Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak-Anak dan Kebangsaan Kita

22 April 2022   21:08 Diperbarui: 22 April 2022   21:13 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika anda hidup di Jakarta dan mengalami masa pertarungan politik untuk memperebutkan kursi gubernur Jakarta pada tahun 2016-2017, maka Anda akan mudah untuk membayangkan apa yang akan saya kemukakan.

Pada waktu itu memang terjadi pertarungan yang sangat sengit antara dua konstestan dari dua kubu (semula tiga kubu). Saking sengitnya mereka menggunakan isu agama sebagai senjata untuk menang dalam kontestasi itu. Isu agama itu diangkat diberbagai cara : offair dan onair. Kita bisa mendengar di banyak ceramah saat salat Jumat yang juga mengangkat  isu itu. Di pidato-pidato banyak pihak, di narasi-narasi di medsos, sampai pada media mainstream seperti televisi.

Isu itu menjadi dominan dan secara faktual menjadi ujaran kebencian yang tidak terhindarkan membelah warga Jakarta. Ujaran kebencian berdasar SARA itu menguasai hampir seluruh informasi yang diterima oleh warga Jakarta. Bahkan anak-anak dengan usia di bawah 18 tahun  yang belum punya hak untuk memilih juga aktif melakukan ujaran kebencian

Itu ditengarai karena sedemikian massif ujaran kebencian itu terjadi dan menguasai sebagian dunia informasi di Jakarta termasuk informasi yang 'ditelan' oleh anak-anak di bawah umur. Mereka 'merekam dengan baik' nuansa kebencian dan mungkin dalam alam bawah sadar mereka menyimpannya sepanjang mereka bisa.

Sebagai orang yang lebih berumur, mungkin peristiwa itu tak lebih dari peristiwa politik biasa dan kebetulan memakai isu SARA sebagai senjata politik. Kita mungkin akan melupakannya dalam 1-2 tahun setelahnya.

Namun berbeda dengan anak-anak. Mereka mungkin akan merekamnya seumur hidup mereka. Mereka mungkin mengindentifikasi dengan salah bahwa kebencian itu wajar dalam kontestasi politik, atau kebencian itu wajar terjadi diantara dua kelompok yang berbeda. Akibatnya, di kemudian hari mungkin lebih rasis dan melihat hal rasis sebagai hal yang wajar.

Ilustrasi ini menjadi dasar pemahaman kita dalam melihat peristiwa baiat yang dilakukan oleh "pengurus" NII/DI yang sudah membaiat sekitar 77 anak-anak di bawah umur un tuk setia pada NII /DII. Asumsinya mereka akan berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan negara Islam di Indonesia.

Inilah sisi bahaya dari peristiwa baiat yang menghebohkan Indonesia dan terjadi di Sumatera Barat. Radikalisme tidak muncul dari ruang hampa, dia muncul dengan berbagai kondisi pendukung sehingga kita tidak bisa main-main dengan hal ini.

Regulasi soal NII/DI mungkin diperlukan oleh pemerintah, sama halnya dengan keputusan pemerintah soal HTI dan FPI. Ketegasan ini perlu agar semua pihak termasuk para remaja yang saat  ini belum akil balik sekalipun agar selalu dalam koridor NKRI dan menolak cita-cita NII.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun