Mohon tunggu...
sastrabiru
sastrabiru Mohon Tunggu... GURU -

Pak Guru. kurang piknik, kelebihan ngopi.~

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Masina

29 Juni 2016   01:00 Diperbarui: 29 Juni 2016   03:15 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PIc. By Vicky Mokoagow

Sejak kecil saya mengenal barang ini dengan nama "masina". Di dusun tempat saya bertumbuh, galibnya orang-orang menyebut mesin ini sebagai masina. Entah ada kaitan dengan Nyai Dasima dalam Novel G. Francis, atau Raden Mandasia dalam novel mas Yovianto, saya juga tak tahu sejarah asal muasal hingga mesin jahit ini disebut masina di dusun saya.     

Perjumpaan dengan masina ini pula yang menyodorkan ingatan akan Nenek sebelah bapak. 

Juga kami sekeluarga kala itu, yang gagu kala toa masjid selepas Isya mengabarkan bahwa Nenek telah berpulang dijemput Yang Kuasa; padahal masih sempat ia maghriban berjamaah di masjid samping rumah tua nya, hingga jamaah yang sempat bediri dalam saf yang sama dengan Nenek masih tak percaya. Kala itu, satu dekade yang lalu.

*

Nenek saya adalah ibu rumah tangga yang piawai menggunakan mesin tua ini: ia selalu bahagia dan senantiasa pindai dalam mengerjakan setiap jahitan yang ditugaskan pelanggan setianya. Pelanggan setianya adalah tetangga dan anak-cucunya. Yang terakhir itu adalah pelanggan bebas biaya.

Entah berapa kali saya datang ke rumah Nenek untuk minta diperbaiki celana sekolah saya yang sering koyak di bagian selangkangan, akibat dipake bermain bola. Keluhan seorang cucu yang selalu memekikkan semangatnya untuk bersegera mengerjakannya. Dosa seorang cucu yang selalu ia maklumi tanpa curiga. Kadang, ia lupa sedang berkejaran dengan pesanan tetangga, hanya untuk menjahit kesalahan dan dosa-dosa anak-cucunya yang setia ia betulkan dengan petuah dibalik senyumnya yang hangat. 

Sayang, setelah Nenek berpulang ke pangkuan Yang Kuasa, sudah lama pula mata tak menjumput mesin tua ini lagi. 

Baru siang tadi berjumpa lagi dengan si masina ini di rumah Diaz. 

Semacam mesin waktu, masina ini memutar ingatan untuk kembali ke masa kecil dulu, masa-masa lugu, sebuah fase penuh bahagia; soal gula-gula, layang-layang dan sepeda. 

Sebagai bocah bau kencur hampir dua dekade lalu, saya tahu Nenek adalah istri yang bahagia dengan masinanya --barang berharga tiada tara-- dalam sepuhnya yang renta. Barang peninggalan suaminya yang setia ia rawat didalam rumah tua, tak pernah luput dalam jaganya. Persis ia menjaga diri dan anak-cucunya.

Dari masina tua itu; telah ia jahit ikatan yang tak lekang; ia rajut doa untuk bahagia anak-cucunya; dan sebagai penghargaan tak terbeli, ia adalah kenangan yang selalu ranum dalam ingatan anak-cucunya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun