Kalian sudah menonton film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak? Saya baru selesai menontonnya. Entah mengapa, enam bulan terakhir saya banyak disuguhi kasus tentang ketidakadilan terhadap perempuan, dan salah satunya dari tema film yang saya tonton--secara tak sengaja. Mulai dari film Perempuan Punya Cerita (2007), Ca Bau Kan (2002), dan sekarang, Marlina.
Film besutan sutradara Mouly Surya ini terfokus pada kehidupan Marlina (Marsha Timothy), seorang janda yang baru saja ditinggal mati suaminya. Markus, tokoh antagonis di sini, mendatangi Marlina hendak menagih hutang almarhum dan merampas ternak Marlina. Markus mengajak kawan-kawannya serta, berencana akan memperkosa Marlina bergantian ketika malam datang.
Tapi saya tidak hendak membahas akting hebat Marsha yang memenangkan piala Catalonian International Film Festival di Sitges mengalahkan Nicole Kidman atau betapa indahnya gambar yang disuguhi sepanjang film. Juga tak mau membahas betapa kerennya akting Dea Panendra sebagai pemeran pembantu wanita yang sangat bisa mengimbangi akting Marsha. Saya mau membahas film ini dari sudut pandang seorang perempuan.
Sosok Marlina, sebagai seorang perempuan Sumba, digambarkan menurut saja ketika para lelaki--orang asing yang tak pernah dikenalnya--seenaknya masuk ke rumahnya, menyuruhnya membuatkan kopi, menyajikan sirih, memasak sup ayam, dan seterusnya. Marlina, yang menggambarkan sosok perempuan Indonesia, menurut dan patuh, walau hatinya berontak.
Saya ingat kalimat-kalimat yang dilontarkan para lelaki yang menginvasi rumah Marlina, yang seakan menjustifikasi pemerkosaan sebagai hak lelaki dan perempuan adalah korban yang harus menerima kenyataan itu. Bahwasanya jika lubang vagina seorang perempuan ketika proses senggama itu longgar dianggap bahwa perempuan itu pasti menyukai kegiatan pemerkosaan itu.
Saya ingat film-film serial bertema hukum sering mengangkat kasus ini, dan komentar yang paling banyak saya dengar adalah 'kalau perempuan itu orgasme ketika diperkosa, artinya perempuan itu juga suka'. Oh, saya geram sekali pada komentar selentingan seperti ini. Jujur saja, menurut saya siapa pun yang bisa berpikir begini adalah orang yang tidak punya otak. Dan tidak punya nurani.
Sepertinya kita semua harus kembali ke SMP untuk pelajaran biologi tentang alat reproduksi manusia dan merombak isi pelajaran itu. Pendidikan seks, perlu diselipkan di sini. Budaya timur terlalu menganggap seks adalah hal yang tabu, tetapi menurut saya seks adalah manusiawi. Kecuali jika seseorang tidak punya alat reproduksi dalam tubuhnya, barulah tabu untuk membicarakan seks.
Mungkin para lelaki itu harus diingatkan lagi: tubuh manusia punya gaya refleks. Dan gaya refleks ini tidak ada hubungannya dengan perasaan atau emosi si empunya tubuh. Jadi, dalam kasus pemerkosaan, dalam hal pemaksaan penis memasuki liang vagina, tidak ada hubungannya antara penerimaan vagina secara refleks (fisik) dengan penerimaan jiwa si pemilik badan (psikis).
Jika mau kita bahas lebih dalam, manusia adalah jiwa yang memiliki tubuh. Bukan sebaliknya. Jiwalah yang menguasai dan menggerakkan tubuh. Manusia juga punya akal sehat, yang membedakan kita dengan binatang. Jadi, tubuh adalah unsur paling luar dan konkrit dari seorang manusia. Di balik itu, ada otak dan hati yang bekerja di dalam. Ketika pemerkosaan yang terjadi, walaupun badan yang menerima 'siksaan', tetapi otak dan hatilah yang paling menderita.
Di dunia barat, baru mulai ada kampanye tentang seks dengan persetujuan. Sex with consent. Artinya, kedua belah pihak setuju untuk melakukan hubungan badan. Ini juga berlaku dalam kencan. Ketika salah satu pihak menyatakan 'tidak', pihak lain harus membatalkan. Jadi di antara pacar saja ada aturan tentang seks, apalagi kalau dengan orang yang tidak dikenal.
Saya tahu persis, masih banyak orang Indonesia yang tumbuh di lingkungan yang mengajarkan bahwa lelaki berhak atas tubuh perempuan, dan bahwa perempuan adalah sekadar objek, sebuah komoditas. Dan sayangnya, banyak perempuan yang setuju saja. Bahkan dalam pernikahan pun masih ada istilah 'melayani suami'. Jarang sekali saya dengar istilah 'melayani istri'. Jika seks diciptakan hanya untuk melayani suami, betapa sialnya nasib saya terlahir sebagai perempuan. Seks seharusnya seimbang dan dapat dinikmati oleh kedua belah pihak. Begitulah, saya memang pecinta keadilan.