Mohon tunggu...
Victor Hasiholan
Victor Hasiholan Mohon Tunggu... lainnya -

Introvert. Detil. Kadang dianggap perfeksionis. Suka mengamati orang, tapi gak suka dekat sama orang. Sering menganggap dirinya sebagai duta merek McDonald's. Ya, gitu aja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Provocative ProACTive Semalam

25 November 2011   01:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:14 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_144428" align="alignnone" width="300" caption="Provocative ProACTive"][/caption] Apa yang menyebabkan Soe Hok Gie marah dan kecewa kepada rekan-rekan seperjuangannya? Karena rekan-rekan Gie, setelah lulus kuliah dan tidak lagi menyandang status mahasiswa, memilih untuk masuk ke lingkaran kekuasaan yang dulu bersama-sama ditentang oleh mereka. Kira-kira itulah salah satu pertanyaan dan jawaban yang terlontar saat acara Provocative ProACTive beberapa jam yang lalu. Jika ada yang menyimak episode tadi, yang ditayangkan khusus dalam rangka HUT MetroTV, kira-kira begitulah gambaran umum regenerasi para lakon di panggung politik dari jaman kompeni, di masa kini dan (mungkin) di masa nanti. Bagi yang tidak menontonnya, saya akan tuliskan alur acaranya secara garis besarnya, yang namanya mirip sebuah acara di stasiun TV lainnya: "Are You Smarter Than Politicians?"

Pertama, beberapa kelompok mahasiswa "diadu" untuk mencari wakilnya yang nanti berhak maju di putaran selanjutnya. Kelompok-kelompok mahasiswa ini dibedakan oleh warna pakaian yang mereka kenakan. Ada kelompok biru, merah, hijau, kuning dan putih. Lalu setelah terpilih dua wakilnya untuk maju ke babak selanjutnya (dua orang ter"pintar" di dalam kelompoknya), wakil-wakil kelompok tadi ber"kompetisi" lagi untuk mendapatkan empat peserta (wakil dari dua kelompok). Di babak ini, tiap-tiap kelompok mahasiswa berteriak memberikan dukungan pada wakil-wakilnya yang lolos ke putaran selanjutnya. Ketiga, setelah terpilih empat mahasiswa dari dua kelompok yang berbeda, mereka "berebut" menjawab pertanyaan agar mendapatkan poin untuk maju ke babak selanjutnya. Babak final. Yang menentukan siapa yang berhak mendapatkan uang tunai senilai lima juta rupiah. Dan di babak final, dua orang mahasiswa disuruh untuk saling "berdebat" mengenai sebuah mosi: "Apakah koruptor pantas dihukum mati?" Mereka berdua "dipaksa" untuk menjadi orang yang pro dan kontra terhadap mosi tadi. Hingga akhirnya terpilihlah (oleh tim juri) satu orang mahasiswa yang memenangkan kuis ini dan berhak mendapatkan uang lima juta rupiah.

Selesai acara, teman saya tertawa: "Ya begitulah tokoh politik meregenerasi dunianya." Pertama, beberapa orang cerdas cendekia dikumpulkan. Hingga tanpa disadari, mereka terkelompok karena cara pandang dan visi yang berbeda-beda terhadap negeri ini. Lalu terbentuklah banyak partai politik sebagai misi orang-orang yang sudah terkelompok tadi. Dan masing-masing partai politik memilih "orang-orang pintar"nya untuk maju ke babak selanjutnya. Babak pemilihan presiden. Mereka tidak lagi bersatu sebagai kumpulan orang cerdas cendekia bangsa ini. Mereka hanya berharap, jika wakil kelompok kami menang, pasti saya juga kebagian "hadiah"nya. Hingga terpilihlah dua pasang calon yang harus berkompetisi lagi untuk sepasang kursi. Dan pastilah harus ada orang nomor dua dalam sebuah tahta yang direbut bersama-sama. Itulah presiden dan wakil presiden. Lalu sebagai bentuk rasa terima kasih kepada kelompok pendukungnya, wajar saja kan jika "sang pemenang" membagi-bagi kebahagiannya? Hingga kelompok lain yang tadinya berjuang masing-masing, merasa senasib sepenanggungan karena kalah dalam kompetisi. Inilah sebabnya ada oposisi. Tapi juga ada kelompok yang melacurkan diri hingga memilih menjadi koalisi. Dengan harapan, mereka juga dapat merasakan nikmatnya cucuran kekuasaan. Itulah politik. Untuk menjadi pemimpin bangsa, mau tidak mau harus masuk salah satu kelompok agar bisa meloloskan jalannya. Hingga seorang paling idealis sekalipun, pasti goyah idealismenya karena desakan orang-orang di dalam kelompoknya. Sehingga jika kelompoknya melanggar hukum yang ada, pasti selalu dibela walaupun tidak kentara. Mungkin demi masa lalu. Demi apa yang sudah diraihnya, tidak raib begitu saja. Karena bisa saja "orang nomor dua" memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengambil alih kekuasaannya. Atau bisa jadi, seorang idealis yang sudah memakan uang haram hasil korupsi, menjadi lupa diri. Lupa ketika masih menjadi mahasiswa, berteriak paling lantang di antara rekan-rekannya. Berteriak agar presiden turun tahta karena dianggap tidak berhasil menyelenggarakan negara. Sekarang, sang idealis hanya bisa menatap televisi di kamar tidurnya yang mewah, sambil melihat tayangan berita yang memertontonkan mahasiswa-mahasiswa yang marah. Sambil mematikan TV ia berkata pada batinnya, "Kalau kalian sudah merasakan enaknya kekuasaan, pasti kalian juga akan tahu apa sebabnya negara ini akan selalu menjadi negara berkembang. (Karena hanya orang suci atau manusia yang sangat berbakat jadi nabi, yang bisa membuat bangsa ini menjadi lebih baik lagi. Tetapi orang jenis ini lebih suka memilih jalan yang senyap dan tidak gemerlap.)" *) Tulisan sebelumnya: Mahasiswa: Mau Ke Mana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun