Mohon tunggu...
Raditya Yudha Widyanta
Raditya Yudha Widyanta Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya donkey

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hope

14 Juni 2011   04:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:32 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satria duduk di depan meja makan. Berhadapan dengan dia duduk ayahnya. Di hadapan mereka masing-masing sebuah piring berisi nasi goreng dan segelas air putih. Sang ayah makan dengan lahap, berbeda dengan Satria yang terlihat enggan memakan nasi bagiannya. Kepalanya tertunduk dan tangannya hanya sibuk mengaduk-aduk nasi di depannya. Melihat hal itu sang ayah berkata kepadanya, "Makanlah, Nak. Walaupun hanya nasi yang digoreng dengan bumbu instant merk KAJOE ditambah dengan irisan lembut telur dadar goreng, nasi gorengnya cukup enak. Makanlah, Nak."

Satria mendongakkan kepalanya dan menatap mata sang ayah. "Harapan itu wujud sikap tidak tahu diri," kata Satria tiba-tiba. "Jangan lupa, harapan juga membuat orang berusaha dan berjuang dengan lebih keras," ayahnya menimpali dengan tersenyum. Beberapa lama Satria merenung. Akhirnya dia berkata, "Aku tidak punya harapan. Ku pikir harapan itu omong kosong." Sang ayah segera tahu kalau hal ini akan menjadi pembicaraan yang serius. Dia segera menelan makanan yang ada dalam mulutnya, kemudian mengambil gelas air di depannya dan meminum seteguk sekedar untuk membersihkan sisa makanan di dalam mulutnya. Setelah itu dia melihat anaknya dan menunggu kalimat yang akan dikeluarkan anaknya lagi. Keheningan terasa untuk beberapa waktu. "Harapan itu omong kosong?" tanya sang ayah. Satria menganggukkan kepalanya. "Mengapa begitu?" sekali lagi sang ayah bertanya. "Karena harapan wujud sikap tidak tahu diri," kata Satria. "Dan itu juga yang menjadi alasan kamu memilih untuk tidak punya harapan?" tanya sang ayah. Kembali Satria menganggukkan kepalanya. "Tapi pilihan masih terbuka bukan?" tanya sang ayah. Melihat ekspresi wajah si anak sang ayah kemudian menambahkan, "Maksud ayah, kamu mungkin dapat memilih punya harapan walaupun kamu berpikir bahwa harapan itu wujud sikap tidak tahu diri. Benar, bukan?" "Ya. Kemungkinan terbuka lebar," kata Satria. "Lalu mengapa kemungkinan itu tidak kamu ambil? Apa salahnya menjadi tidak tahu diri?" tanya sang ayah lagi. Satria diam. Nampaknya dia memikirkan pertanyaan ayahnya. Hanya saja dia tidak menemukan jawabannya. "Ayah tahu mengapa kamu tidak memilih untuk punya jawaban," kata sang ayah. Satria terkejut dan bertanya, "Mengapa, Yah?" "Karena kamu tidak memiliki harapan." "Jika demikian, ayah memiliki harapan?" tanya Satria. "Ayah tidak memiliki harapan. Hanya TUHAN yang memilikinya. Harapan bukan sesuatu yang dapat kita punya begitu saja. Harapan ditanamkan oleh TUHAN dalam diri kita," jelas sang ayah. "Lalu bagaimana cara TUHAN menanamkan harapan dalam diri kita?" tanya Satria. "Ayah tidak tahu. Satu hal yang ayah tahu, yaitu dekatkan diri pada TUHAN," kata sang ayah. "Apakah itu akan mempermudah TUHAN untuk menanamkan harapan dalam diri kita?" kembali Satria bertanya. Sang ayah beberapa saat berpikir dan kemudian menjawab, "Tidak. Mendekatkan diri pada TUHAN mempermudah kita untuk mengetahui apakah TUHAN sudah menanamkan harapan dalam diri kita atau belum. Pada titik ini ayah pikir perlu membedakan harapan dengan keinginan." "Bagaimana kita membedakannya?" kembali Satria bertanya. "Bagi ayah, keinginan adalah wujud sikap tidak tahu diri, sedangkan harapan membuat kita memiliki semangat untuk meraih sesuatu hal. Sederhana, bukan?" jelas sang ayah. Mendengar penjelasan ayahnya Satria terbahak-bahak. Setelah reda tawanya Satria pun berkata, "Ayah curang! Yang aku katakan sebagai harapan disebut sebagai keinginan dan yang ayah sebut harapan benar-benar harapan bagi ayah." Sang ayah pun tertawa dan disela-sela tawanya dia berkata, "Itulah hebatnya menjadi seorang ayah!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun