Pada saat kita meyakini agama kitalah yang paling benar, nabi kitalah yang paling hebat, nabi kitalah yang paling terakhir, tidak ada nabi setelah nabi kita, agama kitalah yang akan menyelamatkan dunia, tiba-tiba kita mendengar ada orang mengaku Nabi baru dan mengaku mau menyelamatkan bangsa kita, Apakah yang akan kita lakukan? Sanggupkah kita mengakuinya sebagai Nabi baru?
Kalau melihat keseharian kita saat ini, pastilah kita tahu apa yang akan kita lakukan terhadap Nabi baru tersebut. Tidak ada tindakan lain yang akan kita lakukan selain semua sumpah serapah, emosional, dan pencederaan fisik serta pembunuhan. Itulah hal yang pantas diterima bagi orang yang coba-coba mengusik agama yang kita anut.
Namun ada baiknya, kita sama-sama membaca sejarah. Para sahabat utama Nabi seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali serta ratusan sahabat lainnya juga adalah orang yang taat menjalankan agama mereka masing-masing apakah mereka beragama Yahudi, Nasrani, Majusi atau Pengikut Ibrahim atau Penyembah Berhala. Yang pasti mereka adalah orang yang telah menganut satu kepercayaan tertentu. Mereka kemudian mendengar ada seseorang dari kaum mereka sendiri (Muhammad) tiba-tiba memproklamasikan dirinya sebagai Nabi ke tengah-tengah bangsa Arab. Bukan main gundahnya mereka. Belum pernah mereka mendengar berita aneh se aneh ini.
Namun Nabi sangat tenang sekali menghadapi situasi demikian. Secara sembunyi-sembunyi Nabi kemudian mendatangi mereka satu persatu berharap mereka mau menerima penjelasannya. Nabi berharap mereka tidak langsung antipati dan menolak mentah-mentah. Dengan jiwa besar para sahabat bersedia mendengar penjelasan Muhammad kala itu tentang apa sebetulnya keyakinan yang dia bawa. Nabi menjelaskan kepada mereka tentang apa itu iman, apa itu Tuhan, apa itu kehendak Tuhan bagi ummat manusia, dan apa penyebab dari rusaknya moral bangsa Arab kala itu dan bagaimana jalan keluar dari masalah tersebut. Bagi sahabat yang sungguh0sungguh mendengar, penjelasan Nabi kala itu sangat berbobot dan masuk akal mereka. kata-katanya penuh makna, kesungguhan dan jujur. Belum pernah mereka dengar sebelumnya ada ulama bangsa Arab menjelaskan seperti yang dijelaskan oleh Nabi. Akhirnya setelah mereka yakin betul maka merekapun dengan yakin menerima penjelasan Nabi dan mengimaninya sebagai Nabi baru dan mereka bersedia meninggalkan agama mereka yang telah mereka peluk sejak dari nenek moyang terdahulu. Sejak itulah para sahabat seolah menerima masalah tiada henti, sebab para pemuka agama bangsa Arab saat itu, langsung menentang dan mengancam mereka.
Pernahkah kita merenungkan kejadian tersebut? Pernahkah kita merenungkan apa yang terjadi kepada kita di saat kita berada pada kondisi sebagaimana yang terjadi pada masa awal kenabian di atas? Apakah kita akan berbuat hal yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Usma dan Ali?
Kita selalu menangis karena rindu sosok nabi. Tapi kita tidak pernah merasakan perlakuan apa yang diterima Nabi dari mereka yang fanatik kepada agamanya dan fanatik kepada nabinya. Mereka yang fanatik terhadap agama dan terhadap nabinya-lah, sebetulnya orang yang menjadi ganjalan bagi Nabi Muhammad kala itu. Mengapa? Sebab mereka tidak mampu lagi membuka pikirannya, mereka sudah menutup rapat kebenaran ilahiah, mereka sangat menyombongkan dirinya dengan kefanatikannya saat itu. Mereka itulah ulama-ulama dan para pemuka agama Kafir Quraisy yang selalu menghalangi Nabi dalam berdakwah. Apa yang dilakukan mereka kepada Nabi Muhammad persis sebagaimana yang juga dilakukan pemuka agama Farisi dan Saduki kepada Yesus kala berdakwah di Jerussalem di tengah bangsa Israel. Begitu juga yang dilakukan pemuka-pemuka agama Firaun yang menentang dan meperolok-olok Musa dihadapan Firaun. Begitulah perilaku ulama-ulama pada masa Nabi diutus, mereka hanyalah antek-antek penguasa yang hidup dari menjilat penguasa kala itu apakah itu penguasa Mesir /Firaun (jaman Musa), pengausa Romawi (jaman Yesus) dan penguasa Arab/Abu Jahal (jaman Muhammad).
