Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Peran Intelijen dan Menlu Retno dalam Pembebasan 10 Sandera WNI

4 Mei 2016   13:18 Diperbarui: 4 Mei 2016   13:33 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari belakangan kita dipertontonkan oleh kegaduhan tentang siapakah yang paling berperan terhadap pembebasan WNI yang disandera Abu Sayyaf. Sepuluh orang sandera itu Alhamdulillah berhasil dilepaskan dalam keadaan selamat dan sehat wal afiat. Drama 37 hari penyanderaan kelompok bersenjata Abu Sayyaf berakhir anti klimaks ketika beberapa pihak mengklaim sebagai faktor kunci ‘Operasi Pembebasan’ ini.

Sikap saling klaim ini menimbulkan kabar tak sedap. Ada dugaan saling klaim keberhasilan ini adalah untuk menunjukkan kepada publik bahwa masing-masing merekalah yang paling berjasa. Bahkan perseteruan ‘siapa paling berjasa’ ini berlanjut hingga hari ini. Perang terbuka di media massa menjadikan publik kian yakin, ada sesuatu yang salah dengan ‘proses’ dibebaskannya kesepuluh sandera oleh Abu Sayyaf pada hari minggu, 1 Mei 2016 lalu.

Adalah Viktor Laiskodat yang dalam tayangan televisi nampak berada diantara para sandera yang dibebaskan. Dengan Viktor pula, kesepuluh tawanan bebas itu meninggalkan Zamboanga, Filipina menggunakan Pesawat Jet Pribadi, konon milik Surya Paloh. Beriringan dengan itu Rerie L.Moerdidjat, Ketua Yayasan Sukma menyebut bahwa bebasnya para Sandera karena peran Yayasannya. Surya Paloh adalah Pembina Yayasan Sukma.

Rerie menyatakan bahwa Yayasannya menggunakan jalur pendidikan yang merupakan bidang utama lembaga yang Ia pimpin untuk berkomunikasi dengan para penyandera. Rerie mengungkapkan bahwa pihaknya melakukan Kontak pertama kali dengan penyandera sejak 16 April 2016. Jaringan mereka di Kepulauan Mindanau yang membuat komunikasi dengan pihak penyandera dilakukan.

Mayor Jenderal TNI (Purn.) Kivlan Zein, salah seorang negosiator yang ditugaskan oleh PT.Maritime Lines dalam tayangan ILC menyatakan bahwa dirinya sudah sejak akhir maret 2016 lalu berada di Filipina untuk melakukan negosiasi. Purnawiaran Jenderal berbintang dua ini juga berkisah tentang adanya pembagian tim yang dipimpinnya. Ada tim yang bertugas membangun komunikasi dengan kelompok Abu Sayyaf dengan bantuan Prof.Nur Miswari dan ada tim yang bertugas membawa uang perusahaan untuk penebusan. Dia mengaku mengikuti seluruh proses negosiasi hingga dibebaskannya para sandera.

Kivlan muncul ke media setelah mendengar adanya klaim sepihak oleh mereka yang dinilai mengambil panggung di ujung drama penyanderaan ini. Kivlan menyebutkan saat mendengar kabar ada pesawat khusus yang sudah standby menjemput para sandera, dirinya terkejut. “Tetapi tidak elok di hadapan otoritas Filipina Saya meributkan hal tersebut,” ujar mantan Kepala Staf Kostrad ini dalam tayangan ILC 3 Mei 2016. Kivlan sengaja tidak hadir di bandara saat para sandera akan dibawa ke Indonesia, Ia mengaku bekerja dibawah dan mengikuti seluruh prosesnya, jadi tak perlu menunjukkan diri.

Diantara proses saling klaim keberhasilan ini, ada hal yang secara nyata dilupakan. Yaitu betapa besarnya peran intelijen dalam negosiasi pembebasan ini. Bagi intelijen tentu tidak elok jika masuk dalam perdebatan antara Yayasan Sukma dan Kivlan Zein, sang negosiator yang diutus Perusahaan PT.Maritime Lines. Sesuai tupoksinya, Intelijen memang bekerja secara senyap, cepat dan tepat. Tak perlu juga tampil mengambil panggung di media massa. Namun, tentu tidak benar jika ada yang melupakan peran Intelijen kita.

Di ujung suka cita dibebaskannya para sandera ini, ada hal menarik, yaitu ketika serah terima kepada keluarga di Kementerian Luar Negeri. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi tampil seorang diri saat prosesi formalitas itu di Pejambon. Sehingga panggung prestasi terbebasnya para sandera seolah hanya milik Menteri Retno saja. Padahal dalam konferensi pers bersama Presiden Joko Widodo, Panglima TNI secara terang mengungkapkan bahwa keberhasilan pembebasan ini adalah murni kerja Operasi Intelijen dan negosiasi.

Sejumlah media massa nasional seperti Koran tempo dan Detak.Co edisi 2 Mei 2016 mengutip pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo : Operasi Intelijen melibatkan organ intelijen, TNI dan intelijen Filipina. “TNI melakukan operasi intelijen sambil berkoordinasi dengan Kemenlu,” ujar Gatot. Fokus operasi intelijen menurut Panglima TNI adalah posisi tawanan. “Kami memastikan keselamatan para sandera dan ini kata kunci,” ucap jenderal berbintang empat ini.

Coba tengok pembebasan sandera di belahan dunia manapun, apakah bebasnya sandera karena diplomasi kementerian luar negeri semata, atau ada peran operasi intelijen negara di dalamnya? Suka atau tidak suka ujung tombak pembebasan sandera selalu menempatkan Intelijen Negara sebagai ujung tombak, garda terdepan.

Intelijen memang tidak perlu tampil saat pesta kemenangan, seperti slogan mereka : berhasil tak dipuji, gagal dicaci maki. Tetapi mengklaim keberhasilan karena ‘diplomasi total’ dan menegasikan peran Intelijen itu seperti menumpang di mobil orang, lalu membawa kabur mobilnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun