[caption id="attachment_78700" align="alignnone" width="652" caption="Snapshot Ngerumpi dot com"] [/caption]
Sebelum melanjutkan membaca tulisan berikut, ada baiknya membaca tulisan ini terlebih dahulu.
********/*******
Ngerumpi dot com, adalah adalah situs seputar wanita, sebuah wadah diskusi yang berisi segala hal yang berhubungan dengan dunia perempuan, dunia sejuta warna yang begitu dekat dengan kita. Didesain dengan konsep web 2.0, di sini kita bisa berdiskusi dan berbagi tentang banyak hal: dunia kerja, lifestyle, kehidupan keluarga, relationship, kesehatan, kehidupan sebagai lajang, sexual life, apa pun bisa kita kupas dan diskusikan di sini, tentu saja dalam koridor perempuan dan dari sudut pandang perempuan, meski tidak tertutup kemungkinan dan kesempatan bagi para pembaca laki-laki untuk ikut berpartisipasi dan menyumbangkan suara, saran dan opini mereka.
Visi dan misi ngerumpi dot com adalah ingin agar semua usernya terbiasa mengemukakan pendapat, berani beropini, berani berdiskusi, dan mempertahankan opini kita secara terbuka dan bertanggungjawab. Lebih jauh lagi, sudah waktunya kita semua berpikiran terbuka dan terbiasa menghadapi perbedaan. Gitu deh kira-kira.
********/*******
Ngerumpi dan UGC
Itu sedikit gambaran tentang forum yang bernama Ngerumpi dot com.
Saya sendiri adalah mantan “warga” di forum: Ngerumpi dot com. Karena saya tidak suka dengan sistem moderasi di forum tersebut, akhirnya saya memutuskan keluar. Lagipula tidak baik berada di sebuah rumah yang terlalu menawarkan kenyamanan. Bisa lupa diri dan keenakan. Itu yang saya rasakan.
Secara garis besar, saya sangat mengapresiasi forum tersebut. Buat saya, itulah kawah candradimuka kalau ingin menjadi penulis di Indonesia. Saya juga sangat berterima kasih pada orang-orang di “forum penulis” itu, jika bisa dikatakan demikian, karena forum itu bisa membuat saya lebih percaya diri dalam menulis dan mengajarkan banyak hal tentang kehidupan.
Tetapi pagi ini saya teringat kembali forum Ngerumpi dot com, forum yang telah saya tinggalkan selama kurang lebih lima (5) bulan, karena ada (lagi) seseorang yang menanyakan hal yang berulang kali ditanyakan kepada saya: “Anda mantan penulis di ngerumpi dot com ya?”
Merasa jengah ditanya demikian? Iya. Merasa bosan ditanya demikian? Iya juga. Tapi gimana ya? Beberapa blogger di Indonesia, khususnya yang ada di Jogja, mengenal saya awalnya ya dari forum tersebut.
Lalu pembicaraan setelah pertanyaan tadi berlanjut. Ternyata dia juga mengalami hal yang sama dengan saya. Keluar dari forum itu karena sebab yang sama dengan saya dan karena orang-orang yang sama. Heran? Iya. Nyatanya, moderator disana tidak belajar dari kesalahannya. Kalau dia sadar itu sebuah kesalahan.
Saya sekarang juga menulis di Politikana. “Saudara tua” dari Ngerumpi dot com yang sama-sama berbasis web 2.0, yang (katanya) sama-sama menganut user generated content (UGC). Tetapi perbedaan yang terlihat jelas di Politikana dan Ngerumpi dot com adalah perihal keaktifan seorang moderator.
Saya kemudian mencoba memahami. Mungkin tujuannya Politikana dan Ngerumpi dot com, dua forum yang menganut sistem UGC, berbeda. Menurut saya, Ngerumpi dot com tidak membebaskan penulis yang ada disana untuk menulis sesuai dengan apa yang ingin dituliskannya, sesuai dengan topik yang awalnya sudah ditetapkan. Parahnya lagi, moderator yang seharusnya tidak ikut campur tentang apa yang sedang terjadi diantara user/warga/member Ngerumpi dot com, perihal apa yang dilakukannya di forum tersebut, malahan berpihak dan ikut “memanas-manasi”, bukannya netral menengahi.
Tapi bisa jadi itulah Ngerumpi dot com sebenarnya: forum wanita. Jadi sebagaimana sikap dan sifat wanita, yang merupakan sebagian besar penulisnya, begitulah suasana yang terjadi disana. Mereka yang menjadi warga/member/user mulai membentuk grup masing-masing (seperti arisan), membicarakan orang di belakang, menyindir jika tidak suka dengan seseorang, dan bisa pula akhirnya “bertengkar”. Mungkin begitulah adanya. Dan itu sah-sah saja. Tidak ada yang salah disana.
Karena katanya forum itu ibarat sebuah rumah yang memiliki tuan rumah. Rumah yang besar, yang memiliki banyak “anggota keluarga”. Jika suka dengan gaya memimpin tuan rumahnya ya ngikut, tidak suka ya cabut.
********/*******
Subjektivitas
Sekarang jaman reformasi. Tiap orang berhak mempunyai subjektivitasnya sendiri-sendiri. Jadi omong kosong jika penilaian terhadap sesuatu dikatakan murni berdasarkan objektivitas semata.
Misalnya saja jika saya membuat forum yang serupa dengan Ngerumpi dot com. Jika saya sudah tidak menyukai salah seorang warga/member/user di forum yang saya buat, bukankah sah-sah saja jika saya me”ban”nya, menendangnya keluar, dan tidak meluluskan semua tulisannya? Jika dia tidak terima, ya itu salahnya. Kenapa masih “nekat” bergabung di forum yang dia tahu dimoderasi oleh orang yang tidak suka dengannya?
Seperti halnya hak saya menolak sebuah draft buku yang diajukan ke sebuah penerbit, jika saya menjadi editor penerbit tersebut. Atau jika saya sebagai pemimpin redaksi sebuah koran, bukankah saya juga berhak tidak meloloskan sebuah berita? Yang mungkin saja dinilai penting bagi penulisnya.
Jadi bentuk sebuah forum publik, yang isinya berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang kepentingan dan pemikiran, semua kembali pada sistem moderasinya, yang 100% dipegang oleh moderatornya.
Tetapi jika dikatakan forum tersebut mempunyai sistem UGC, mengapa moderator ikut campur perihal isi sebuah tulisan yang terposting disitu? Bukankah user bisa memberi rating dan bebas untuk membaca atau menghiraukannya?
Forum Ngerumpi dot com masih abu-abu menurut saya. Masih belum jelas bagaimana sistem yang ingin diterapkan disana. Di satu sisi, si pembuat forum mengatakan bahwa Ngerumpi dot com ber”ideologi” UGC, tetapi di sisi lain sistem moderasi terlalu terlibat dengan apa yang sedang terjadi diantara warga/member/user-nya. Moderator seperti pemimpin redaksi dan editor sebuah penerbit, seperti contoh yang saya gambarkan tadi.
********/*******
Tentang Menulis
Baiklah. Jika dijawab menulis dengan hati. Bagaimana sih sebenarnya esensi menulis dengan hati?
Menulis, menurut saya, selalu melibatkan emosi. Emosi juga berasal dari hati. Emosi ini bisa positif atau negatif. Jika di Ngerumpi dot com tidak menerima emosi negatif, mengapa tidak dituliskan saja dari awal aturan mainnya? Lebih diperinci: tidak menerima tulisan yang mengandung hawa negatif dari seseorang. Bukankah menjadi lebih jelas? Jadi kalimat: “Web 2.0 adalah sebuah aplikasi web di mana para pengguna/user yang telah terdaftar/mendaftarkan diri memiliki kesempatan yang sama untuk menerbitkan tulisan, berbagi pengetahuan tentang dunia perempuan, melontarkan pendapat atau opini. Isi atau konten dari portal ini sepenuhnya berasal, dari dan untuk semua user. Bahasa teknisnya, web 2.0 seperti ini sering disebut sebagai situs yang berkonsep User Generated Content.” yang tertulis pada FAQ Ngerumpi dot com sebaiknya diganti saja.
Seseorang menulis juga karena dia ingin didengarkan. Mau panjang atau pendek kalimatnya, seharusnya itu bukan masalah. Mungkin alasan dia menulis di sebuah forum terbuka karena dia ingin diperhatikan banyak orang. Dia ingin tulisannya, yang merupakan isi hatinya, didengarkan banyak orang. Karena jika dia hanya menulis di blog pribadinya, tidak ada yang membacanya karena dia belum setenar penulis-penulis lainnya, seperti misalnya Dewi Lestari, Clara Ng, atau Sitta Karina yang blog pribadinya selalu dikunjungi orang-orang setiap harinya. Jadi jika di sebuah forum yang (katanya) terbuka untuk umum, tapi nyatanya tidak benar-benar memperbolehkan setiap tulisan masuk ke dalamnya, mengapa tidak diubah saja menjadi forum tertutup/private? Untuk orang-orang tertentu yang dikenal moderator dan pembuat forum tersebut. Karena toh nyatanya, warga/member/user atau apalah sebutannya, yang baru saja bergabung ke dalamnya, tidak bisa bebas menuliskan sesuatu yang ada di pikirannya.
Di Ngerumpi dot com juga ada sebuah grup yang tak terlihat, terikat oleh hubungan seperti kerabat, yang di dunia nyata sudah kenal akrab, dan di dunia maya mereka bersatu padu untuk berbicara hal yang sama. Itu sangat jelas terlihat oleh saya: kekompakan beberapa warga/member/user yang sudah terlebih dahulu ada di dalamnya. Oleh karenanya, jika ada orang yang nekat masuk dan memberikan kritikan pada sistem yang sudah ada, pada kekerabatan yang sudah terjalin di dalam Ngerumpi dot com, dan pada aturan tak tertulis lainnya, pasti akan dipermasalahkan oleh mereka.
