Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Marlina dan Kekuatan Perempuan

11 Desember 2017   21:24 Diperbarui: 11 Desember 2017   21:41 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di film Marlina, banyak hal 'tabu' yang disodorkan pada penonton secara gamblang. Pembunuhan, mayat, darah, kepala tanpa tubuh, dan proses persalinan. Walau tidak ada bagian privat tubuh yang diekspos, tetapi adegannya cukup menjelaskan. Dan semuanya memang jelas. Lelaki mendominasi perempuan, perempuan hanya bisa menurut. Lelaki memberi perintah, perempuan melaksanakan. Tidak boleh banyak tanya, apalagi membantah. Menurut saja.

Dan ketika perempuan berontak, bahkan pihak berwenang pun--yang menjadi harapan Marlina sebagai pihak yang berkuasa--tak bisa berbuat apa pun kecuali menerima laporan. Tidak ada simpati terhadap korban pemerkosaan, tidak ada kepedulian dalam bentuk apapun. Seakan perempuan layak menerima bencana itu. Seakan kasus itu lumrah adanya. Seakan semua muka berpaling dan tidak mau ikut campur. Tidak ada rasa tanggung jawab untuk memberi penghiburan atau sekedar meringankan beban. 'Tunggu saja sebulan lagi untuk visum'--yang mustahil bicara tentang apapun karena bukti akan terhapus.

Geram? Sangat. Tetapi begitulah potret ketidakadilan terhadap perempuan di negeri ini. Terutama di negeri ini. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Sebuah diskusi yang saya hadiri dalam rangkaian acara Pekan Proyeksi Jiwa beberapa minggu silam di Kampus Atma Jaya, yang menghadirkan DR. Livia Iskandar MSc., Psikolog dan Dra. Retno Dewanti Purba, MPSiT, Psikolog sebagai pembicara, memunculkan sebuah pertanyaan yang menjadi pe-er bagi kita semua: bagaimana caranya menciptakan lingkungan (Jakarta) yang aman dan nyaman bagi perempuan?

Rupanya sebegitu tidak amannya (Jakarta) untuk perempuan, ya--khususnya bagi pejalan kaki dan yang tinggal di pemukiman kumuh. Tentunya ini adalah sesuatu yang harus kita perhatikan dan perbaiki. Bagaimana? Inilah pe-er kita. Saya sangat suka ide pendidikan seks tanpa harus terbelenggu tabu di sekolah dasar. Juga, mendidik anak lelaki untuk menghormati perempuan, sebagai sosok yang akan menjadi ibu. Cek video consent classes di Kenya ini yang menurut saya wajib diaplikasikan di seluruh pelosok Indonesia:

Ada satu hal yang cukup menghibur saya dalam film Marlina ini. Bahwa sehebat apapun para perempuan ini digempur dengan rasa sakit--pukulan dari suami, sakit pra-melahirkan, atau saat diperkosa--perempuan selalu punya kekuatan untuk segera bangkit dan saling membantu, melindungi sesamanya. Sesakit apapun perempuan, kami selalu punya kekuatan untuk pulih. Dan hal ini, menguatkan saya.

Bravo untuk seluruh tim film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak, tetapi salut saya terlebih untuk para perempuan yang telah dan sedang menderita. Yakinlah, saudariku, tidak ada sakit yang tetap di dunia. Kepedihan akan berlalu, dan kesenangan akan menjelang. Asalkan kita punya kekuatan untuk bertahan hari ini, dan melangkahkan setapak kecil perlahan, kita akan sampai di ujung jalan. Dan di ujung sana, kawan, ada hidup baru yang menanti. Bertahanlah, para perempuan, dan berjuanglah terus. Kamu tidak sendirian!

(Artikel asli diterbitkan tanggal 1 Desember 2017 di sini.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun