Mohon tunggu...
sastrabiru
sastrabiru Mohon Tunggu... GURU -

Pak Guru. kurang piknik, kelebihan ngopi.~

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Cerpen] Kebun Kopi dan Gubuk Ingatan

29 Agustus 2016   18:07 Diperbarui: 1 April 2017   09:10 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Motor berjalan pelan menuju kebun kopi di Molengku, melahap jalanan hitam yang menyisahkan jejak-jejak segar manusia dan kesibukannya. Saya menyetir motor sendirian, dan Bapak di motor tua kami, bersama Ibu --yang juga tak ke Sekolah-- dan keponakan saya, Alika. Ibu memang mulai kehilangan semangat ke Sekolah sejak ia di Mutasi ke salah satu SD di sebuah desa tempat berdirinya P.T JRBM, juga tunjangannya yang sudah sampai 2 (dua) candra belum pernah menyentuh tangannya, ditambah usianya yang sudah berkepala lima.

Tapi lebih dari itu, yang saya tahu, Ibu saya adalah seorang perempuan yang mencintai kebun kami dengan sepenuh hatinya. Maka jika ia berani menggadai waktu ke sekolah dan menukarnya dengan memilih ke kebun, itulah bagian dari resiko ia mencintai kebunnya.

Pernah ia berturur kepada saya, bahwa saat ke Kebun, ia selalu merasa sedang kembali ke masa-masa kecilnya, masa-masa ia hidup dan tumbuh besar bersama kakek & nenek saya, yang hidup dalam papah di bawah atap gubuk mereka yang selalu hangat. Sekalipun katanya, setiap hari perut mereka se-kakak-beradik hanya diasupi Pisang, Ubi, dan sayur-sayuran yang tumbuh liar di ladang untuk mengganjal lapar di saban siang dan malam. Kata Ibu juga, cara ia menghargai belas-kasihan dan pengorbanan kedua orang-tuanya adalah dengan selalu merawat kebun ini, dan ia bersumpah pada dirinya, sampai kapanpun tak akan pernah menjualnya ke tangan orang-orang Cina yang setia mengiming-iminginya dengan ratusan juta. Pernah juga ia bertutur, "nanti, kalo Mama so ndak ada, ini kobong ngana musti rawat, dengan jangan pernah jual pa Ko' atau sapapun." (Kelak, jika Ibu sudah tiada, kebun ini harus kau rawat, dan jangan pernah jual sama si Koh atau siapapun).

Duhhh, mata sudah berkaca-kaca. Kita lewati saja paragraf ini ya, teman-teman. Hihihi...

*

Tak sampai 10 (sepuluh) menit motor sudah tiba di Molengku, tak jauh dari danau Tondok. Untuk sampai ke jantung kebun kami, masih harus melalui jalanan kerikil yang membentang di sekitaran kebun milik seorang Tionghoa bernama Koh Aweng, kira-kira 200-an meter.

Sudah lama saya tak berkunjung ke kebun ini. Banyak yang berubah. Kali ini motor bisa berjalan terus sampai ke depan gubuk. Karena sudah dibangun jembatan beton yang melintang diatas sungai kecil yang membelah ladang milik Koh Aweng. Dulu, saat bocah, motor tak bisa sampai ke depan gubuk, melainkan harus ditanggalkan di depan pondok milik si Koh, kemudian berjalan melewati sungai serta barisan padang-ilalang sembari menenteng sendal sebelum sampai ke depan Gubuk.

Begitupun saat melewati Pondok dua susun milik Koh Aweng. Kali ini berubah total. Pondoknya kini lebih mirip villa, serta wajah orang yang menjaga pondoknya bukan lagi orang yang saya kenal dulu ketika bocah.

Dulu saat masih sering datang kesini, saya akrab sekali dengan penjaga kebun si Koh. Namanya Om Ape'. Ia berasal dari desa Otam. Ia seorang yang selalu berbaik hati kepada kami sekeluarga. Kadang saat pulang dari kebun dan mampir di pondoknya, ia selalu merepotkan diri untuk menyuguhkan kopi, dan kadang bila ada pisang atau ubi yang ia petik dari ladang, ia akan menggorengnya kemudian menghidangkannya disamping kopi. Kadang pula jika kami membawakanya kue atau rokok, ia tanpa hitung-hitungan akan menukarnya dengan beberapa ekor ikan nila yang ia tangkap diam-diam tanpa sepengetahuan dari Majikannya, dari empang yang berjejer disekitaran pondok.

Motor terus berjalan pelan melalui jalanan kerikil tepat disamping sungai kecil yang masih bening dan dingin. Kini mulai memasuki ladang milik si Koh, tinggal 100-an meter untuk sampai ke gubuk kami. Banyak yang berubah. Kali ini ladang milik si Koh sudah ditanami kopi Arabika, disekitarnya adalah barisan rapi tanaman bulanan; bawang dan rica. Beberapa orang pekerja sedang membersihkan rumput dengan tangan mereka yang kotor.

Sementara diseberang ladang Koh, tepat di depan kebun kami, tampak berdiri gedung beton, mewah, bercat putih, atapnya berwarna merah tua, serta cerobong asap berwarna coklat menjulang sendirian diujung atapnya. Sekilas gedung ini mirip bangunan ala-ala Skandinavia. Dan tentu, ini tempat santai Cina-cina berduit ditiap akhir pekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun