“Kakaaak”
Begitulah aku memanggilmu.
Dan engkau akan membalasnya dengan sebutan “adek”.
Begitu sederhana. Sesederhana jiwamu.
Kesederhaan itulah yang akan selalu terkenang.
Kakaaak,
Aku masih saja menangis saat mengenangmu.
Aku selalu terkenang pesan-pesan singkatmu.
Aku selalu teringat kerupuk kesukaanmu.
Lalu tersadar bahwa kamu telah tiada.
Kakaaak,
Ingatkah pada kopi buatanku?
Ingatkah pada tulisan humormu untukku?
Ingatkah pada kelemahan tubuhku?
Semangatmu selalu berhasil membangkitkan jiwa sepiku.
Kakaaak,
Ingatkah pada hal-hal rahasia yang kita bagi bersama?
Ingatkah pada mereka yang melempar arang hitam ke wajahmu?
Ingatkah pada mereka yang menikammu dari belakang?
Kebesaran hatimulah yang akhirnya memenangkan pertarungan.
Kakaaak,
Maafkan aku yang tak ada disampingmu malam itu.
Maafkan aku yang tak turut mengantar ragamu.
Maafkan aku yang belum mampu sepertimu.
Sebab adekmu masih terlalu cengeng.
Kakaaak,
Terima kasih untuk persaudaraan kita yang abadi.
Terima kasih karena menjadi kakak terbaik yang aku miliki.
Jika terima kasih adalah obat paling mujarab dalam hidup.
Izinkan aku untuk terus berterima kasih, kakaaak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H