Tak banyak yang datang melayat. mereka hanya datang ,salaman dengan keluarga mendiang, masukin amplop ke baskom tertutup yang disediakan, dan pulang. Hanya ada beberapa yang duduk di tempat yang disediakan, tapi mereka cuma diam. Biasanya kalau ada yang meninggal,selalu ada beberapa dari warga desa itu yang duduk dekat mayat yang terbujur. Ada yang meratapi, bahkan menangis atau ada satu dua yang membaca Yasiin. Tapi hari ini, semua datang dan pergi tanpa kata. mereka diam.membisu.
Ada apa? bahkan Bu Khojannah yang suka mengaji di masjid nggak mau lama-lama di rumah duka karena dia memang takut orang mati. Atau Bu Jizah yang hafal Quran pun malah langsung pergi. Tinggal Bu Haji Anisah yang tetap menunggu di depan mayat. Itu pun tak lama, dia segera keluar untuk melihat dan menunggu apakah ada orang lainnya yang masih duduk di luar rumah duka. Terlihat hanya Kang Jamin dan dua tetangganya yang masih duduk di kursi plastik menunggu kedatangan orang yang mau melayat. Dialah ayah dari Samroh, almarhumah yang terbujur kaku di ruang tamu.
Tak lama, datanglah ibu-ibu berbondong-bondong sekitar enam orang, mereka bergerombol dalam keraguan. Seperti biasa mereka membawa beras dalam keranjang rotan untuk diserahkan pada keluarga yang sedang kena musibah tersebut. Tapi karena nggak ada yang menerima, maka ada di antara mereka yang berbaik hati untuk mewakili menerima bawaan dari tetangga tersebut. Sedang yang lainnya, mereka duduk sebentar di depan mayat, komat-kamit dan keluar lagi.
Melihat mereka, bu hajah Anisah segera menghampiri.
"Jangan pergi dulu, ayo, bantuin meronce pandan dan bunga.Kita harus membantu keluarga seperti biasanya. Jangan membeda-bedakan.Ayo, ke rumah samping, biar bapak-bapak yang duduk di luar. dan aku yang menunggu di dalam." merekapun pergi ke rumah tetangga sebelah untuk bersama meronce.
Tak lama datang satu rombongan lagi. mereka juga sama. Langsung beranjak pergi. tapi sebelum itu, ada salah satu orang di sana yang menghentikan langkah mereka. Dia termasuk orang yang sebetulnya lebih pandai dan tahu kesehatan dibanding warga lainnya. Dia berkata pada mereka.
"Nanti, kalau yang mau memandikan, tolong yah, pakai sarung tangan. Takutnya menular," katanya dengan suara agak rendah, tapi semua sempat mendengar.Tentu saja beberapa orang dari mereka langsung berbisik-bisik.
"Jadi benar yah? dia kena AIDS? hiiiiii..."
"Wah, aku takut ah, mau pulang saja,"
"Terus siapa yang mau mandiin? kok pulang semua sih,.." Dan mereka sembunyi-sembunyi kabur dari rumah duka. Kang Jamin cuma merenung sedih saat samar-samar mendengar kata-kata mereka.
Ya, memang anaknya baru beberapa bulan ini pulang ke kampungnya. Dia sudah lama merantau entah ke mana saja. Kadang ditelepon ada di Jakarta, kadang sedang di Bandung, pernah juga ke luar Jawa, bahkan beberapa kali pernah tinggal di Malaysia. Bilangnya sih dia cuma jadi pembantu rumah tangga, dan selalu berganti-ganti majikan. Kang Jamin bukannya tidak tahu rumor yang tersebar di masyarakat tentang anaknya. Ada beberapa orang sekampung yang pernah melihat Samroh di kota sedang dibawa Om-Om senang. Apalah artinya itu, yang jelas predikat negatif yang tersebar.
Hal itu dibuktikan lagi ketika Samroh pulang dalam keadaan sakit, badannya sudah kurus kering, susah makan, walaupun secara fisik dia tak menunjukkan kelemahannya. Dia masih bisa jalan, mencoba menerima tamu yang mau direfleksi, atau bahkan membantu warga yang sakit dengan pijatannya. Tapi entah siapa yang menyebarkan isu itu beberapa bulan terakhir ini, ketika dia berobat ke Rumah Sakit terus diduga dia terkena AIDS. Betul tidaknya hanya Samproh yang tahu. Kang Jamin sendiri belum yakin karena Samroh tak pernah mau mengatakan sakitnya apa. Kini dia hanya sedih melihat warga berbisik-bisik bahkan nggak ada yang mau memandikan karena takut tertular.
Akhirnya Samroh terbujur kaku. Tak ada yang mau memandikan. Semua takut tertular. Bapak-bapak seperti biasa sudah selesai menggali kubur. tapi ibu-ibu masih juga saling mempercayakan pada yang lainnya untuk memandikan. Tidak seperti biasanya mereka berebut atau dengan sukarela mau memandikan tetangganya yang meninggal. Bu hajah Anisah merasa tidak enak dengan Kang Jamin. Bu Saodah yang biasa memandikan saja hari itu bilang sedang pusing dan sakit perut. Ah, semua memberikan alasan agar dimaklumi untuk tidak memandikan . Alasannya cuma satu, takut tertular AIDS.
Begitulah orang kampung, belum semuanya tahu jenis penyakit apa itu. Yang jelas di TV sering dikatakan itu adalah penyakit mematikan dan menular, yang sangat berbahaya. Tak sedikit yang dikucilkan, bahkan bertemu pun mereka tak mau. Sejak Samroh pulang dari kota, dia masih diterima warga. Baru beberapa minggu ini ketika ada seseorang yang membocorkan atau mengisukan kalau dia AIDS .Sehingga hari ini tak ada yang mau mendekatinya, tak ada yang mau memandikannya. Tak ada yang tahu seorang pun mengapa sikap warga begitu.
Semua gelisah. semua bingung. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Saat itulah, datang seorang wanita setengah baya dari desa lainnya, yang dipanggil khusus oleh seseorang yang berempati. Memang orang ini sudah terbiasa memandikan mayat. Dengan cekatan dia menyuruh beberapa orang untuk menggotong mayat untuk dimandikan. Hanya beberapa ibu-ibu yang mau menemani. Yang lainnya hanya berebut menyiram, dan ada beberapa yang melihat dengan rasa takut.
Hari itu, Kang Jamin sangat sedih. Dia sudah ditinggal istrinya beberapa bulan sebelumnya, dan sekarang ditinggal anak perempuannya yang meninggal dengan penyakit yang dia juga baru pernah dengar. AIDS,...AIDS. Begitu menularkah penyakit itu? dia tak tahu, bahkan warga pun tak tahu. Sampai beberapa waktu lamanya, semuanya nggak tahu, hingga terkubur bersama waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H