Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tahun Baru yang Penuh Harapan dan Kedamaian

2 Januari 2018   21:05 Diperbarui: 2 Januari 2018   21:18 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita bersama tahu bahwa saat ini kita berada di tahun baru. Tahun yang baru kali ini kita berada di tahun politik. Tidak hanya satu tahun melainkan dua tahun , yaitu pilkada dan pilpres. Pilkada dan pilpres saat ini memang agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena politik bangsa kita sangat mempersoalkan pluralisme  atau keberagaman. Terorisme dan kekerasan atas nama agama juga mulai mengemuka dalam dua tahun ini.

Sebenarnya jika kita belajar soal pluralisme artinya kita bersikap agak mundur ke belakang, karena Indonesia sebenarnya adalah realitas keberagaman dan kedamaian. Dari sejak dahulu, banyak hal yang berbeda di nusantara ini. Sebenarnya hal ini bukan hanya di Indonesia melainkan pada banyak negara di dunia.

Karena itu banyak yang menginginkan untuk kembali ke faham fundamental, yang sebenarnya melawan pluralitas itu sendiri. Ini sama dengan melawan atau mengingkari realitas yang kita hadapi itu sendiri.

Pada perjalanan waktu dan sejarah akhirnya non-pluralitas sangat terkait dengan pekerjaan politik. Dengan kata lain non pluralitas dipakai kaum-kaum tertentu untuk melawan apa yang sudah baik dan berjalan untuk mendapatkan dan meraih kekuasaan.  

Termasuk klaim Islamic State (IS) terhadap bom-bom yang terjadi di Indonesia dan para pelaku yang tewas adalah korban dari hasrat untuk berkuasa yang dibakar dengan semangat agama , khususnya pendirian syariah Islam yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia.

Kembali kepada soal dua tahun politik ini sebaiknya kita tetap fokus dengan apa yang sudah dilakukan oleh bangsa kita dengan baik dan mengabaikan ide-ide tentang non-pluralis yang melawan kodrat Indonesia kita.

Selama puluhan tahun perbedaan itu sudah dieratkan dengan budaya lokal dan menghasilkan kedamaian bagi bangsa kita dan jauh dari hal yang berbau kekerasan. Itu sudah tertanam dengan baik pada anak-anak kita generasi muda.

Pendidikan yang homogen harus dihilangkan, baik dalam pendidikan formal maupun informal---termasuk dalam keluarga yang akhir-akhir ini dikenal sebagai hal baru yang banyak dilirik  karena dianggap baik tapi sejujurnya kadang menghasilkan output radikalisme.

Pendidikan terbaik di era ini adalah pendidikan yang mempertemukan seorang dengan yang lain. Anak didik harus dibuat sadar bahwa pluralitas akan menemukan puncaknya bersamaan dengan hilangnya sekat-sekat dunia. 

Dengan begitu kita akan semakin sadar bahwa ada subyek lain yang berbeda dengan dirinya. Sehingga para murid akan semakin sadar bahwa harus bersikap kritis terhadap apa yang terjadi.

Yang menjadi harapan semua pihak adalah bahwa sikap kritis ini dapat ditularkan  dari satu generasi muda kepada yang muda lainnya dan akhirnya melahirkan dialog. Sehingga kita harus tetap optimistik dan tetap mengajarkan anak-anak untuk tetap mencintai kedamaian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun