Pertengahan Oktober silam saya diajak tim Robinson Journey berkeliling Jambi selama delapan malam. Ini merupakan kesempatan langka buat saya, karena saya belum pernah menyentuh Pulau Sumatera sebelumnya. Jadi saya berangkat pagi hari Minggu, 15 Oktober 2017, bersama Anindya Putri, Sang Puteri Indonesia 2015 yang terkenal sangat aktif dalam kegiatan olahraga.
Setelah menghabiskan dua hari di Kota Jambi, kami melanjutkan perjalanan ke luar kota pada hari Selasa, tanggal 17 Oktober. Dikawal Bang Yomi dan Bang Fadli dengan ambulans four-wheel-drive, kami memasuki daerah Sarolangun dan sampai di Desa Sungai Jernih lewat tengah malam. Kami bermalam di rumah salah seorang warga transmigran, keluarga Pak Paryan, yang membuka rumahnya untuk kami berlima belas. Ditambah tim sukarelawan dari WARSI, Bang Prabu dan Bang Maknun--lalu Mas Fitra Eri dari OtoDriver dan asistennya yang datang jam 2 dini hari--total tamu malam itu ada 21 orang.
saya disupiri Anindya Putri!
Dalam kesederhanaan rumah beruang lima berlantai vinylitu, para kru tidur dalam sleeping bag di ruang tengah (dan kami perempuan dapat tidur di atas kasur di kamar.) Rumah ini merupakan rumah yang dipakai untuk shooting film Sokola Rimba tahun 2013 silam, hanya sudah mengalami banyak perbaikan dan penambahan ruang. Pagi hari di desa terujung sebelum hutan itu terasa cukup dingin, dan kami semua bergantian mandi dengan air dingin karena tidak sempat membasuh diri malam sebelumnya. Sembari menunggu giliran, saya ikut nongkrong di dapur berlantai tanah bersama Bu Pariyan (iya, Bu Pariyan yang karakternya muncul sebagai perempuan yang membuka rumahnya untuk Butet Manurung mengajar) dan para sukarelawan WARSI.
Pagi itu saya diajak sutradara tim, Kang Yaya, untuk ikut bertandang ke kantor kepala desa untuk melaporkan kunjungan kami. Setelah itu kami bertemu dengan kelompok Sako Nini Tuwo, sebuah 'klan' kelompok kecil dari 13 keluarga dari 12 ketumenggungan dengan total 3600 jiwa yang ada di Bukit Dua Belas. Kelompok yang kami temui ini menyebut diri mereka Orang Kubu, Orang Rimba, atau Suku Anak Dalam.
Suku ini adalah salah satu dari ratusan suku asli Indonesia yang 'belum' tersentuh budaya asing. Di hutan hujan tropis di Jambi, mereka hidup semi-nomaden secara turun-temurun hanya dengan memanfaatkan apapun yang tersedia di alam. Mereka tidak suka memakai baju, karena itu mengganggu sistem kekebalan tubuh mereka. Di foto-foto di post ini mereka mengenakan pakaian hanya karena kami sedang berkunjung. Beberapa yang tidak pakai baju menyingkir dari bidikan kamera selama kunjungan kami.Â
begini bentuk tenda yang menjadi puskesmas darurat Orang Rimba ini
Beberapa puluh tahun terakhir, dengan invasi ladang kelapa sawit, keberadaan mereka semakin terancam karena pepohonan rumah mereka berganti jenis dan kini ada pemiliknya. Seringkali mereka terlibat perkelahian berujung darah karena dianggap mencuri hasil panen milik perusahaan. Dan invasi ini membuat mereka mengenal uang dan kendaraan. Mereka diiming-imingi mobil untuk ditukar sekian ratus meter persegi lahan. Tentu, hal ini awalnya menggiurkan, tetapi berakhir buruk. Mereka tidak siap menerima gaya hidup modern kita. Akhirnya mereka memutuskan untuk menutup diri dari 'dunia', berpikir kita semua hendak menipu mereka.
Karena itulah teman-teman dari WARSI mendedikasikan diri untuk membantu mereka baca-tulis-hitung. Setidaknya supaya mereka tidak lagi dibodohi kalau sudah bisa berkomunikasi dengan baik dengan dunia modern. Sebenarnya ini adalah concernsaya, betapa kita merusak gaya hidup mereka yang seringkali kita anggap 'primitif'. Padahal, menurut saya, kita saja yang tidak paham dan menganggap diri sudah beradab. Saya suka melihat mereka apa adanya, tanpa harus menjadi seperti kita.