Menulis juga bisa dimana saja. Kalau memang tujuannya untuk didengarkan, memang lain ceritanya. Tetapi jika menulis untuk aktualisasi diri, menurut saya, tidak harus di forum seperti Ngerumpi dot com. Menulis di sebuah forum seperti Ngerumpi dot com, nyatanya pernah membuai saya karena penilaian subjektif orang-orang yang ada disana.
Saya pernah membuat percobaan. Saya posting ulang tulisan saya ketika pamor saya masih bernilai kecil karena baru saja bergabung di forum Ngerumpi dot com. Walhasil, rating yang diberikan warga disana sangat berbeda ketika pamor saya sudah bernilai ratusan. Jika sebelumnya, untuk tulisan yang sama, ratingnya hanya ‘+3’, di kemudian hari rating itu berubah menjadi ‘+10’. Entah karena faktor moody pembacanya, ataukah memang benar karena subjektivitas warga/member/user yang ada disana.
Hal itu, disadari atau tidak, bisa berakibat fatal bagi seorang penulis pemula. Seorang penulis yang menilai “lebih” akan karyanya (tulisannya), bisa saja berhenti berkreasi dan mengembangkan dirinya, karena rasa puas dengan apa yang didapatnya. Padahal “seorang penulis hebat tidak pernah menganggap tulisannya baik dan bagus untuk dibaca.” [Djenar Maesa Ayu]
Dan di Ngerumpi.com saya pernah merasa puas dengan diri saya, dengan karya saya, dengan rating yang diberikan warga yang ada disana. Padahal dunia ini luas, tidak sebatas di forum komunitas. Penilaian bisa didapatkan darimana saja. Malahan penilaian dari orang-orang yang belum pernah dikenal atau mengenal siapa kita, biasanya lebih membangun diri kita. Tapi saya juga tidak menyalahkan mereka yang merating karya (tulisan) saya, toh itulah pengaruh sebuah subjektivitas para warga yang ada disana.
Menulis, menurut perspektif saya, juga sebuah bentuk lain dari sikap narsisme. Tulisan mengandung sifat narsis, jika menceritakan tentang dirinya sendiri dan pengalaman yang dialami. Bahasa umumnya: berbagi. Tapi omong kosong juga jika seseorang menganggap dirinya tidak narsis tetapi tetap menulis tentang kejadian yang dialaminya, dan ingin orang lain membacanya, lalu mengharapkan sebuah reaksi dalam bentuk perhatian pada isi hatinya (tulisannya). Meskipun kalau berlebihan, tulisan itu juga tidak enak untuk “didengarkan”.
********/*******
Forum dengan User Generated Content (UGC)
Interaksi dalam sebuah forum publik sebaiknya jangan dibatasi, dalam artian, jika benar-benar menganut ideologi UGC, biarlah member/warga/user yang menentukan sebuah tulisan layak atau tidak ditampilkan.
Sehingga dalam perjalanan sebuah forum publik berideologi UGC, pengelola/moderator bersama warga/member/user bisa sama-sama belajar. Berdasarkan kedewasaan bersama. Bukan berdasarkan penilaian seorang individu yang ‘berpengaruh’ di dalamnya, misalnya si moderatornya.
Seperti kata moderator forum Politikana, ketika pertama kalinya saya mempertanyakan hal yang sama disana: “gunakan instrumen yang sudah tersedia, rating hitam misalnya. Kemudian berjalannya waktu akan semakin tahu mena posting yang memberi manfaat, mana yang tak perlu di komentari. Selanjutnya akan tahu juga mana posting yang tak perlu dibaca.” [Yusro].
Pandangan yang terlalu subjektif juga bisa menimbulkan sesat pikir. Menyukai pendapat/perkataan seseorang boleh-boleh saja, asal tidak terhanyut di dalamnya. Hal itu nantinya bisa menimbulkan sebuah fanatisme sempit yang pada akhirnya merusak subjektivitas dalam berpikir.
Bukankah tidak ada yang 100% benar atau 100% salah? Kita hidup di dunia yang segalanya tidak hitam dan putih. Kita hidup di dunia yang serba abu-abu. Sama seperti nilai kebenaran itu: kebenaran menurutku, kebenaran menurutmu, dan kebenaran itu sendiri.
Jadi berpikirlah se-kritis mungkin. Bersikaplah si-independen mungkin.
Saya tidak pernah meminta orang untuk mempercayai bulat-bulat apa yang saya tuliskan/katakan. Jadi, buktikan sendiri dan renungkan sendiri. Kemudian nilailah sendiri menurut subjektivitas dan kedewasaan masing-masing.
Itulah penilaian saya terhadap sebuah forum yang bernama Ngerumpi dot com, sesuai dengan apa yang saya rasakan dan alami selama menjadi warga disana. Selanjutnya terserah Anda bagaimana menyikapi ini semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H