Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Piala Thomas, Tantangan dan Sumpah Pemuda

27 Oktober 2021   19:28 Diperbarui: 27 Oktober 2021   19:40 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Beberapa waktu lalu, bangsa kita begitu gembira saat tim bulutangkis putra Indonesia berhasil meraih kemenangan pada turnamen internasional Piala Thomas. Turnamen beregu (plus Uber) yang berlangsung sejak tahun 1948 itu adalah salah satu turnamen dunia berkatagori major event, artinya turnamen internasional penting dengan membawa rasa bangga negara yang menang. Turnamen yang diinisiasi oleh warga Inggris Sir George Alan Thomas ini tidak berhadiah uang namun piala.

Dari sekitar 16 negara yang ikuti turnamen sampai saat ini, hanya sekitar 5 negara yang pernah meraih piala yaitu China, Jepang, Indonesia,Melayu (Malaysia), dan Denmark. Terbanyak Indonesia dengan 14 kali membawa piala Thomas, kedua adalah Cina dengan 10 kali, lalu Malaysia 5 kali serta Denmark dan Jepang masing-masing satu kali.

Tidak mudah meraih nya karena kejuaraan beregu menuntut kemenangan tiga tim (singlenya atau double) diantara lima tim yang mewakili satu negara. Jika tim pertama, kedua, ketiga dari negara A menang melawan tim dari negara B, maka negara A menang. Jika negara C dimana tim pertama kalah, lalu tim kedua juga kalah, maka tim ketiga, keempat dan kelima harus menang. Dari 16 besar menjadi 8 besar, masuk semi final dan akhirnya final sebelum penentuan pemenang.

Pada Thomas cup 2020 (yang diadakan 2021 di Denmark) Indonesia menjadi pemenang piala Thomas setelah 19 tahun piala itu berada di China. Pencapaian itu sungguh tidak mudah dan sangat membanggakan kita semua. Apalagi ketika lagu Indonesia Raya berkumandang dan setiap pemain menaruh tangan di dada.

Yang menyaksikan peristiwa itu pasti dipenuhi rasa haru dan bangga juga membangkitkan jiwa nasionalisme kita. Meski kita tidak ikut bermain, setiap langkah dan gerak para atlet dalam bermain itu seakan mempresentasikan hati kita. Kegembiraan atlet saat menang menggambarkan perasaan kita juga.

Perasaan itu juga yang tumbuh saat deklarasi Sumpah Pemuda pada tahun 1928, di Jakarta ( Batavia).Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan menuju Indonesia merdeka, 17 tahun kemudian. Setelah tahun 1908 berdirinya Boedi Oetomo dan beberapa organisasi pergerakan lain, kegiatan tekad dan ikrar Sumpah Pemuda dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ikrar itu akhirnya menjadi semacam bensin untuk terwujudnya Indonesia merdeka, melewati berbagai tantangan dan hambatan. Seperti halnya semangat tim Piala Thomas kita, yang dengan segala perjuangannya berhasil membawa kembali piala Thomas setelah 19 tahun pergi.

Begitulah, kita juga menghadapi tantangan yang berbeda dibanding 93 tahun lalu saat Sumpah Pemuda dideklarasikan. Tantangan yang kita hadapi lebih kompleks dan berat seperti intoleransi, radikalisme dan terorisme. Tantangan itu tidak lagi berjarak dengan kita namun ada di sekitar kita.

Karena itu pada peringatan Sumpah Pemuda kali ini mungkin harus kita cermati betul tantangan itu. Dengan jiwa penuh dengan keindonesiaan yang berbingkai, kita bisa hempaskan tantangan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun