Namun, kegagalan dia dalam merombak penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sudah berakar dalam pemerintahannya mencoreng keharumannya.
Walaupun secara individu presiden kedua Indonesia itu tidak terlihat kediktatorannya, cap sebagai diktator akan lekat dengannya karena buruknya keterbukaan dan penyelewengan para bawahannya, menyebabkan perintah dan aturan yang ada menjadi absolut dan menjadi kepentingan tersendiri bagi mereka. Selain gerakan anti-komunis yang sudah tercipta pada awal pemerintahannya, lahirlah paham anti-Soeharto yang melengserkan dirinya sendiri dari kursi kepresidenan.
Dengan nama kekuatan rakyat ataupun demokrasi, hal yang jauh lebih buruk dari pemerintahan yang sebelumnya dapat terjadi. Kekuatan militer absolut yang berlandaskan anti-ideologi tertentu dapat terlahir dan membuat semua lebih buruk daripada pemerintahan yang sebelumnya. Akhir yang tidak ada hentinya dalam siklus pemerintahan yang sudah terlanjur tidak sehat.
Keputusan yang seolah mengekang kebebasan akan menjadi bumerang bagi pemerintah itu sendiri. Keputusan yang pemerintah buat sangatlah penting bagi kelanjutan dan kemajuan bangsa itu sendiri.
Julukan diktator sangatlah rentan dan pantas disematkan kepada suatu pemimpin jika pemerintahan yang dia jalani sudah tidak sehat dan terdapatnya anggapan bahwa pemimpin atau pemerintahannya lebih tinggi daripada pihak tertentu manapun.
Jangan sampai kepercayaan rakyat hilang hanya karena suatu tindakan yang tidak seharusnya dilakukan. Sebagai rakyat, sebelum kita mengkritik sesuatu, tentulah kita harus memastikan bahwa kita sudah memenuhi kewajiban kita sebagai rakyat terlebih dahulu. Jangan sampai kita menuntut hak, namun melupakan kewajiban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H