Masih segar diingatan, dulunya, ladang ini tak ada danau kecil dan gedung semewah itu. Hanya sebuah ladang yang dipadati pepohonan cengkeh. Dan diantara barisan padat cengkeh itu, saya ingat betul, berdiri sebuah gubuk tua kesepian, beserta seekor anjing setia yang tunak berjaga-jaga di pelataran gubuk, yang akan menyalak tak segan-segan setiap orang yang melalui ladang itu, serta ketika senja datang bersama halimun, ia akan meraung panjang, tajam dan sendu, seakan menangisi kesepian di sekitar gubuk dan ladang di saban malam. Kini segalanya berubah, duit menyulapnya menjadi sedemikian megah begini. Tak ada lagi barisan pepohonan cengkeh yang rapat, serta gubuk tua dan seekor anjing yang sendu, dulu.
Motor akhirnya sampai di depan gubuk, tepat dijantung kebun kami. Kabun ini masih sama, tak ada yang berubah, kecuali pohon-pohon cengkeh yang dulunya setinggi anak ayam, kini sudah melebihi tinggi atap gubuk tua kami. Deretan pepohonan kopi robusta tampak menghijau-pekat diatas lahan seluas 1 hektare. Daun-daunnya sambung menyambung, membentuk selubung, seakan tak memberi celah untuk binar matahari menyambar ke tanah. Gubuk tua kami yang masih sama itu, serasa berdiri sendirian diatas lautan hijau pekat pepohonan kopi.
Saya harus berjalan pelan melalui pepohonan kopi sebelum kesomplok di samping gubuk tua kami.
Dan tibalah diri didepan gubuk tua yang lama tak dijumpai ini; Ia masih sama, sekalipun mulai leler dimakan usia. Kayu-kayu yang membungkus rangkanya juga masih sama; hanya kian renta dimakan tua, kian ringkih melawan dingin yang dikirimkan hawa danau tondok. Saya masih berdiri di letak yang sama, disamping gubuk tua, mematung tanpa kata-kata; mengeluarkan sebatang rokok, membakar ujungnya, menyesap buntutnya dan membubungkannya penuh legah ke langit senin yang merdeka.
Dan kau gubuk tua, tentu kau sudah lupa seorang lelaki ceking dengan kepala cepak yang sedang duduk dipangkuanmu yang selalu hangat ini. Tentu ingatanmu sudah mengeras dibekukan dingin, tapi segala romansa kita masih terpahat jelas di dinding-dinding kayu yang menyelimuti rangka tua mu ini, itu masih bisa aku baca dengan sejernih-jernihnya ingatan.
Pandangan aku hempaskan, menyoroti segala yang tampak; ke padang ilalang, ke pepohonan kopi yang mulai terasingkan (dari sini aku mulai tahu, bahwa pohon-pohon kopi mulai digantikan dengan tanaman bulanan, hanya tertinggal di kebun kami dan beberapa batang di ladang si Koh), ke gunung-gunung yang mengepung lembah-lembah yang damai, ke pematang yang kekeringan di antara empang-empang yang menghidupkan ikan-ikan, ke ladang-ladang subur yang sedikit lagi dipanen.
Berada di gubuk tua ini, serasa berada di rumah ingatan, dimana guratan-guratan masa lampau serasa hidup, menari-nari didalam kepala, memuntahkan kembali segala yang dimakan lupa. Seketika ingatan melompat jauh ke belakang, menelisik tumpukan sejarah yang mengendap ke sisi paling dasar ingatan, terlalu lama dilupakan; masa-masa kecil yang bahagia, berlari-larian tanpa alas kaki dibawah ketiak pepohonan kopi, menyambar rumput-rumput liar tak berdosa, menyanyi merdeka diatas puncak, mandi kedinginan didalam sungai, hingga menjumpai lelah dan merebah badan tanpa perintah dipangkuan si gubuk tua, hingga kemudian digitong Ibu pulang ke rumah ketika senja mengajak pulang. Ah, masa-masa kecil yang merdeka, betapa paripurna masa silam kita.
Tentu, setiap kita, dimanapun tanah yang kita pernah singgahi dan berdiri; selalu memiliki cerita yang ia simpan dan tak ia kurangi sedikitpun. Begitulah cara ruang dan waktu merawat cerita-ceritanya, yang kadang dilupakan manusia.
*