Sadar atau tidak, bukankah kita selalu dengan gembira dan teriak mengatakan bahwa kitalah orang yang paling mencintai Nabi. Kitalah orang yang berada di depan akan melindunginya seandainya Nabi hidup kembali. Meski kita tak pernah bertemu, kita merasakan kedekatan yang amat sangat kepada Nabi. Kitapun sibuk berdakwah siang dan malam menyadarkan ummat untuk mencintai Nabi dan melaksanakan apa yang diperbuat oleh Nabi. Pernahkah kita membayangkan bahwa Nabi tidak pernah berdakwah sekalipun kepada mereka yang sama keyakinan dengannya?
Sebab Nabi beriman kepada Allah. justru bermula dari seorang dirinya sendiri. Nabi seorang diri memiliki pemahaman yang berbeda dengan semua orang di muka bumi ini. Nabi dengan sadar meninggalkan pemahamannya sendiri. nabi gembira meninggalkan agama yang diturunkan oleh Bapak dan Ibunya dahulu yang penuh dengan kekeliruan. Ketika menerima wahyu maka Nabi seketika meninggalkan agamanya, meninggalkan kepercayaannya yang lama, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang lama. Nabi gembira sangat meninggalkan keyakinan agamanya yang usang dengan menerima pemahaman yang lebih hakiki yang berasal dari Tuhan. Lihat bagaimana Allah melukiskan kejadian yang menimpa Nabi kala itu, ...Muhammad kami dapati engkau sebelumnya dalam keadaan tersesat (bingung) lalu engkau kami tunjukkan (wawajadaka dollan Fahada).
Anehnya setelah 1400 tahun berselang dari jaman Nabi, kini para pendakwah berdakwah justru kepada orang-orang yang seagama dengan mereka. Mereka meyakinkan tentang iman kepada sesama orang yang sudah beriman. Mereka menyampaikan tentang Tuhan kepada mereka yang percaya Tuhan. Bahkan muncul kesepakatan bahwa berdakwah tidak boleh kepada ummat agama yang lain. Oang beragama justru banyak kini yang tidak mengenal Tuhan. Jadi kita mesti berdakwah kepada ummat sendiri. Sesuatu yang jelas tidak pernah dilakukan Nabi.
Jika kita berdakwah kepada ummat sendiri, adakah yang salah dengan pemahaman iman yang kita dapati dari orang tua kita? Apakah orang tua kita tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan apa itu iman kepada anak-anaknya? Mengapa mesti ulama yang menjelaskan tentang agama kepada kita? Artinya apakah fungsi orang tua cukup cari makan saja tanpa bertanggung jawab menyelamatkan anak dan istrinya dari api neraka? Mengapa yang menyelamatkan keluarga kita justru orang yang berada diluar keluarga kita? Bukankah iman dimulai dari diri pribadi sendiri, dari orang tua?
Pada saat Nabi hidup ditengah bangsa Arab, bangsa Arab sudah mengenal banyak agama monoteis yang dibawa dan diperkenalkan para nabi dan rasul terdahulu. Orang Arab sudah mengenal Nabi Ibrahim, Nabi Yaqub, Nabi Musa dan Nabi Isa. Banyak pengikut nabi-nabi tersebut hidup di tengah bangsa Arab. Namun ada juga bangsa Arab yang percaya kepada Tuhan-Tuhan materi. Banyak bangsa Arab mempertuhankan Harta, Tahta dan Wanita. Mereka menjadikan harta, tahta dan wanita sebagai berhala dalam kehidupan mereka. Namun semua keyakinan agama-agama yang ada saat itu telah menyimpang dari ajaran para nabi dan rasul yang asalinya. Meski beragama dan setiap hari ceramah tentang agama namun pemuka agama bangsa Aran kala itu tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada saat itu. Masalah justru semakin bertambah parah. Situasi inilah yang ditemui Nabi tahun demi tahun di tengah bangsa Arab yang jelas-jelas dipenuhi kaum munafik. Mereka bicara tentang agama namun perbuatan mereka bertentangan dengan hukum Tuhan.