Ronaldo & Lloris berdiri kaku sebagai Panglima tim didepan sang pengadil, Mark Cluttenburg (sekilas mirip nama pendiri Facebook), yang diapit 2 asistennya. Menunggu lumpatan koin yang dilemparkan ke udara oleh Cluttenburg untuk kembali jatuh di telapak tangannya, memberikan pilihan kepada dua captain ini, bola atau tempat! Sesi remeh-temeh ini usai. Portugal mengambil sisi kiri dan Perancis di sisi kanan dari arah layar kaca penonton.
Paska tiga singa (The Three Lions) tumbang, sisa-sisa pertarungan di Paris dan sekitarnya jadi kurang menarik perhatian. Saya memang agak menyukai Inggris, selain komposisi pemainnya, juga pertimbangan terhadap Sir Thomas Stamford Raffles dan George Orwell. Pun begitu kala Euro mencapai final. Sebagai bagian dari orang-orang yang kemput selera dan kehabisan opsi kala jagoannya tumbang, saya cenderung bias ke Negeri berinduk Paris itu.
Alasan sejarah. Saya termasuk orang yang mengagumi beberapa tokoh Perancis termasuk sejarah Negerinya; runtuhnya Bastille; tegaknya slogan liberte, egalite, fraternite; Cogito Ergo Sum-nya Rene; Orang-orang semacam Sartre, Foucault, Voltaire; dan tentu buah tangan monumental Eugene Delacroix (Liberty Leading The People, 1830) seorang romantisisme yang melukis penaklukkan Bastille dengan gambar seorang perempuan yang telanjang dada sembari mengibarkan bendera tiga warna ditengah-tengah kecamuk perang. Alasan mahal dan tak main-main tentunya, bukan ikut-ikutan pasar taruhan, apalagi sebatas ajakan istri tersayang. Duhhhh...
Peluit dari mulut Mark Cluttenberg dibunyikan, perang dimulai, Allez France! Saya mendukung Perancis, sekaligus menegaskan beda selera dengan Bapak yang tergila-gila sama CR7 & Luis Nani. Juga Epen & Dandy yang baru ketahuan mendukung Portugis, alasan dendam, karena Der Panzer jagoan keduanya ditumbangkan Perancis dengan sadis!
Laga berlangsung sengit sejak Fracas (bola yang dipakai menggantikan "Beau Jeu" sejak 16 besar) digulirkan. Komposisi Perancis sedikit berubah kali ini. Amtiti mengisi posisi Rami yang baru saja merayakan lebaran. Sementara posisi Kante sebagai gelandang pengangkut air, digantikan oleh Sissoko yang malam itu tampil cemerlang sehingga orang-orang tak menyesali keputusan Deshcamps sebagai juru racik yang cerdik.
10 menit awal Perancis tampil dominan. Beberapa kali percobaan menggempur jantung pertahanan yang dikawal Fonte cs. terbilang cukup membahayakan. Trisula, Payet, Griezman & Giroud kelihatan berapi-api. Sementara Portugal tampak dibekap gugup yang berlebihan. Passing dan umpan-umpan panjang yang dikirimkan ke CR7 & Nani, beberapa kali kandas ditengah jalan. Jangankan melewati Amtiti & Koscielny, menembus tiga jangkar (Pogba, Matuidi & Sissoko) pun membuat Sanchez cs. cukup kewalahan.
Tangisan Cristiano
Pertarungan berjalan sebagaimana partai final biasanya. Alot, sengit, keras, dan tentu bertensi tinggi. Terbukti pada menit ke 16 buah dari tensi tinggi itu terjadi. Ronaldo yang sedang membelakangi Evra untuk mengamankan Fracas, tiba-tiba mendapat tabrakan keras dari sisi kiri oleh Dimitri Payet, dengan posisi kuda-kuda yang tak siap menghindari tackle horror gelandang West Ham itu. Dus, lutut bagian kanan depan Payet menghujam keras di lutut kiri bagian luar Ronaldo. Peraih Ballon d'Or empat kali itu pun tumbang terkapar diatas rumput hijau Stade De France. Meringis sembari memeluk erat persendian lutut kirinya yang dihantam tanpa ampun oleh Payet!
Cluttenberg menghampiri pria 31 tahun yang sedang terkapar itu. Pun begitu dengan para pemain kedua tim; Nani, Pepe, Gomez diikuti Matudi dan Payet datang mengerubunginya. Payet tampak memohon maaf atas perbuatan dosanya barusan. Laga dihentikan sementara. Penonton serentak senyap, gemuruh seisi stadion yang sebelumnya bak huru-hara perang dunia II (dua) semacam dibius ringisan Ronaldo diatas bentangan lapangan hijau. Ronaldo tak percaya, juga seluruh penggemar setianya, mengapa hantu cedera terlalu pagi menghampirinya di pesta semegah ini! Kaca-kaca yang tertahan di matanya pecah, menjadi bulir-bulir air mata putus asa.