Mohon tunggu...
Victor Simpre
Victor Simpre Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Kemenangan Atau Perasaan Menang?

6 Juli 2016   13:01 Diperbarui: 6 Juli 2016   13:10 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andaikan pun Tuhan mau menunjuki jalan yang benar, sangat sulit dibayangkan dengan cara apa Tuhan menyampaikan kepada mereka bermohon kepada-Nya itu? Apakah dengan menyampaikan wahyu sebagaimana yang Tuhan berikan pada Nabi dan Rasul terdahulu? Bukankah era Nabi dan Rasul sudah berakhir?

 Apakah bisa wahyu diberikan kepada milyaran individu yang masing-masing bermohon dan mereka bukan Nabi melainkan orang biasa? Bukankah akan terjadi silang sengketa ketika masing-masing orang (milyaran) bisa mengklaim bahwa merekalah yang mendapat petunjuk Tuhan meski mereka bukan Nabi? Lantas apa makna bermohon kepada Tuhan saat ini? apakah itu hanya sekedar simbolik belaka yang tidak memiliki makna yang haq alias pekerjaan sia-sia?

Adakah orang atau lembaga yang punya otoritas pada setiap agama untuk menentukan bahwa ada satu kelompok yang paling benar yang mesti diikuti? Mengapa ulama Arab Saudi tidak dilantik saja sebagai ulama satu-satunya yang wajib diikuti ummat Islam sedunia karena mereka adalah mewarisi Madinah dan Makkah sebagai simbol kota kemenangan Nabi? Manakah yang lebih tinggi kedudukannya di Arab Saudi, ulama atau Raja Arab Saudi? Adakah dunia Islam mau tunduk kepada ulama atau raja Arab sebagai satu-satunya pemberi petunjuk bagi ummat Islam?

Bagaimana dengan mazhab yang ada di dunia yang berbeda-beda pahamnya, bagaimana dengan sunni dan syiah yang beda aliran, bagaimana dengan kelompok garis keras (berjuang dengan perang) yang jelas-jelas memiliki pandangan yang berbeda dapat disatukan dalam satu petunjuk? Mengapa kitab suci tidak bisa mensucikan hati/Qalbu ummatnya? Mengapa kitab suci tidak bisa menjadi petunjuk semua ummat beragama? 

Mengapa para penafsir kitab suci tidak memiliki tafsiran yang sama? Bahkan semakin hari semakin banyak muncul para penafsir yang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda? Mengapa para penafsir bersikukuh terhadap cara pandang akal pikirnya semata? Tanpa ketiadaan campur tangan Tuhan, apakah ummat manusia mungkin bersatu? Bukankah tuhan telah bersumpah, bahwa hanya Tuhan yang bisa menyatukan Qalbu manusia, betapapun hebatnya manusia memiliki uang dan membelanjakannya mereka tetap tidak akan bisa bersatu?

Artinya, kini kita hidup tanpa petunjuk Tuhan (tanpa wahyu). Kita hanya punya bekal kitab suci dimana di dalamnya ada wahyu (perkataan) Tuhan. Tapi, tafsir terhadap firman Tuhan ternyata berurusan dengan rasio (akal-pikir) dari masing-masing penafsir sendiri. Masing-masing penafsir ternyata punya akal-pikir (sdusut pandang) yang berbeda-beda. Artinya kita hidup hanya bermodal akal-pikiran kita semata yang tidak lagi mengenal makna hakiki (hikmah) dibalik firman Tuhan. Artinya, kita membaca kitab suci tapi kita tidak tau bahasa hikmah (laduni) yang terkandung dalam kitab suci. Artinya, kitab suci bagi yang membacanya tanpa memiliki hikmah justru akan menjadi penyesat. Artinya, kitab suci bukan malah menjadi petunjuk namun justru bisa menjadi penyesat bagi yang menafsirkannya. Artinya, kita muter-muter diseputar tafsir dan takwil (hikmah) kitab suci yang tidak kita pahami. Artinya, kita hidup tanpa petunjuk Tuhan.

Penutup

Mereka yang hidup tanpa petunjuk pasti akan berada dalam kebingungan seterusnya akan jatuh ke jurang kenistaan yang dalam. Mereka yang hidup tanpa petunjuk Tuhan pasti akan tersesat. Mereka yang hidup tanpa petunjuk Tuhan hidupnya hanya sebatas senda gurau tanpa makna. Mereka yang hidup tanpa petunjuk Tuhan kehidupannya akan ditindas oleh bangsa-bangsa lain. Mereka yang hidup tanpa petunjuk Tuhan kehidupannya akan menjadi kuli (babu) bagi bangsa-bangsa lain. 

Mereka yang hidup tanpa petunjuk kehidupannya jauh dari kemuliaan, perkataannya hampa tanpa bobot, hari-harinya hanya berharap dunia, pekerjaannya hanya menipu dan berdusta, yang diandalkannya hanya penampilan yang menipu dan mengelabui semata. Ketika sudah ratusan kali kita merayakan kemenangan namun selama ratusan kali itu pula kita terus-menerus dalam kondisi keterpurukan, maka itu adalah tanda bahwa kita tidak mendapat petunjuk.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun