Mohon tunggu...
Victor Tandiasa
Victor Tandiasa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Constitutional Lawyer -ll- \r\nKetua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi -ll- Twitter : @VST_Recht -ll- Blog FKHK : http://forumkajianhukumdankonstitusi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mahkamah Konstitusi Lampaui Kewenangannya Dalam Memutus Perkara 97/PUU-XI/2013 Tentang Pencabutan Kewenangan MK Tangani Pilkada

30 Juni 2014   06:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:13 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I. PENDAHULUAN

Perdebatan mengenai konstitusionalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menangani sengketa Pilkada akhirnya terjawab, berdasarkan Putusan nomor 97/PUU-XI/2013 yang menguji norma yang terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu Pasal 236C yang berbunyi :

“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”

dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 29 ayat (1) huruf e yang berbunyi :

“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”

dalam putusan tersebut MK memutus mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa Pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki Kekuataan Hukum Mengikat. Namun dalam point kedua amar putusan mengatakan bahwa MK berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada Undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut.

Jika kita melihat amar putusan nomor 97/PUU-XI/2013 pada point kedua, MK memberikan kembali kewenangan kepada dirinya sendiri untuk dapat menangani sengketa pilkada setelah menyatakan dalam point pertamanya bahwa norma pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan pemberian kewenangan terhadap MK dalam menangani sengketa Pilkada, telah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi.

Terlihat keganjilan dari putusan tersebut. Disatu sisi lain MK telah menyatakan bahwa pasal-pasal yang melimpahkan kewenangan dari MA kepada MK untuk menangani sengketa pilkada adalah bertentangan dengan Konstitusi dan mencabut kekuatan hukumnya sehingga pasal-pasal tersebut sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sementara disisi lain MK kemudian memberikan kewenangan terhadap dirinya sendiri untuk dapat kembali menangani sengketa pilkada selama belum ada undang-undang yang mengaturnya.

Apakah MK memiliki kewenangan untuk memberikan kewenangan terhadap dirinya sendiri seperti yang terjadi dalam putusan nomor 97/PUU-XI/2013 pada amar putusan point kedua?

II.MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN BATASAN TERHADAP ASAS “RES JUDICATA PRO VERITATE HABETRUR”.

Aturan tentang Kekuasaan Kehakiman dalam konstitusi Republik Indonesia terdapat pada Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan menegakan hukum dan keadilan”. Sementara ayat (2) mengatur ruang lingkup kekuasaan kehakiman termasuk di dalamnya lembaga MK, bunyi ayat (2) menyatakan bahwa, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Berdasarkan ketentuan kekuasaan kehakiman dalam UUD NRI Tahun 1945 kemudian lebih diatur secara rigid dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengaturan tentang MK dalam UU Kekuasaan Kehakiman terdapat dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa :

“Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

kemudian pada Pasal 18 kembali ditegaskan bahwa :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnyadalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Selanjutnya Pasal 19 menyatakan bahwa :

“Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”

artinya berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman. MK termasuk dalam bagian kekuasaan kehakiman.

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka kita mengenal adanya asas yang bersifat universal yaitu asas Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya putusan hakim harus dianggap benar. Persoalannya adalah, apakah kebebasan hakim dalam membuat putusan berdasarkan asas ini adalah kebebasan tanpa adanya acuan sehingga dapat memenuhi keadilan substantif?

Menurut Yahya Harahap makna kebebasan hakim jangan diartikan kebebasan yang tanpa batas, dengan menonjolkan sikap sombong akan kekuasaannya (arrogance of power) dengan memperalat kebebasan tersebut untuk menghalalkan segala cara. Namun kebebasan tersebut harus mengacu pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar, menafsirkan hukum dengan tepat melalui pendekatan yang dibenarkan, dan kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum ( recht vinding).

Sementara Bagir Manan mengatakan bahwa :

Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu : (1) kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum, (2) kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang dibuat, (3) kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak obyektif, jujur, dan tidak memihak, (4) pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri, (5) kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman, dan (6) semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut undang-undang.

Sementara sejalan dengan pendapat diatas, John L. Murray menyatakan semua hakim harus independen dalam menjalankan fungsi peradilan mereka dan tunduk pada konstitusi dan hukum yang berlaku.

Artinya kebebasan dan kemerdekaan hakim dalam membuat putusan berdasarkan asasRes Judicata Pro Veritate Habetur” tetap harus mengacu pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar. Sehingga jelas MK tidak bisa membuat putusan dengan melanggar undang-undangnya sendiri dan melanggar asas serta kaidah hukum yang ada.

