Beberapa jam lagi kita  akan menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 17 Provinsi, 39 kota dan 119 kabupaten, setelah nyaris selama empat bulan kita disuguhi oleh berbagai kampanye dari para Pasangan Calon. Para paslon itu berebut mempengaruhi masyarakat untuk memilikh mereka saat Pilkada dilakukan.
Kampanye itu dilakukan baik secara konvensional maupun modern. Kampanye konvensional di sini artinya memakai Baliho, melalui iklan-iklan di media massa, orasi-orasi  petugas kampanye di lapangan yang sudah dipadati oleh masyarakat sampai pada konser-konser muik yang diselenggarakanoleh para paslon itu.
Sedangkan kampanye modern juga dilakukan oleh para Paslon itu dengan cara kampanye  melalui internet alias di media sosial. Bisa dikatakan kampanye melalui medsos ini dilakukan karena kaum milenial cocok dengan cara berkampanye seperti ini. Selai itu kampanye dengan medsos dinilai jauh lebih murah dan efisien dibanding kampanye konvensional.
Yang patut disayangkan adalah kedua cara kamanye ini sarat dengan konten-konten yang menjatuhkan lawan dengan kampanye negative (negative campaign) Â dan kampanye hitam (black campaign). Sebenarnya di konteks Pemilu, kampanye negaitif masih diperkenankan tetapi kampanye hitam tidak diperkenankan.
Ada perbedaan antara kampanye negative dan kampanye hitam. Basis dasar keduanya berbeda. Kampanye negative didasarkan pada fakta tetapi isunya dibelokkan dengan berbagai cara. Ini sering kita temukan pada ujaran-ujaran tim pemenangan yang berusaha menarik perhatian masyarakat.
Tapi kampanye hitam merujuk pada kebohongan pada fakta, artinya yang disuguhkan bukan fakta tapi seakan-akan fakta. Kita bisa melihat contoh misalnya isu bahwa Presiden Indonesia Joko Widodo adalah seorang PKI. Itu adalah kampanye hitam yang bukan hanya bohong, nirfakta tapi juga kejam.
Sayangnya kampanye seperti ini sampai sekarang masih dilakukan oleh pada paslon pilkada di banyak daerah , terutama di medsos. Ujaran-ujaran ini dilakukan berulang-ulang sehingga orang menjadi percaya. Rasa percaya pada kebohongan ini kemudian diteruskan berkali-kali kepada komunitas mereka dan merembet ke komunitas lainnya dengan cepat.
Sedangkan dipihak lainnya juga melakukan kampanye serupa tapi dengan konten bertentangan. Ini juga berlangsung secara massif dan mungkin juga menggunakan negative dan black campaign. Sama dengan kelompok sebelah, mereka melakukannya beruang-ulang dengan komunitas mereka.
Tak pelak lagi maka ujaran-ujaran saling menyerang, menjatuhkan dari kalimat yang halus sampai kalimat kasarpun sering kita jumpai . Ini bisa kita temui dimana-mana dan kapan saja. Kondisi ini kadang membuat kita saling bermusuhan baik dengan teman maupun saudara yang mungkin membela kubu yang berbeda.
Melihat kenyataan seperti itu maka kita harus lebih kritis dan cerdas menyikapinya jika kita tak mau kehilangan teman, saudara dan kedamaian. Kita tak harus menelan begitu saja konten yang bertentangan itu. Karena jika kita terjebak pada pertentangan itu maka sama saja akan memperparah keadaan; pertentangan dan saling benci akan lebih intens.
Selain itu kita juga harus berusaha meverifikasi fakta yang ada di informasi tersebut. Sehingga kita bisa meluruskan hal-hal yang sesuai fakta dan tidak memperparahnya. Cerdas adalah kunci wujudkan suasana politik yang damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H