Untungnya prinsip kawan-kawan di WARSI sejalan dengan pemikiran saya, yaitu mereka tidak mau mengubah suku ini, persis seperti prinsip Butet Manurung. Bedanya, Butet Manurung berasal dari Kota Bangko, sementara kelompok WARSI dari Kota Jambi. Mereka hanya ingin menjadi jembatan yang bisa mengakomodasi kehidupan mereka, sebagai 'pengganti' apa yang telah diambil oleh 'kebun kelapa sawit' ini dari mereka. Begitu hebatnya dedikasi kawan-kawan WARSI, mereka menjadwalkan 2-3 minggu per bulan untuk ikut hidup bersama satu kelompok secara bergilir dan 1 minggu sisanya pulang ke Kota Jambi. Dengan total 13 kelompok di ketumenggungan ini, artinya tiap kelompok baru bisa bertemu dengan tim WARSI setelah 1 tahun 1 bulan. Lama juga, ya!
Bang Prabu (paling kiri), Kang Yaya (baju merah), dan Suku Anak Dalam
Kebetulan, saat kami datang, kelompok Sako Nini Tuwo sedang 'turun gunung' karena hendak berobat. Ketimbang mereka harus ke Puskesmas, Bang Yomi yang bertugas sebagai perawat mendatangi mereka dan menggelar tenda di antara hutan kelapa sawit itu untuk memeriksa penyakit satu per satu. Dengan ambulans yang disupiri oleh Bang Fadli ini, Bang Yomi membawa obat untuk P3K. Jika sakit mereka parah barulah mereka dikirim ke Puskesmas.Â
Dalam pertemuan pagi itu, para sukarelawan WARSI menjadi jembatan bagi kami untuk meminta izin bertamu dan mengambil gambar anak-anak dari Suku Rimba ini. Mereka bicara dengan bahasa campuran Jambi dan Melayu dengan aksen khas Orang Rimba yang membuat saya merasa lost in translation. Sedikit-sedikit saya mencoba menangkap gaya bahasa dan gerak-gerik mereka. Walau sambutan yang kami dapat tidak meriah, setidaknya kami mendapatkan izin itu.
Mungkin hal ini juga dipermudah karena kehadiran Bang Gentar (yang pakai baju hitam sebelah Bang Maknun di foto di atas), yang merupakan salah satu anak didik Butet Manurung di Sokola Rimba. Bang Gentar adalah salah satu lulusan terpandai, tetapi memutuskan untuk pulang ke hutan dan berkeluarga. Namun hal ini tak menyurutkan semangat Bang Gentar untuk mengajar generasi berikutnya dan membantu tim WARSI.
Anin dan saya sudah siap bertualang!
pemandangan perjalanan melalui kebun kelapa sawit
Jadi setelah makan siang kami bersiap berangkat ke Taman Nasional Bukit Dua Belas naik mobil offroad melintasi ladang kelapa sawit dan perbukitan gersang. Di satu titik kami harus memarkir mobil dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Treknya tidak terlalu parah sih, tapi ada banyak peralatan kemping yang kami bawa yang membuat kami menyewa motor warga untuk membantu.
Kami tiba di tempat perkemahan tepat saat matahari tenggelam. Ada sebuah pondok kayu yang berdiri di sana, dan Suku Anak Dalam membuat tenda untuk mereka tidur. Tenda-tenda itu hanyalah selembar terpal yang dibentangkan di antara pepohonan dengan bantuan batang pohon yang berfunsgi sebagai bubungan. Terpal mereka tidak membentuk dinding, hanya menjadi atap. Satu terpal tenda diperuntukkan untuk satu keluarga. Saya tidak bisa membayangkan harus tidur seperti itu--masuk angin dan kedinginan sudah pasti!