III. MAHKAMAH KONSTITUSI TELAH MELAMPAUI KEWENANGANNYA

Jika kita melihat Putusan 97/PUU-XI/2013, dalam amar putusan khususnya point kedua seperti yang telah dijelaskan diatas jelas telah menimbulkan persoalan dan memperlihatkan inkonsistensi MK dalam memutus perkara tersebut.

Untuk dapat mengetahui apakah MK telah melampaui kewenangannya dalam membuat putusan, kita dapat melihat dalam Pasal 50 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa :

(1)Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Sementara Konstitusi RI telah mengatur kewenangan MK secara limitative, pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa :

“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”

Mengacu pada konstitusi, secara tegas memberikan kewenangan kepada MK secara limitatif, sehingga MK dalam menjalankan kewenangannya tidak dapat menambahkan maupun mengurangi kewenangannya, dimana MK hanya diberikan kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, yang kemudian diturunkan pada Pasal 10 ayat (1) UU MK dalam bagian penjelasannya menyatakan bahwa :

“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini mencangkup pula kekuatan hukum mengikat”

Sifat final dan mengikat pada putusan MK kembali ditegaskan pada pasal 47 UU MK, menyatakan bahwa :

“Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”

Melihat dasar hukum yang menjadi acuan terhadap sifat putusan 97/PUU-XI/2013 diatas, dinyatakan putusan MK adalah final dan mengikat dan merupakan badan peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, artinya ketika MK membacakan pengucapan putusan, saat itu juga memperoleh kekuatan hukum mengikat, dan saat itu juga norma dalam pasal yang diujikan tidak berlaku lagi karena kekuatan hukumnya sudah dicabut oleh MK karena sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, yang semenjak diucapkan putusan tersebut tidak ada lagi upaya yang dapat ditempuh.

Putusan MK nomor. 97/PUU-XI/2013 khususnya pada amar putusan point kedua, MK dapat dikatakan telah melampaui kewenangannya, bahkan MK telah mengambil kewenangan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) karena setelah menyatakan bahwa norma pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan pemberian kewenangan terhadap MK dalam menangani sengketa Pilkada, telah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi, tapi kemudian MK menyatakan masih tetap berwenang menangani sengketa pilkada selama belum ada undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut.

Mengacu pada putusan nomor 1-2/PUU-XII/2014 dalam menafsirkan ketentuan norma, mahkamah menyatakan sebagai berikut :

“Selain itu, dalam menjaga sistem ketatanegaraan yang menyangkut hubungan antar lembaga Negara yang diatur oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, Mahkamah harus menggunakan pendekatan yang rigid sejauh UUD 1945 telah mengatur secara jelas kewenangan atributif masing-masing lembaga tersebut. Dalam hal Mahkamah terpakasa harus melakukan penafsiran atas ketentuan yang mengatur sebuah lembaga Negara maka Mahkamah harus menerapkan penafsiran original intent, tekstual, dan gramatikal yang komprehensif yang tidak boleh menyimpang dari apa yang telah secara jelas tersurat dalam UUD 1945 termasuk juga ketentuan tentang kewenangan lembaga Negara yang ditetapkan oleh UUD 1945. Apabila mahkamah tidak membatasi dirinya dengan penafsiran secara rigid tetapi melakukan menafsiran secara sangat bebas terhadap ketentuan yang mengatur lembaga Negara dalam UUD 1945, sama artinya Mahkamah telah membiarkan pembentuk Undang-Undang untuk mengambil peran pembentuk UUD 1945 dan akan menjadi sangat rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan manakala Presiden didukung oleh kekuatan mayoritas DPR atau bahkan Mahkamah sendiri yang mengambil alih fungsi pembentuk UUD 1945 untuk mengubah UUD 1945 melalui putusan-putusannya”

Kehati-hatian MK dalam menafsirkan ketentuan norma yang menyangkut tentang hubungan antar lembaga Negara yang diatur dalam konstitusi adalah untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maupun pengambilalihan fungsi serta kewenangan antar lembaga Negara dalam hal ini adalah MK. seharusnya prinsip itu juga diterapkan MK dalam membuat amar putusannya.

