi kegadisanku akan musnah. Aku tak akan lagi menyandang nama Gadis. Setidaknya setelah menikah, tetanggaku akan memanggilnya ibu (plus nama suamiku). Kecuali teman dekat atau teman kantor, mereka tidak akan tahu kalau aku bernama Gadis. Yah begitulah,...nyatanya sekarang aku masih bernama Gadis dan masih juga seorang gadis eh,..seorang perawan.

Suamiku , setelah beberapa kali mencoba kejantanannya di malam pengantin baru, ternyata nggak mampu merenggut kegadisanku. Bahkan minggu, bulan dan beberapa tahun berikutnya. Entah karma apa, yang jelas aku yakin bukan karena namaku Gadis sehingga ayahku menginginkanku menjadi seorang gadis seumur hidupku.

"Asyik nih yang habis pulang berbulan madu,..Gadis sudah nggak gadis lagi yah?"

Aku cuma tersenyum hambar. Maaf kawan, aku masih gadis. MASIH GADIS!!! Aku ingin menjeritkan kata itu di depan mereka. Tapi yang muncul cuma senyum malu-malu layaknya pengantin baru yang habis - habisan berbulan madu.Arrrgghhhh

Suamiku terlihat jantan. Gayanya superman. Tapi di rumah malah seperti supermom. Suka bersih-bersih, suka masak, memanjakanku dengan berbagai hal. Aku pasrah,...suamiku tak bisa diharapkan lagi. Aku sudah muak. Aku ingin namaku bukan Gadis. Aku ingin 'hilangkan kegadisanku. Tapi dengan apa? Aku tak mungkin melakukan hal-hal yang dilarang agama. Aku gadis yang taat beribadah. Apa arti suami kalau aku masih juga parawan?

Maka aku menggugat cerai. Selesai? Ya. Selesai. Aku seorang gadis bernama Gadis tapi juga masih gadis. Salah. Aku seorang janda tapi masih gadis karena namaku Gadis. Aku jadi muaakkkkk mempunyai nama Gadis.

" Eh, nanti kalau Gadis punya anak, namanya Dara yah??" pernah kudengar seorang sahabat bertanya seperti itu.

"Tidaaaakkkkk" jeritku dalam hati. Aku nggak mau lagi membebankan nama seperti itu buat anakku kelak. Aku ingin membuat nama yang betul-betul memberi pengaruh masa depan yang baik, yang maju, tidak stagnan seperti nama Gadis, Dara, atau Perawan.

Baiklah, aku tak perlu merengek bahkan mengutuk namaku sendiri. Setidaknya itu nama yang bagus yang diberikan oleh ayahku. Ayahku sudah tua, tak mungkin aku salahkan kenapa dulu membuat namaku menjadi Gadis. Aku yakin ini hanya sementara, dan aku uring-uringan karena aku masih memiliki kegadisanku.

Aku tetap berusaha mendapatkan ganti suamiku. Tapi, kenapa aku sulit sekali jatuh cinta? Laki-laki seperti apakah yang kira-kira nanti akan menjeratku dan merenggut kegadisanku? Aku ingin mendapatkan laki-laki yang cocok dan berhak mendapatkannya.

Bukan berarti aku tidak berusaha. Aku berusaha. Teman-temanku pun berusaha. Keluarga juga berusaha mencarikan jodoh buatku. Tapi aku tak tahu, mengapa semuanya menguap begitu saja bagai asap yang terburai angin. Ambyaaarrr.

"Usiamu sudah lebih dari 40 lho Jeng, kalau menikah harus cepat-cepat punya momongan. Nanti nggak keburu. Soalnya kan wanita itu ada batasan usia saat melahirkan yang aman."

Hmmm..baiklah teman, tapi!! Jangankan melahirkan, punya suami saja aku belum! Pacar juga belum! Tahu nggak sih Loh?? Aku memaki-maki dalam hati. Ya, aku pendiam. Aku tidak mau orang lain tahu apa yang aku pikirkan. Aku tak selembut yang mereka kira. Aku tak setegar yang mereka duga. Aku wanita lemah, yang tiap malam menangis merenungi perjalanan hidupku, kegagalanku, kesepianku. Tapi mereka tak ada yang tahu, karena mereka hanya tahu saat aku kerja siang hari di kantor. Aku wanita tegar, percaya diri, lembut, pekerja keras dan taat beribadah. Huhhhh...keringat mulai mengalir di dahiku. Bahkan tanganku basah kena keringat.

Apakah hari-hariku akan kesepian? Tanpa seseorang yang mau mendampingiku saat usia senja nanti? Suami? Anak? Kemana mereka? aku tak pernah mengenal mereka. Aku hanya kenal saudaraku, ayahku yang makin renta setelah ibu tiada, ponakan-ponakanku yng sebentar lagi pergi mencari masa depannya sendiri. Teman-temanku? Sahabat-sahabatku? Mereka hanya ada saat siang menjelang, saat -saat sunyi sepi malam hari, siapa yang bisa aku sandarkan kepala ini, siapa yang bisa mendampingi saat aku merajut mimpi-mimpi?

Kesabaranku diuji lagi. Saat dokter memvonisku. Rahimku harus diangkat. Itu berarti aku tidak mungkin bisa memiliki anak kandung. Kalaupun nanti aku punya suami, jangan harapkan seorang anak yang lahir dari rahimku. Rahimku sudah diangkat. Aku hanya berharap, aku tidak mau bernama Gadis lagi. Karena aku masih ingin punya suami.

***

Suatu senja, datang kerabat mengajak seorang laki-laki setengah baya. Wajahnya teduh dan berwibawa. Ia ingin memintaku menjadi istri ketiganya. Aku terpesona. Mulai terjerat rayuannya.Senyumnya menawanku, hingga aku tak kuasa menolaknya.Oh Allah, apakah ini laki-laki yang akan merenggut kegadisanku kelak, setelah ijab kobul terlaksana. Sayangnya, aku baru tahu kalau namanya Pria Sujantan. Aduuuh,...

Namaku bukan Gadis lagi. Tapi ibu Pria Sujantan. Sering dipanggil Ibu Pria atau ibu Jantan. Karena mereka hanya tahu aku istrinya Pak Pria. Terus, buat apa selama ini aku mempermasalahkan kalau namaku Gadis yang sampai berumur masih tetap gadis? Hahahahahaahaha.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun