“Kapan menikah lagi?”
“Masih betah hidup sendiri?”
“Masih belum ada yang cocok juga?”
Itu cuma beberapa pertanyaan klise yang sering dilontarkan teman dan beberapa kolegaku. Terus, aku hanya menggumam dan tersenyum. Dalam hati aku juga sering bertanya seperti itu.
Apalagi yang harus kulakukan? Di usiaku yang sudah beranjak ke angka 45, seharusnya aku sudah tak lagi memikirkan cinta wanita. Ya, aku memang tak seharusnya mempermasalahkan cinta. Cinta itu sudah nggak lagi nomor satu di usia baya sepertiku. Kata teman-teman, cinta nomor dua, tiga dan seterusnya. Yang penting sekarang, kalau ada yang cocok dan pantas untuk mendampingiku, langsung saja lamar dan ajak menikah. Titik.
Wow!! Kedengarannya sangat mudah. Semudah aku mendapatkan cewek, ya asal cewek. Yang muda, usia 20-an, yang usia 30-an atau mungkin usia 40-an. Semua sudah kucoba. Dan mereka hampir kuajak menikah. Tapi sampai sekarang, usiaku 45 tahun aku masih terus melajang, eh salah menduda.
Ya, aku memang seorang duren.Kata orang aku adalah duda keren. Duda beranak dua yang sudah 10 tahun masih juga sendiri. Kupikir aku bisa mencari ganti istriku yang pergi dengan laki-laki lain. Paling dalam waktu 1 atau 2 tahun bisa cepat mendapatkan gantinya. Semudah saat aku belum berpisah dengan istriku. Tapi ternyata istriku justru menikah lebih dulu setelah 2 tahun perceraian kami, dan itu pun bukan dengan orang yang dulu kuanggap selingkuhannya! Huh!
Ya,..sekarang aku sudah makin tua, buat apa aku harus mengejar cinta? Toh cinta yang dulu kupuja-puja, sampai aku harus menikahpada usia muda, akhirnya tumbang juga, ancur juga. Rasa cinta itu hilang entah ke mana, saat kuketahui istriku ada main dengan laki-laki lain. Aku tak berdaya dengan cinta. Apa sih yang diagung-agungkan pada cinta? Aku tak lagi percaya, benar-benar aku tak percaya,...
Maka beberapa tahun ini kupuaskan mencari wanita untuk kujadikan kekasih. Ada yang masih muda, tapi manjanya membuat aku tak berdaya. Aku seperti mesin robot yang harus disuruh kesana-kesini mengantarkan aktivitas dia yang tak penting , setidaknya buatku yang berusia menjelang 40-an. Aku juga semacam sapi perahan yang harus membelikan dan selalu mengongkosi hidup glamournya. Cantik, tapi mencekik. Sebelum tercekik beneran, kutinggalkan dia dalam ketakberdayaan keuangannya. Tak apa, dia masih bisa mencari korban lain yang lebih bisa memanjakan sikap borjunya. Kutak perduli lagi.
Saat bertemu teman, mereka bertanya. “Mana si cantik yang biasa menempel sama kamu?”
Dan kujawab saja,”Cewek matre, kubuang ke laut aje,hehehee..”
Maka kulangkahkan kaki lagi mencari pengganti. Aku mau orang yang sederhana. Yang lembut dan penurut. Aku laki-laki mapan, tak sudi disuruh-suruh perempuan menjadi jongosnya. Aku mau jadi laki-laki yang super. Maka kudapatkan seorang perempuan usia 30-an yang lembut hatinya dan penurut. Dia juga masih lajang, dan sudah harus menikah saat bertemu laki-laki yang serius. Tetapi baru juga 3 bulan, iramanya tak sejalan denganku. Dia terlalu lelet, susah berinteraksi dengan teman-temanku yang dinamis, dan aku selalu tak mengerti apa yang dia inginkan. Apakah dia punya hati , perasaan atau pikiran. Semua terlalu dingin kurasakan. Aku seolah mati rasa. Tak ada gejolak. Padahal usiaku sudah 40-an. Aku pun kalah. Aku lebih baik pergi darinya, yang hanya menangis tapi tak ada protes. Ah, susah juga.
Jadi, kukejar lagi cinta yang lain. Gagal lagi, bangkit lagi, mencari lagi. Benarkah cinta harus dicari? Ada kata-kata orang bijak, bahwa cinta tak perlu dikejar karena perjuangan cinta itu sebenarnya hanya cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kalau keduanya saling suka, nggak perlu berjuang untuk mendapatkan cinta. Keduanya akan sama-sama merapat untuk saling mendekat karena sudah ada magnet. Magnet cinta.
“Tapi kapankah cinta itu kan datang?” rengekku setiap kali.
Usia itu kian merapat ke angka 45. Tapi aku masih sendiri juga. Kalau ada teman dan saudara, mereka selalu bilang kapan mendua? Tinggal pilih saja. Berapa kali kucoba, tetap saja tak ada tanda-tanda ke sana. Kini aku sedang tertantang tuk mengejar cinta di usia 45. Aku kan berusaha semampunya. Kutak mau usia tuaku kuhabiskan hanya sendiri. Tak ada teman yang menemani. Tak ada kawan berbagi. Tak ada punggung sakit yang dipijiti.Aku harus mencari!
Sampai akhirnya, usiaku 45. Uban terlihat bercahaya di kepala. Pegal-pegal sering lebih terasa. Kolesterol seringkali merambat tak terasa. Keinginan mengakhiri kesendirian makin menggila. Tapi calon belum juga bersua. Sampai akhirnya kucari di sosial media.Nah! kena!
Kurajut komunikasi yang harmonis. Rasanya seperti madu yang manis. Umur dan kepribadiannya pun sudah bikin hatiku kian ingin mengemis. Tapi ternyata, aduhhhh maak..dia masih punya keluarga yang romantis.Anak-anak yang manis dan suami yang klimis. Dia hanya bilang, dia mau mengenalku karena ingin menjodohkan aku dengan teman baiknya. Walau aku kecewa, aku masih punya semangat yang membara, untuk mencari cinta di usia empat lima. Semangat 45 adalah semangat perjuangan yang kupunya. Aku akan terus berusaha. Kan kukejar cinta kalau memang masih ada.Merdeka!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H