Para kru mendirikan tenda untuk kami tidur--tenda 'modern' yang mirip igloo dengan pintu untuk menutup seluruh sisi--yang tampak kontras dengan kesederhanaan gaya Suku Anak Dalam bermalam. Mereka hidup semi-nomaden yang artinya tidak pernah tetap. Mereka mengeksplorasi hutan dan hidup dengan mengambil apa yang disediakan alam. Mereka memetik, memanen, atau berburu untuk makan.Â
suasana shooting pagi hari
Satu hal yang membuat saya kagum, adalah peraturan mereka untuk tidak mandi atau membuang limbah apapun di sungai. Karena sungai adalah sumber air minum untuk mereka. Hal ini membuat saya terpaku. Betapa mereka bisa berpikir untuk menjaga sumber kehidupan--sedangkan kita di kota malah sembarangan membuang sampah dan limbah yang menjadikan sungai kita berwarna cokelat. Tak heran desa di sini dinamakan Sungai Jernih.
Hal lain yang saya pelajari dari suku ini adalah keadilan yang mereka jaga di antara mereka. Seperti makanan yang selalu mereka bagi sama rata di antara mereka, sekecil apapun yang mereka dapatkan. Atau ketika jalan pulang, salah satu dari mereka selalu menengok ke belakang memastikan kaki saya menjejak di tanah yang tepat. Jadi walau mereka tak mengenal kata 'tolong', 'terima kasih' dan 'maaf' (yang akhirnya ngga jadi galau sakit hati berkepanjangan sih), mereka punya nilai lain yang menurut saya sudah pudar di perkotaan.Â
Belum sempat tenda kami terpasang sempurna, hujan mengguyur hutan malam itu. Kami harus berlindung, dan satu-satunya bangunan di situ adalah pondok kayu yang tidak boleh kami masuki. Suku Anak Dalam begitu protektif terhadap properti dan teritori mereka (bahkan mengambil gambar pun harus seizin mereka--itu sebabnya tidak terlalu banyak foto yang bisa saya pamerkan di sini.) Untungnya kami dibolehkan berteduh di bagian belakang pondok yang cukup terlindung dengan dinding papan kayu di dua sisi.
Di serambi kecil itu sekitar delapan anak berjejalan duduk bersila dengan buku tulis mereka. Bang Maknun, sang guru, memberi soal baca-tulis-hitung sesuai dengan usia dan kecepatan pelajaran mereka. Saya kebagian membantu Ngarong dengan soal berhitung dasar. Saya membuat beberapa soal pertambahan, dan dia akan menghitung dengan sepuluh jarinya sebelum menulis angka hasilnya. Saya terkesima betapa hal sederhana ini membuat hati saya tersentuh. Hanya dengan pelita beberapa batang lilin, anak-anak ini begitu bersemangatnya belajar.
saya dan Ngarong
Jisel, Sang Legendary Biker 2017, mengajari anak-anak bernyanyi 'Kalau Kau Suka Hati' dan anak-anak mencatat liriknya di buku mereka. Ngarong belum bisa membaca-tulis, jadi saya membantu mengeja liriknya supaya dia bisa ikut bernyanyi. Ceria sekali anak-anak ini dalam dinginnya hujan di tengah hutan itu. Karena berjejalan di serambi kecil itu, ditambah dengan kru film, akhirnya kami merasa hangat juga.
Tetapi karena sempat kehujanan, saya merasa cepat lelah dan akhirnya menyerah di jam 10.30. Padahal anak-anak masih bersemangat belajar sampai tengah malam. Saya sungguh kagum pada komitmen dan dedikasi para sukarelawan WARSI yang mengikuti permintaan anak-anak ini untuk belajar--yang biasanya dimulai setelah petang dan bisa selesai jam 2 pagi!
saya, keluarga Bu Paryan, dan warga Desa Sungai Jernih
Nah, untuk menindaklanjuti kunjungan kami ke Suku Anak Dalam, saya dan Anin berinisiatif mengumpulkan buku bacaan untuk anak-anak (usia TK-SD) yang akan disumbangkan melalui teman-teman di WARSI. Buku ini akan sangat membantu anak-anak ini belajar membaca, menulis dan berhitung. Tentu saja, buku-buku ini akan kami kurasi agar sesuai dengan nilai-nilai yang dianut suku ini. Buku yang tidak lolos seleksi akan tetap disumbangkan ke perpustakaan Desa Sungai Jernih. Kami juga berniat mengumpulkan dana untuk membantu para pengajar dari WARSI. Klik di sini: kitabisa.com.
(Artikel asli ditayangkan 1 Desember 2017 di web saya.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H