Sementara melihat pertimbangan MK dalam putusan nomor 97/PUU-XI/2013 pada halaman 61 alinea kedua (3.13) mahkamah hanya menyatakan “Menimbang bahwa meskipun dalam putusan a quo, Mahkamah tidak berwenang mengadili dan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, namun tidaklah berarti bahwa segala putusan Mahkamah mengenai perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sejak tahun 2008 yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diatur dalam UU 12/2008 serta UU 48/2009, menjadi batal dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Berdasarkan Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”, sehingga semua putusan Mahkmah mengenai sengketa pemilihan umum kepala daerah adalah tetap sah.”. Tidak ada pertimbangan tentang segala putusan yang dikeluarkan pasca diucapkannya putusan 97/PUU-XI/2013, dan pertimbangan apapun yang dapat menguatkan dan/atau menjadi dasar mahkamah dalam membuat ketentuan norma dalam point kedua amar putusan tersebut.

Jika pertimbangannya adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan norma pengaturan penyelesaian sengketa pilkada pasca dinyatakannya pasal 236C UU Pemda, dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sebenarnya ketentuan yang kembali memberikan kewenangan menangani sengketa pilkada tetap menangani sengketa pilkada selama belum ada UU yang mengaturnya adalah kesalahan fatal, karena itu dipandang sebagai suatu ketentuan yang melampaui kewenangannya dan/atau telah mengambil fungsi lembaga pembuat UU.

Persoalannya adalah UU No. 12 Tahun 2008 sebagai perubahan kedua atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemda tidak merubah ataupun mencabut pasal 106 yang ada pada UU No. 32 tahun 2004 tersebut, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Agung dalam menangani penyelesaian sengketa pilkada. Sehingga jika mengacu pada asas “Lex posterior derogat legi priori” terhadap pasal 106 tidak tepat diterapkan karena pasal tersebut tidak dirubah maupun tidak dinyatakan tidak berlaku lagi dalam UU perubahannya, sehingga ketentuan tersebut masih berlaku. Namun dalam UU No. 12 tahun 2008 terdapat ketentuan pasal 239A yang menyatakan bahwa :

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.”

Adanya ketentuan Pasal 236A inilah yang membuat ketentuan Pasal 106 yang terdapat pada UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku karena dianggap bertentangan dengan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008.

Kemudian, setelah MK mengucapkan putusannya, menyatakan bahwa Pasal 236C bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, menyebabkan norma dalam ketentuan pasal 236C sudah tidak berlalu, sehingga seharusnya secara otomatis norma dalam ketentuan Pasal 106 hidup dan berlaku kembali karena norma yang memberikan peralihan kewenangan dari MA ke MK sudah dicabut kekuatan hukumnya oleh MK.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 59 UU MK menyatakan bahwa :

“Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Mahkamah Agung.”

Berdasarkan pasal 59 diatas, setelah mahkamah mengucapkan putusan, selanjutnya putusan mengenai pengujian UU disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden dan MA dengan maksud, jika berdasarkan putusan MK tersebut terdapat implikasi yangmengakibatkan terjadinya kekosongan norma (recht vacuum), sementara penyelenggaraan pilkada terus berjalan sehingga berpotensi menimbulkan kegentingan yang memaksa dalam proses penyelesaian sengketa pilkada yang timbul, maka solusinya adalah Presiden dapat segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Karena MK sama sekali tidak berwenang untuk memberikan kewenangan termasuk kepada dirinya sendiri saat dirinya telah menyatakan bahwa norma yang berisikan tentang pelimpahan kewenangan menangani penyelesaian sengketapilkada dari MA kepada MK telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, yang berdampak pada lepasnya kewenangan MK menangani Penyelesaian Sengketa Pilkada. Karena jika pemerintah tidak dengan segera mengeluarkan Perppu untuk menentukan lembaga mana yang secara konstitusional berwenang menangani penyelesaian sengketa Pilkada, hal ini akan menjadi polemik besar dan telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta kebingungan bagi para calon kepala daerah yang sedang bersengketa, serta berpotensi memicu Konflik Horizontal pada tingkat daerah jika MK tetap menangani penyelesaian sengketa pilkada.

http://www.kantorhukum-lhs.com/artikel-hukum/n?id=Kebebasan-Hakim-VS-Pencari-Keadilan

Ramdan, 2012, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hal. 75.

Ibid, hal. 43

Bunyi dari pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sama dengan bunyi dari isi pasal yang terdapat pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Putusan nomor 1-2/PUU-XII/2014, tanggal 13 Februari 2014, Paragraf [3.20] alinea kedua

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun