Mohon tunggu...
Victor Simpre
Victor Simpre Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesetiaan & Kesanggupan sebagai Kunci Membangun Peradaban (Belajar dari Bushido)

1 Mei 2016   14:08 Diperbarui: 1 Mei 2016   14:16 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apakah penting kita membicarakan kesetiaan dan kesanggupan warga bangsa untuk terus konsisten dalam memperbaiki bangsa yang kian terpuruk saat ini? Seberapa pentingkah kesetiaan dan kesanggupan dibutuhkan dalam misi pembangunan suatu bangsa? Masihkah ada orang yang setia dan sanggup melanjutkan cita-cita sejati pembangunan peradaban ini ditengah gempuran fisik dan psikis yang tengah dilancarkan berbagai pihak secara bertubi-tubi baik dari dalam maupun dari luar? Siapakah yang paling berkepentingan jika misi pembangunan perdaban suatu bangsa mati?

Kesetiaan & Kesanggupan

Dalam sejarah Jepang kita mengenal masa atau jaman feodal dimana setiap Kaisar pada saat itu memiliki para kesatria yang hidup dengan nilai-nilai kekesatriaan. Nilai-nilai kekesatriaan itu yang kita kenal dengan Bushido. Bushido diyakini bersumber dari ajaran ilahiah (Budhis & Shinto) yang menciptakan perasaan tenang dan yakin pada takdir, ketaatan, ketabahan, ketenangan saat melihat bahaya atau bencana, merendahkan kehidupan duniawi dan ramah pada kematian. 

Dari Tuhanlah mengalir ruh kesetiaan terhadap kedaulatan, penghormatan terhadap leluhur, dan bakti yang tidak diajarkan oleh kepercayaan lain. Para kesatria yang dijiwai karakter ilahiah meyakini tentang kebaikan diri dan kemurnian ilahiah pada jiwa manusia, memujanya seperti tempat suci dimana ramalan ilahiah dinyatakan. Prinsip atau karakter ilahiah (Shinto) yan tertanam dalam diri para kesatria meliputi dua fitur dominan yaitu patriotism dan kesetiaan. Lantas, dimana posisi ilmu pengetahuan hasil olah-pikir manusia? Dalam tradisi Samurai karya-karya cendekiawan sering disebut sebagai buku pemabuk. Orang yang baca buku sedikit adalah orang yang sedikit sombong yang baca banyak sangat sombong dan keduanya sama-sama tidak menyenangkan. 

Sikap utama para kesatria yang lain adalah Tanggung Jawab Pada Kesetiaan. Penghormatan dan kesetiaan pada atasan adalah norma yang khusus. Di Jepang ada kisah tentang seseorang yang bersedia mengorbankan anaknya untuk dipancung hanya untuk menyelematkan putra tuannya dari hukuman tersebut sebagai bentuk kesetiaan mereka pada tuannya, sebab tuannya sedang diburu oleh kelompok penjahat. Itu sebabnya di Jepang kesetiaan kepada Kaisar adalah hal yang mutlak bagi Samurai sebab Kaisar adalah perpanjangan tangan Tuhan. Kegagalan menjalankan tugas dari Tuan hanyalah pantas ditebus dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Tuan hukuman apa yang pantas diterima oleh seorang Samurai. Tanggung jawab yang tulus adalah ditunjukkan dengan menumpahkan darahnya sendiri. Bagi jalan hidup Bushido, hidup adalah cara untuk melayani Tuannya.

Jelas, kesetiaan terhadap Jalan Kebenaran adalah ruh yang sangat penting bagi suatu bangsa. Semua bangsa besar mengukir sejarah emasnya diatas sikap kesetiaan kepada ilahi, kepada pimpinan, atau kepada Jalan Kebenaran. Meski era feodal sudah berlalu namun bekas-bekasnya masih terasa hingga saat ini pada kehidupan bangsa Jepang modern. Jepang pada saatnya juga pernah mengalami masa-masa terburuk dalam sejarah mereka. Jepang berhasil ditakluk oleh sekutu dan Kaisar kemudian mengakui kekalahannya dan menanggung semua penderitaannya. Jepang sebagai negara dan bangsa menjadi terpuruk, puluhan ribu rakyat korban, kota-kota utamanya luluh lantak oleh bom atom. Bangsa Jepang masuk dalam periode perihnya penderitaan hidup. Namun, pondasi karakter ilahiah yang dulu pernah tertanam dalam generasi sebelumnya, tampaknya tidak sepenuhnya bisa dimatikan oleh bom atom sekutu. Perlahan dengan sabar, tabah dan ulet Jepang mulai bangkit dan menggeliat memodernisasi bangsanya hingga kembali menjadi kekuatan di dunia yang menggentarkan lawan maupun kawan. Mereka yakin bahwa setelah penaklukkan Jepang oleh sekutu, dan perjuangan untuk segera bangkit dari keterpurukan, adalah merupakan dorongan ruh ilahiah yang telah tertanam dalam karakter mereka sejak dulu yang kembali hidup.

Bagaimana dengan kesanggupan? Setiap kesatria dengan sadar menyatakan kesanggupan dihadapan Kaisar dengan menundukkan kepala dan pikirannya. Kaisar adalah wakil ilahi di muka bumi yang wajib dijunjung tinggi dan dijaga kehormatannya. Semua penderitaan, bencana dan kesulitan dalam perjalanan pengabdian kepada bangsa adalah wujud pengabdian kepada ilahi. Semua penderitaan, bencana dan kesulitan dalam perjalanan pengabdian dengan sukarela sanggup dihadapi meski kematian sebagai ganjarannya. Ajaran Bushido jelas menegaskan, “tanggung dan hadapi semua bencana dan kesulitan dengan kesabaran dan hati nurani yang murni”.  Kehormatan sejati berarti memenuhi perintah Tuhan dan kematian yang terjadi saat melakukannya bukan memalukan lebih tepat kebahagiaan, sementara menghindari kematian di jalan Tuhan adalah pengecut!” (Nitobe, 2015). 

Refleksi

Sayang, sebagai salah satu negara yang besar, kaya sumber daya alam, kesuburan, dan padat penduduk, kita selaku bangsa Indonesia hari ini justru telah kehilangan ruh ilahiah. Khususnya dalam hal karakter kesetiaan dan kesanggupan dari anak-anak bangsa dalam membangun peradaban kita sendiri. Meski sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, namun kita seolah tak pernah memahami makna hakiki dari sila pertama tersebut. Hampir tidak kelihatan pancaran ilahiah dalam bentuk kehormatan, kesetiaan, kesanggupan (tanggung jawab), kebenaran, ketabahan yang kita dapatkan dari para pejabat, pengusaha, politisi, penegak hukum, tokoh adat, tokoh agama. Pada saat kehidupan yang porak-poranda ditengah-tengah kita saat ini dengan berbagai krisis yang melanda bangsa, kita justru kehilangan figur panutan yang benar-benar memiliki karakter kesatria sejati.

Hari ini yang disuguhkan para pemimpin negara, pemimpin sosial dan pemimpin agama justru adalah hausnya mereka akan jabatan, harta dan kesenangan seksual. Tanpa malu mereka mempertontonkan pertikaian satu sama lain, saling hujat-menghujat, saling rebut kuasa, saling menyatakan kehebatan dan kebenaran masing-masing. Perilaku korupsi, kolusi, nepotisme semakin faktual telah menjadi “pakaian” mereka sehari-hari, dan dipakai oleh semua level masyarakat dari kelas rendah hingga kelas yang tertinggi. Lebih luar biasa gaya kehidupan pada kalangan generasi muda. Makanan utama generasi muda saat ini adalah narkoba, seks bebas, kemewahan, persaingan dan konflik. Pada masyarakat kebanyakan, hidup dalam kemiskinan menjadi sesuatu yang abadi terjadi dari sejak sebelum merdeka hingga setelah merdeka. Kehidupan rakyat jelata terus menerus terpuruk, bahkan membuat mereka tidak lagi bisa membedakan antara saat di jajah Belanda dengan saat merdeka. Bahkan ditengah masyarakat kebanyakan muncul anekdot “lebih kejam londo item ketimbang londo pute”.

Apa yang terjadi? Kita telah kehilangan guru bangsa yang dimulutnya penuh dengan kata-kata ilahi yang mengajarkan kejujuran, keberanian, kebijaksanaan, ketabahan, keuletan, kecakapan dalam membangun mental selaku kesatria bangsa. Kita kehilangan guru bangsa yang selalu berbuat sesuai dengan yang dia katakan. Kita kehilangan guru bangsa yang dalam setiap pengajarannya dia tidak membutuhkan upah bahkan ucapan terimakasih sekalipun. Hari ini yang kita dapati hanyalah guru-guru material. Guru-guru yang bergelimang harta materi hasil pendapatan dari pengajarannya. Guru yang memberi pengajaran hanya karena digerakkan oleh motif-motif “amplop” yang tebal. Guru yang tidak memiliki dampak perubahan apapun bagi perubahan karakter (akhlak) bangsa. Guru yang dampaknya terasa hanya pada rumahnya dan keluarganya dari yang sebelumnya miskin papa menjadi kaya raya sementara para pendengarnya semakin terpuruk. Guru yang hanya mengajarkan bagaimana cara memperoleh rejeki sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara meminta, mengiba, memohon-mohon kepada Tuhan sebagai pemilik rejeki. Guru yang memiliki ajaran tentang cara menilai Tuhan menyayangi kita, adalah dengan melihat seberapa banyak rejeki dalam bentuk harta benda yang kita miliki. Semakin banyak harta kita maka semakin terbuktilah sayang Tuhan kepada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun